○°Selamat membaca°○
Matahari terus meluncur naik lalu turun, selalu sama. Cuaca akhir ini cukup cerah dan berudara segar, mengingat musim panas di negeri maritim ini akan berakir, berganti dengan musim penghujan.
Suasana di rumah sederhana yang menampung dua nyawa itu sedikit damai. Masih ada Jeinenda di sana. Setelah menyuapi Nenek dari Nayanika, lantas menyodorkan beberapa bulir obat resep dokter, wanita tua rentan itu kembali tidur, dia harus banyak istirahat di waktu tuanya.
"Hey, kau kenal Pradita?" tanya Jeinenda setibanya Nayanika di ruang tamu.
"Siapa yang gak kenal anak popular sepertinya?" jawabnya enteng, mendudukkan diri di kursi yang bersebrangan dengan Jeinenda. Meneguk es kopi tanpa gula di gelas.
"Kau menyukainya?" sarkasnya, membuat Nayanika menghentikan aktivitasnya meneguk minuman pahit kesukaannya itu, "Kayak perempuan-perempuan lain, banyak yang menyukainya, kan. Kau juga suka dia?"
"Entahlah. Memangnya aku punya alasan untuk menyukainya?" Nayanika kembali menyeruput es kopi buatannya.
Jeinenda mengangkat bahu, sepertinya lawan bicaranya tidak tertarik membahas topik satu itu. Beralih menatap langit-langit ruangan yang sudah hampir lapuk.
"Lalu bagaimana pendapatmu tentang peringkatnya?" Jeinenda mengubah topik pembicaraan, "Menyebalkan, dia berada di atasku. Aku benci fakta itu." Netranya menatap tajam langit-langit, hingga mungkin saja bisa melubanginya saking tajam tatapan itu.
"Apa kau takut?"
Lengang. Jeinenda merangsek, membenarkan posisi tubuh. Menatap tajam Nayanika yang menatapnya datar.
"Aku tanya, apa kau takut?" Nayanika mengulang pertanyaan.
"Kau tau betul bagaimana aku, Naya. Aku adalah anak dari Adanu, ayahku. Seorang pengusaha terkemuka di negeri ini, tidak ada alasan lain darinya yang menuntutku sempurna, karena esok-lusa aku akan menggantikan tempatnya. Dan sialnya, aku juga tidak punya pilihan lain untuk membiarkan diriku di gerakkan oleh ayahku sendiri, seperti boneka marionette...
"Semua orang pasti berharap lebih padaku, membuat repot saja. Satu-dua pasti sudah menargetkan ku untuk keuntungan bisnis mereka, mencari kelemahanku, memanfaatkannya. Karena hal itulah ayahku tidak mau aku terlihat kurang sedikit pun, harus sempurna."
"Apa yang bisa kau lakukan untuk ku, Naya? Sebagai kawanku satu-satunya. Bukankah kau akan satu kelas dengannya di semester baru nanti?"
Nayanika mengangguk. Dia memang mendapat skor bagus di ulangan terakhir. Kelas awalnya di X IPA- 2, tepat di bawah Pradita―juga Jeinenda jika dalam satu angkatan. Ia mendapat skor fantastis di kelas, membuatnya naik kelas unggulan, XI IPA-1. Satu kelas dengan si peringkat satu se-angkatan, Pradita.
"Kalau begitu berjuanglah untuk mengalahkannya." Bola mata coklat cemerlang itu menatap cairan pekat kopi yang bergerak-gerak, ia mengoyang-goyangkan gelasnya, membuat banyangannya tidak jelas, "Berusahalah untuk tidak kalah lagi darinya."
Kali ini netra cantik itu menatap tepat pada mata legam Jeinenda.
***
Di lain tempat. Dimana Pradita sudah terduduk di depan meja kayu rumahnya, kembali berkutat dengan buku-buku, kertas coretan dimana-mana, menandai sesuatu, mencatat banyak hal.
Sepulangnya dari warung bi Sumi, ia langsung membersihkan diri. Seberapa menit keluar dengan rambut basah, badannya terasa lebih nyaman sekarang.
Sejak semalam ia belum memejamkan matanya, ingin segera tidur. Baru saja merebahkan tubuh di Kasur lantai kamarnya, lima detik matanya kembali terbuka. Pradita mengerang pelan, membalik badan, mencari posisi nyaman, memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL TO SURVIVE
Teen FictionMemiliki rival atau saingan dalam hidup itu hal yang wajar, karena tabiat manusia sendiri memang tidak mau dirinya diungguli. Begitupun dengan kedua anak remaja ini. Pradita dan Jeinenda, dengan ambisi mereka untuk mendapatkan peringkat pertama di...