Satu-satunya hal yang tidak aku sukai adalah bagaimana aku bisa melihat hal tak kasat mata. Mama mengatakan bahwa ini adalah turunan dari nenek, jadi aku diminta untuk menghargai kelebihan ini. Namun yang terjadi hanyalah aku yang terus diganggu, dimana-mana aku berada.
Anak-anak belanda terus datang padaku yang adalah darah murni pribumi yang bisa melihat mereka, mereka terus mencemoohku. Sementara beberapa di antara mereka yang adalah para Noni dan Sinyo (setengah darah pribumi), hanya melihat atau malah menguntitku jika aku kebetulan ada di dekat dimana biasanya mereka berkumpul.
Desa ini merupakan salah satu peninggalan dari masyarakat belanda yang adalah kumpulan blijvers (sebutan bagi para penjajah belanda yang memutuskan untuk beradaptasi disini terlepas dari tugas mereka sudah selesai). Bangunan khas mereka masih ada dimana-mana, dengan kerja sama dari pemerintah dan kepala desa, beberapa rumah tidak diubah sama sekali bentuk luarnya dan hanya diperkokoh, menjadikan daya tarik utama bagi pengunjung luar kota.
Keluargaku adalah pendatang disini, setelah ayahku yang bekerja di PLTU di domisili kan ke daerah ini. Desa ini jauh dari jalan besar kota di jawa, namun fasilitas disini sudah lengkap dengan PLTU dan dengan pertambangan yang terus menarik para pendatang luar jawa yang mencari pekerjaan.
Aku pindah dari kota besar di bagian jawa lainnya saat berumur delapan tahun. Sejujurnya aku takut untuk ikut dengan keluargaku pindah ke pedesaan--karena kudengar di pedesaan, hantu-hantu bahkan jin, sangatlah ganas. Bertahan di kota besar saja sudah cukup menantang karena lokasi rumahku yang tidak strategis, ini malah mau masuk kawasan sakral.
Aku pernah mengeluh kepada Mama, aku bisa tetap berada di kota besar dan tinggal bersama nenek, satu-satunya orang yang mengerti perasaanku sebagai sesama indigo. Namun Mama bersikeras untuk membawaku dengan alasan dia khawatir aku disini sendirian tanpa pengawasan nya, apalagi aku anak tunggal.
Pada akhirnya aku menyerah. Dan begitu lah bagaimana aku berakhir pindah sekolah ke desa ini. Respon pada penduduk desa baik, mereka bahkan sangat ramah dan bersahabat. Anak-anak seumuranku juga banyak mengajakku bermain dan berbicara.
Hal yang kutakuti.. ya.. aku masih takut sebenarnya, namun tak kusangka bahwa desa ini malah banyak memilih hantu penjajah. Hantu-hantu seperti kuntilanak atau pocong atau apalah bisa dihitung, mungkin karena disini didominasi oleh orang-orang keturunan Belanda.
Aku sudah menyangka ini setelah memperhatikan bahwa hampir semua rumah di sini didesain seperti rumah keluarga Belanda.
Para hantu-hantu yang sudah berwujud orang tua tidak terlalu menyeramkan, bahkan mereka beberapa nampak bersahabat saat menyadari bahwa aku bisa melihat mereka. Mungkin karena faktor bahwa mereka sudah lama mendiam disini, mereka tidak menyebabkan keributan walau setiap rumah ada penunggunya masing-masing.
Berbeda dengan para orang tua, reaksi hantu yang masih berwujud anak-anak tidak terlalu ramah. Mereka sangat jahil! Saat di sekolah, mereka sering menyembunyikan buku catatan dan alat tulisku! Aku bahkan pernah dihukum karena dituduh menjahili guru, padahal itu bukan aku! Itu mereka, para Noni dan Sinyo itu!
Aku terkadang memarahi mereka, dan kemudian, voila, mereka malah membalas dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Aku tahu jelas mereka bisa bahasa indonesia setelah sekian lama berada disini, jadi mereka sengaja melakukan itu agar aku tidak paham apa yang mereka katakan!
Mamaku hanya menertawakanku saat aku mengeluh, bahkan Ayahku malah tersenyum dan mengatakan bahwa mereka hanya kesepian. Kepala desa tahu dari ayahku bahwa aku anak indigo, dan bagaimana reaksinya? dia malah senang! Bahkan sampai memberikan kami rumah paling tua disini yang dipercaya sangat sakral setelah dua bulan tinggal di perumahan PLTU.