Bab 01

49 30 5
                                    

Bel sekolah berdering nyaring, menandakan berakhirnya jam pelajaran. Para siswa berbondong-bondong keluar dari kelas, termasuk Arunika yang sudah siap dengan tas di punggungnya. Ia berdiri di ambang pintu, menunggu sahabatnya selesai berkaca dan merapihkan penampilannya.

"Aduh, Ran, lama banget deh. Kaki gue udah pegel nih nungguin lo," keluh Arunika sambil menggaruk kepala. Rania, sahabatnya, terus sibuk di depan cermin, sesekali membenahi rambutnya dan tak henti-hentinya memuji penampilannya sendiri. Hampir 15 menit ia melakukan hal itu, memastikan penampilannya sempurna sebelum meninggalkan kelas.

Rania melirik Arunika dengan senyuman manis. "Aruni, lo tau kan kalau gue itu primadona sekolah, jadi gue harus tampil sempurna dong," ujarnya sambil kembali memperhatikan penampilannya di depan cermin, merapikan setiap helai rambutnya. Arunika memutar bola matanya malas, mengetahui betul akan kebiasaan sahabatnya itu.

Setelah selesai dengan kegiatannya, Rania menghampiri Arunika dan memeluk lengannya. Mereka memang sangat dekat, walaupun belum genap setahun saling mengenal. Arunika yang ramah dan murah senyum, begitupula Rania yang supel, menciptakan ikatan persahabatan yang erat di antara mereka.

Mereka pertama bertemu ketika masa orientasi, dimana Arunika yang saat itu hanya duduk sendirian karena teman sekolah menengah pertamanya bersekolah di SMA Harapan Bangsa yang terletak bersebelahan dengan sekolahnya. Rania dengan tidak tahu malunya langsung menjabat tangan Arunika dan mengajaknya berkenalan.

"Aru, katanya besok sekolah kita bakalan ada sparing basket sama sekolah sebelah. Kita nonton, yuk!" seru Rania dengan antusias.

"Besok bukannya lo ada photoshoot?"

Rania tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Gue undur jadi lusa. Apapun akan gue lakuin demi bisa liat murid Harsa yang terkenal ganteng," ucapnya sambil berjingkrak kegirangan.

Arunika yang sudah terbiasa dengan gelagat temannya itu hanya bisa menggelengkan kepala. Yang dikatakan Rania memang ada benarnya, murid SMA Harapan Bangsa memang terkenal dengan parasnya yang rupawan.

SMA Harapan Bangsa dan sekolah mereka memang bersebelahan. Tak heran jika kedua sekolah itu sering melakukan sparing olahraga. Bahkan banyak murid dari sekolahnya yang berkunjung ke sekolah sebelah dan menyamar menjadi murid disana, begitupula sebaliknya. Hal itu sudah biasa terjadi.

Arunika dan Rania berjalan santai di luar sekolah dan berjalan menuju halte bus. "Ran, gue jadi pengen makan cilok, anterin gue beli," celetuk Arunika tiba-tiba. Ia menunjuk sebuah gerobak pedagang cilok yang berhenti tak jauh dari halte bus.

"Ga, ga boleh, lo kemarin udah beli cilok kalau lo lupa. Keseringan makan cilok itu ga baik, Aruni, jangan jadi kayak anak kecil deh." Rania bertolak pinggang dan menegur Arunika selayaknya seorang ibu menasehati anaknya.

Arunika cemberut. "Ya emang kenapa sih, lagian ini belinya pake uang gue sendiri, lo cuman nganterin aja," protesnya dengan wajah sedikit masam.

Rania berdecak kesal. Meskipun agak kesal, ia akhirnya menuruti permintaan Arunika. Bukannya bagaimana, tapi Rania khawatir dengan kebiasaan makan Arunika yang selalu mengonsumsi makanan cepat saji yang tidak baik untuk kesehatannya. Ditambah lagi, di seberang jalan ada sekumpulan cowok ganteng yang sedang duduk di warung kopi. Apa yang akan mereka pikirkan kalau melihat cewek secantik dia malah jajan di pinggir jalan?

Arunika sedang asyik mengunyah cilok yang ia beli tadi, sementara Rania sibuk bercermin melalui ponselnya seraya membubuhi bedak di wajah mulusnya.

Tanpa disadari, di seberang jalan, seorang siswa SMA Harapan Bangsa sedang duduk di sebuah warung kopi. Lelaki itu memperhatikan Arunika dengan senyum simpul di wajahnya.

Arunika yang menyadari tatapan itu langsung menoleh sehingga tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu begitu intens, membuat Arunika mengerutkan keningnya. Mengapa lelaki itu menatapnya seperti itu? Pertanyaan itu terus berterbangan di kepalanya, hingga akhirnya bus yang akan ditumpanginya datang, memutus tatapan mereka.

***

Langit terdiam, memperhatikan bus yang baru saja dinaiki Arunika melaju menjauh. Setelah bus itu hilang dari pandangannya, ia menyeruput segelas es teh manisnya dengan senyum puas di wajahnya. Gadis yang telah membantunya seminggu yang lalu ternyata bersekolah di sekolah yang tak jauh darinya.

Ia merogoh tas hitamnya dan mengeluarkan sebuah payung kecil berwarna kuning cerah. Payung itu selalu ia bawa kemana-mana. Langit jadi teringat dengan kejadian seminggu yang lalu.

Sore itu turun hujan deras yang membasahi bumi. Langit yang kala itu lupa membawa payung hanya bisa berteduh dan termenung di depan sebuah minimarket. Tak lama setelahnya, dia datang, bagai matahari yang mengusir awan hitam, gadis itu mendekatinya dan memberikannya payung itu.

Langit masih ingat dengan jelas suara lembutnya dan wajahnya yang terlihat begitu hangat. Ia juga ingat bagaimana gadis itu berlari menerobos hujan tanpa mempedulikan rambut panjangnya yang terurai basah karena hujan. Senyumnya yang memancarkan kebaikan hati masih terngiang di pikiran Langit.

Tanpa mengetahui namanya, Langit terus berharap agar bisa bertemu kembali dengan gadis yang memberinya payung di tengah hujan. Sorot matanya yang bercahaya menarik Langit untuk mengenalnya lebih dekat. Dan saat ini, takdir membawanya kembali bertemu dengan gadis itu. Ia kembali melihat gadis itu keluar dari gerbang SMA Satu Nusa yang terletak tepat di sebelah sekolahnya. Hal itu membuat Langit semakin optimis untuk mendekatinya.

ARUNIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang