Carissa membenarkan kacamata besarnya yang bertengger di hidung. Perempuan bertubuh gemuk itu berjalan menuju halaman rumahnya. Rumah bercat hijau itu sudah menjadi rumah yang paling ia rindukan, bersama Ayah, Ibu, Carissa ingin kembali berkumpul.
Tak terasa, tiba-tiba kelopak matanya mengumpulkan cairan bening. Cairan yang siap jatuh kapan saja, mengingat atas perlakuan Ayahnya membuat luka itu kembali terbuka.
Carissa merasakan sakit, namun ia juga tidak bisa jika harus marah pada Ayahnya. Mau bagaimana pun Ayahnya adalah lelaki terbaik yang ia punya. Sosok laki-laki yang memberinya sejuta kasih sayang dan cinta. Tanpa Ayah, Ibu ... mungkin Carissa tidak akan bisa menjadi Carissa yang sekarang juga.
Carissa bersiap mengetuk pintu, namun sebelum itu dilakukan Carissa sudah menangis tatkala di depan pintu tersebut sudah ada koper. Koper miliknya.
Tidak bisa membendung tangis itu, Carissa membuka koper tersebut dengan tangan bergetar. Dan benar saja, semua barang-barangnya ada di sini, semuanya ... tidak ada yang tersisa.
Sakit, sesak. Lagi. Hati itu kembali merasakan sakitnya. Ingatan dirinya yang ditam*par berputar di dalam otaknya. Ingatan akan dirinya yang dinyatakan sudah ma*ti membuat luka itu kian menghantam amat dalam. Tak hanya luka fisik yang ia dapat, luka batin pun ia terima dari orang-orang terdekatnya.
Carissa tidak bisa membiarkan ketiadakadilan ini tertuju padanya. Apa yang telah ia lakukan? Selama ini ia hormat kepada Ayah, Ibunya. Menurut pada setiap perkataan mereka. Bahkan ia tidak pernah melawan atas apa yang keduanya inginkan. Tapi, kenapa ketidak adilan ini ia rasakan hanya karena satu kesalahan? Itu pun bukan dirinya yang melakukan melainkan Arkan! Tunangannya sendiri.
Tidak! Carissa tidak akan membiarkan ini terjadi. Sebisa mungkin ia akan menjelaskan semuanya kepada Fathur, mengatakan bahwa apa yang tadi dia lihat semuanya hanyalah fitnah.
Carissa mengusap air matanya yang terus jatuh. Dengan sekali ketukan ia mengetuk pintu, namun tiba-tiba..
"Apa yang kau lakukan di sini, Kak?"
Carissa refleks menoleh ke asal suara.
"Bianca?" Carissa tersenyum memanggil namanya. Dia adiknya, adik satu-satunya.
"Bi, tolong kakak. Bantu kakak, Bi. Kakak enggak melakukan apapun, semuanya fitnah. Kakak enggak salah!" Carissa menatap dalam manik hitam Bianca, berharap adiknya mau melakukan sesuatu.
"Lelaki yang Ayah jodohkan denganku, yang mau menerima untuk menikahiku, dia ... dia memfi*tnahku. Dia tidak ingin menikah denganku." Carissa kembali menangis. Tak sanggup mengingat betapa k*eji dan hinanya Arkan. Pria itu benar-benar membut em*osi Carissa naik-turun.
"Aku gak masalah kalau dia tidak mau menikah denganku. Tapi aku tidak terima atas apa yang dia lakukan padaku. Dia ... dia membuat Ayah membenciku. Aku gak mau Dek ... aku ...tidak ingin Ayah membenciku." Bahu Carissa semakin bergetar. Namun, tangisnya mendadak terhenti kala mendengar kekehan dari seseorang di depannya.
"Apa yang kau pikirkan, Kak? Membantumu?"
Carissa mendadak beku mendengar penuturan dingin dari Bianca.
"Apa kakak tidak tau, lelaki yang kakak terima dalam perjodohan tak lain adalah pacarku!"
"Apa?!" Carissa menatap Bianca tak percaya.
"Iya. Dan kakak mau memisahkan kami begitu aja? Oh, tentu saja tidak bisa!"
"Jadi, kalian ...."
Bianca bersedekap dada, perempuan bertubuh tinggi nan cantik itu tersenyum remeh. "Kami yang melakukannya!"
Carissa tidak percaya ini. Ia ditu*suk dari belakang oleh tunangannya dan adiknya sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAVIERIS ( On going)
RomanceCarissa terkejut mendapati seorang pria asing berada di samping tidurnya. Mengenali pria asing tersebut membuat Carissa ketakutan, karena ternyata pria asing tersebut adalah preman meresahkan yang sudah jadi incaran para polisi. Carissa yang tidak...