"Mas, apa yang Mas lakukan pada Carissa? Kau menganggapnya sudah mati?" ujar Ilma setengah marah. "apa Mas tidak tau apa yang telah kamu perbuat dengan mengusir Carissa?"
"Itu sudah menjadi keputusanku, Ilma," jawab Fathur tanpa melihat raut geram Ilma. Ia tahu bahwa Ilma kecewa padanya tapi apa yang bisa ia lakukan selain memasrahkan segalanya? Ia juga tak punya pilihan lain.
Sebuah kejadian yang tiba-tiba itu membuat Fathur menyesal. Bukan, bukan menyesal atas perkataan yang telah ia lontarkan melainkan menyesal kenapa harus sekarang kejadian ini terjadi? Kenapa saat ia ingin benar-benar melepaskan Carissa dengan cara menikahkannya justru terjadi hal yang tidak ia inginkan?
"Tapi kenapa Mas? Apa Mas mau ingkar janji? Begitu?" Nada Ilma sedikit naik membuat Fathur terdiam sesaat.
"Dia bukan anakku," ucap Fathur dengan nada lirih.
"Justru karena dia bukan anak kita kenapa Mas melakukan ini tanpa pikir panjang ha? Gimana kalau---"
"Mas tidak punya pilihan Ilma. Mas bingung dihadapkan pada kejadian kemarin. Anak yang selama ini Mas asuh, memberinya cinta dan kasih sayang? Menurutmu apa Mas tidak akan marah melihatnya melakukan hal tak wajar?" Emosi Fathur mulai naik, pria berumur 45 lebih itu memijit pelipisnya dengan frustasi.
"Siapa yang mengira dia akan melakukan hal tersebut? Sebagai seorang Ayah angkat, Mas merasa malu Ilma, malu! Lalu, bagaimana jika Ayah aslinya mengetahui hal ini? Bukankah dia juga akan marah?"
"Tapi masalahnya Mas, kenapa kau mencapnya sudah mati? Kenapa!"
"Itu karena Mas tidak ingin dia menikah dengan preman itu, Ilma! Mas tidak ingin masa depan Carissa hancur karena menikah dengan seorang laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya! Mereka---tetangga kita ikut datang ke kamar hotel di mana Carissa berada, yang ke sana bukan hanya Maa, melainkan tetangga komplek kita ada di sana! Masalah itu tersebar sampai ke telinga mereka, dan kau tau apa yang mereka mau? Memintaku untuk menikahkan saja dengan pria tidak jelas itu!"
"Mas bisa menolaknya kan?"
"Apa menurutmu mereka akan mendengar? Setelah kejadian yang dianggap zi*na ini? Apa mereka akan diam? Tidak! Selain kita yang kena gunjingan Carissa juga yang akan terkena dampaknya!"
"Lalu sekarang apa yang kita lakukan Mas? Risa ... dia sendirian di luar sana, " ucap Ilma. Wanita itu duduk di kursi sofa dengan tubuh lemas, matanya berkaca-kaca, siap menjatuhkan air beningnya.
"Kita sudah diamanahi untuk menjaganya. Selama 23 tahun, 23 tahun kita memberinya kasih sayang, menjaga, mengurus bahkan sudah menganggapnya anak, lalu bagaimana bisa kita lepas begitu saja?" tanya Ilma tersedu-sedu. Ia mulai menangis, merindukan anak yang selama ini ia asuh.
"Mas akan mencarinya dan meminta maaf padanya," jawab Fathur. Pria itu ikut duduk di kursi sofa. "perkataan Mas saat itu sudah melukai hatinya, Mas sadar dalam hal itu. Tapi, Mas melakukan itu juga demi kebaikannya. Mas tidak ingin Carissa mengalami hal seperti Ayah dan Ibunya ... Mas ... tidak ingin kejadian di masalalu terulang kembali."
Fathur maupun Ilma akhirnya terdiam. Sama-sama berkecamuk dengan pikiran yang kian berkecamuk.
Pada hari itu, hari di mana Fathur dan Ilma pergi ke luar kota, pria itu mendapat telepon dari Bianca bahwa Carissa tidak ada di rumah, bahkan sampai pagi menjelang perempuan itu masih tidak ada. Sebuah kekhawatiran untuk Fathur jika mengenai Carissa, membuat ia saat itu pulang menuju rumah.
Di rumah ternyata perkataan Bianca benar, Carissa tidak ada di rumah. Perempuan itu menghilang. Sampai menit berikutnya suara kegaduhan dari para tetangga menggedor pintu Fathur, memintanya untuk keluar.
Tidak tahu apa-apa, Fathur dengan perasaan resah keluar pada kegaduhan tersebut. Dan tak disangka, sebuah informasi baru mengenai Carissa diberitahu oleh mereka, mengatakan bahwa mereka melihat putrinya itu pergi bermalam bersama seorang preman!
Saat itu Fathur tidak percaya, menyangkal fitnah yang mereka buat, namun tepat saat seseorang memberikan sebuah foto Carissa dan pria yang membersamainya, membuat Fathur berhasil marah besar.
Tak menunggu lama, ia pergi diiringi para tetangga lain. Dan benar saja, putrinya yang selama ini ia asuh ... mempermalukan dirinya.
Marah? Tentu saja. Karena hal itu pula membuat Fathur lepas kendali, menampar pipi Carissa yang sudah menangis deras. Putrinya menjerit, menyangkal setiap tuduhan, tapi ... karena rasa kecewa itu menutup hati Fathur pada Carissa. Ia tak melihat bagaimana putri asuhnya itu menjerit keras, yang ia pikirkan saat itu adalah ... kenapa harus preman itu? Kenapa?
Sampai mendengar para tetangga memintanya untuk menikahkan saja Carissa dengan preman tersebut jelas ditolak keras oleh Fathur! Namun, jika ia menolak tersebut para tetangga akan terus mendesaknya agar menikahkan Carissa dengan pria tersebut. Karena mau bagaimana pun hal ini tidaklah lazim! Mereka harus dinikahkan!
Fathur menggeleng. Ia tidak ingin melihat putri asuhnya menikah dengan lelaki tidak jelas dan tak punya masa depan, namun di sisi lain para tetangga akan terus mendesaknya agar segera dinikahkan saja.
Maka tepat saat itu, Fathur memutuskan jawabannya. Mengatakan pada semua orang bahwa putrinya telah meninggal, telah mati!
Sakit sebenarnya yang Fathur rasakan ketika ia mengatakan kalimat tersebut, namun... sungguh, ia juga tidak bisa jika harus menikahkan Carissa dengan preman tersebut.
Tak berselang setelah ia umumkan kalimat tersebut, para tetangga tampak tak membahasnya lagi, mereka hirau, mungkin merasa lega karena seorang pendosa telah pergi dan tidak akan kembali.
Wajar, komplek di sini menolak keras wanita yang hamil di luar nikah, apalagi jika prianya tidak mau bertanggung jawab. Lebih baik diusir saja, itu lebih baik.
Dan itulah yang Fathur lakukan, semua itu semata-mata karena bingung dalam memilih pilihan. Jika menerima preman tersebut? Pada akhirnya Carissa akan diusir juga. Jika menolak? Sama saja. Sampai pada akhirnya ia mengatakan saja bahwa putrinya telah meninggal. Ya, ia mengatakan kalimat tersebut dengan berat hati.
"Tolong bawa kembali Carissa Mas. Aku khawatir dia tak makan, jangankan makan, bagaimana kalau ternyata dia tak memiliki tempat untuk bermalam?" ujar Ilma dengan lirih. "jangan pedulikan perkataan orang lain, kalau mereka marah, biarkan mereka marah sama kita, biar saja kita juga yang diusir, tapi untuk Carissa ... dia sudah aku anggap putriku Mas. Putriku!"
Tidak bisa dipungkiri, bertahun-tahun lamanya mengurus Carissa membuat Ilma sangat menghargai keberadaannya. Menganggap dia sebagai putri kandungnya. Walau ia memiliki anak kandung asli, tapi dengan Carissa dia sudah sangat menyayanginya sebagaimana cinta orangtua kandung kepada anaknya.
"Mas akan mencari Carissa."
Ilma mengangguk pelan. "Cari Carissa Mas, jangan sampai ada orang yang mengetahui identitas aslinya. Aku gak mau! Aku gak mau masalalu itu terulang kembali," tutur Ilma membuat Fathur mengangguk.
"Karena malam semakin larut, jadi Mas akan cari besok pagi. Kau tidak usah khawatir, dia akan kembali, Mas yakin itu."
Ilma terdiam. Berharap perkataan suaminya benar, kalau Carissa akan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAVIERIS ( On going)
RomanceCarissa terkejut mendapati seorang pria asing berada di samping tidurnya. Mengenali pria asing tersebut membuat Carissa ketakutan, karena ternyata pria asing tersebut adalah preman meresahkan yang sudah jadi incaran para polisi. Carissa yang tidak...