1

672 10 9
                                    


Gina baru saja pulang kuliah. Dia disambut oleh Amanda, ibunya. Wanita yang sudah mengandung dan melahirkan dirinya. Wanita yang seharusnya menjadi tempat ternyaman anaknya. Bukan justru sebaliknya.

"Kata Gita kamu nongkrong lagi, ya? Sudah berapa kali Mama bilang, Gin? Jangan suka kelayapan siang-siang! Nanti kulitmu hitam!"

Gina yang sudah kebal dikatai hitam tentu hanya mengabaikan. Dia melewati Amanda yang sedang menunggu paketan di teras. Tanpa bersalaman.

"Kamu bilang Mama kalau aku nongkrong?"

Tanya Gina pada Gita yang baru saja menuruni tangga. Dia baru saja bangun dari tidur siang. Dengan tank top dan celana bahan sepaha. Sebab di rumah memang hanya ada mereka bertiga saja. Sehingga aman jika dia memakai pakaian terbuka. Apalagi Semarang panas, mataharinya tiga.

"Mama tanya kamu di mana pas aku pulang. Kamu mau aku bohong gitu? Dosa, dong!"

Gita mulai membuka kulkas. Mengambil minuman. Sebab kehausan. Agak lapar juga karena dia melewatkan makan siang.

"Jangan sok suci! Kamu juga sering bohong selama ini!" Gina yang kesal langsung pergi. Masuk kamar karena ingin mandi. Sebab ayahnya yang dinas di luar kota akan pulang malam ini. Dia jelas takut dimarahi jika tidak mandi di sore hari.

"Mama! Sudah masak? Aku lapar!" Gita keluar rumah. Mendekati Amanda yang sedang duduk di teras. Sembari memainkan ponselnya.

"Mama sudah masak, Sayang. Sayur sop kesukaan Papa. Kamu makan sekarang, ya?" Gita yang mendengar itu tampak muram. Sebab dia tidak suka sayur sop belakangan.

Entah kenapa rasanya ingin muntah jika mencium aroma ayam yang direbus dengan sayuran. Padahal biasanya, dia sangat suka. Bahkan sering memakan itu saja saat malas makan karbohidrat.

"Ada sambel, kan?"

"Ada, dong! Kamu makan saja dulu kalau sudah lapar. Tapi nanti malam ikut makan lagi dengan Papa. Sedikit saja tidak apa-apa. Hari ini Papa pulang soalnya. Dia pasti kangen anak-anaknya."

Gita mengangguk singkat. Lalu kembali masuk rumah. Menuju dapur dan berniat makan. Hanya dengan nasi, sambal, dan ayam goreng saja.

"Kok pakai itu saja makannya? Tidak pakai sayur juga? Biasanya kamu suka. Mama banyakin sayurnya, supaya bisa kamu makan tanpa nasi juga. Mama ambilkan, ya?"

"Tidak, Ma. Aku malas makan sayur sekarang. Sedang ingin makan ini saja."

Amanda mengangguk. Lalu membuka paket yang baru saja datang. Daster motif bunga warna ungu dan merah muda.

"Wih, daster baru! Aku satu!"

Amanda terkekeh saja. Lalu memberikan satu daster warna merah muda pada Gita. Sebab dia memang sengaja kembaran dengan si anak.

Mengingat Gina tidak suka memakai daster seperti mereka. Karena dia agak tomboy dan lebih suka berpenampilan seperti pria. Tidak heran jika Amanda lebih dekat dengan Gita.

Selain itu, ini juga karena Gita lebih pintar di sekolah. Sejak SD hingga SMA, Gita selalu menjadi juara kelas. Dia juga masuk FK Undip jalur raport. Berbeda dengan Gina yang masuk FPsi di universitas swasta yang tentu sangat mahal biayanya. Hampir sama dengan biaya kuliah Gita yang memang masuk jurusan paling mahal di semua universitas.

Gita sejak dulu selalu membanggakan. Dia cantik dan pintar. Sesuai standar orang Indonesia yang memang suka perempuan berkulit putih pucat dan rambut lurus panjang.  Berbeda dengan Gina yang justru sebaliknya. Dia memiliki kulit yang lebih gelap dari Gita. Rambutnya selalu pendek sebawah telinga. Karena trauma punya rambut panjang. Sebab dulu pernah tersangkut rantai sepeda.

Prestasi Gina di sekolah, hampir tidak ada. Karena dia memang kurang suka belajar. Dia lebih suka bermain saja. Tidak heran jika kenalannya banyak. Tidak seperti Gita yang memang hanya memiliki sedikit teman. Karena dia selektif memang.

"Buat aku mana?"

Tanya Gina yang baru saja selesai mandi. Dia memakai kaos hitam dan celana kain warna putih. Karena celana pendeknya habis. Belum dicuci.

"Tumben. Biasanya kamu tidak suka pakai ini. Ya sudah, buat kamu saja. Mama bisa beli lagi."

Amanda memberikan daster yang baru saja dibuka pada Gina. Karena dia tidak ingin dianggap pilih kasih oleh si anak. Mengingat akhir-akhir ini anak itu tampak menjauh darinya.

"Bercanda. Aku memang tidak suka, Ma. Lebih enak pakai celana. Papa jadi pulang hari ini?"

Gina membuka kulkas. Meraih apel dari sana. Kemudian duduk di samping Gita yang tengah fokus makan sembari memainkan ponselnya. Padahal dia tidak punya pacar. Sepertinya.

"Jadi, sudah di jalan. Satu jam lagi sampai rumah. Mama mandi dulu, ya? Kalian sambut Papa kalau pulang. Dia bawa oleh-oleh untuk kalian."

Gina dan Gita tersenyum senang. Karena mereka memang suka jika ayahnya dinas ke luar kota. Sebab saat pulang, Hendra pasti membawa buah tangan.

Tbc...

KEMBARAN ADALAH MAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang