2

418 8 1
                                    


Hendra sedang makan malam bersama keluarga kecilnya. Bersama istri dan dua anak kembarnya. Gina dan Gita, dua putri yang sangat disayang dan dibanggakan.

"Besok minggu. Kita jalan-jalan, yuk!"

"Boleh. Besok aku free. "

Gina tampak bersemangat. Karena baginya, hanya Hendra yang paling sayang dirinya. Paling adil dan tidak membeda-bedakan mereka. Tidak seperti ibu dan para anggota keluarga yang lainnya.

"Aku ada banyak tugas, Pa. Tidak bisa ikut sepertinya."

"Sebentar saja, kapan lagi Papa bisa? Sudah lama, loh, kita tidak jalan-jalan. Terakhir bulan lalu waktu ke puncak."

Gita tampak pasrah. Akhirnya dia setuju untuk ikut serta. Dengan syarat tidak lama-lama. Sebab dia sebagai mahasiswa kedokteran jelas sudah memiliki begitu banyak agenda meski hari libur tiba.

Selesai makan, Gina langsung masuk kamar. Guna mencoba sepatu baru yang dibelikan ayahnya. Sepatu baru yang sama persis dengan milik Gita. Namun berbeda ukuran saja. Dia 42 sedangkan Gita 36.

"Papa memang yang terbaik!"

Gina mencoba sepatu running yang tampak nyaman dipakai dirinya. Dia bahkan mulai lari di tempat juga. Guna mengetes kenyamanan.

"Aku minta fotokan Gita sebentar kali, ya? Sebelum dia belajar."

Gina mulai keluar kamar. Dengan sepatu baru yang masih terpasang. Tidak lupa menggenggam ponsel juga.

"Masih buka, berarti belum mulai belajar dia!" Gina lega. Karena melihat pintu kamar Gita sedikit terbuka. Sebab itu pertanda jika si kembaran sedang dalam keadaan senggang.

"Jangan bilang Gina, Papa beli untuk kamu saja."

Gina yang ingin membuka pintu mulai terdiam. Dia mengintip dari celah pintu kamar. Lalu melihat Hendra yang baru saja memakaikan smart watch warna hitam di tangan si kembaran. Membuat hatinya jelas merasa kecewa. Sebab selama ini, dia merasa si ayah yang paling waras di antara semuanya. Namun ternyata sama saja.

"Kalau ditanya dapat dari mana, bilang saja kamu menabung. Atau dari teman."

Air mata Gina mengalir perlahan. Dia langsung kembali ke kamar. Lalu menangis sendirian. Sebab kecewa dengan apa yang baru saja dilihat.

Drttt...

Ketika sedang menangis, Gina mendapat notifikasi pesan dari Lucas. Pria yang beberapa bulan ini menjadi pacarnya. Pria yang satu tahun lebih muda darinya. Namun dapat berkuliah di tahun yang sama dengannya, karena saat SMA ikut program akselerasi yang mempersingkat durasi sekolah.

Lucas
Aku mau ke pasar malam dengan anak-anak. Kamu mau ikut juga? Kalau iya, aku yang jemput sekarang. Aku yang akan izin pada orang tuamu juga.

Gina yang awalnya menangis langsung menyeka air mata. Dia menatap jam yang memang baru saja menunjuk angka delapan. Di mana itu berarti masih belum terlalu malam. Sehingga dia berniat mengiyakan ajakan di pacar.

"Halo? Sudah di jalan? Aku ikut!"

Oke, Sayangkuuu! Tunggu, ya? Udah deket kok, kita. Kamu siap-siap saja.

Gina mengiyakan. Lalu bergegas mematikan panggilan. Agar bisa lekas bersiap.

Hingga setengah jam kemudian Gina tiba di lantai dasar. Dia melihat Lucas dan tiga teman lainnya sedang berbincang dengan Hendra di teras. Karena sebelumnya, mereka memang pernah datang ke sini untuk mengerjakan tugas.

"Pa, aku boleh keluar, kan?"

Tanya Gina pada Hendra. Membuat pria itu mengangguk dan tersenyum saja. Sebab dia juga pernah muda dan jelas dia tidak akan banyak melarang keinginan si anak. Apalagi Hendra sudah kenal Lucas dan orang tuanya juga.

"Boleh, dong. Tapi kalau mau pulang kabari Papa. Gerbang Papa kunci soalnya. Jangan pencet bel juga, nanti Mama bangun dan marah kalau tahu Papa mengizinkan."

"Oke. Mama di mana sekarang?"

"Biasa, sudah tidur dia. Ya sudah, kalian berangkat sekarang. Nanti kemalaman!"

Gina dan Lucas mulai berpamitan dengan Hendra. Bersama yang lain juga. Sebab mereka sudah tidak sabar untuk bermain sekarang.

Dari kamar, Gita mengintip dari jendela. Dia tampak sedih saat melihat Gina bisa bermain dengan teman-temannya. Sedangkan dia harus belajar sampai tiga jam ke depan.

Tbc...

KEMBARAN ADALAH MAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang