3

451 9 0
                                    


Besoknya, Gina bangun kesiangan. Karena kemarin pulang pada jam dua belas malam. Baru bisa tidur satu jam kemudian. Tidak heran jika dia kena marah Amanda. Karena acara jalan-jalan ke pantai mereka bisa terlambat.

"Kamu tidur jam berapa? Sampai baru bangun! Kemarin kita sudah sepakat untuk berangkat ke pantai pagi! Tapi kenapa baru bangun, sih!? Kan jadi panas! Kamu bisa makin hitam!"

Gina hanya mengerucutkan bibirnya. Lalu masuk mobil karena sarapan memang sudah selesai dilangsungkan. Namun dia tidak sempat ikut serta. Sebab baru saja keluar dari kamar. Sehingga dia harus sarapan di mobil sekarang.

"Mama tidak tahu kalau dia kemarin dijemput teman-temannya? Pulang jam satuan dia."

Amanda yang sudah memakai sabuk pengaman langsung menoleh ke belakang. Menatap tajam Gina yang baru saja ketahuan. Setelah Gita mengadukan.

"Benar, Gin? Kamu keluar semalam? Saat Mama tidur, ya? Siapa yang izinkan? Papa?"

Amanda beralih menatap Hendra. Pria itu terkekeh saja. Lalu menghidupkan mesin mobilnya.

"Namanya juga anak muda. Tidak apa-apa sesekali pulang malam. Lagi pula kemarin Lucas dan teman-temannya juga datang menjemput Gina. Aman, lah! Kita sudah kenal orang tuanya juga, kan? Kalau ada apa-apa kita bisa meminta pertanggungjawaban mereka."

"Tapi, kan, sama saja! Papa ini memang tega!"

Amanda mengoceh selama perjalanan. Sedangkan Gina hanya mendengar dengan raut kesal. Sebab dia lupa membawa penyumpal telinga. Berbeda dengan Gita yang kini sudah memakai headphone yang tersambung pada iPad.

Awas saja! Lain kali akan kuadukan kebusukanmu juga!

Batin Gina yang tampak kesal. Dia terus memandang si kembaran dari atas hingga bawah. Memilih keburukan apa yang akan dibeberkan. Mengingat dia tahu hampir semua lubang si kembaran.

Tidak lama kemudian mereka tiba di pantai. Mereka main hingga sore. Lalu pulang setelah makan malam di rumah makan padang langganan. Sebab Amanda ingin makan itu sekarang.

Selesai makan, mereka lanjut pulang. Selama perjalan si kembar tidur pulas. Begitu pula dengan Amanda yang kekenyangan. Namun berbeda dengan Hendra yang kini harus fokus menatap jalan.

Sampai tiba-tiba saja rasa kantuk datang dan membuat dirinya hilang kesadaran. Hanya sedetik saja. Namun hal itu berhasil membuat nyawanya melayang

BRAK...

Kecelakaan terjadi begitu cepat. Hendra menabrak trotoar begitu kencang. Membuatnya meninggal di tempat. Meninggalkan istri dan anak kembar yang masih butuh dirinya.

Sebab Amanda memang hanya seorang ibu rumah tangga. Hendra juga hanya karyawan swasta dan tidak memiliki banyak tabungan yang tersisa. Mengingat seluruh uang yang dipunya telah dipakai untuk membiayai pendidikan si kembar.

Setelah Hendra tiada, hidup mereka berubah banyak. Karena Amanda mulai bekerja. Gina ikut membatu juga. Sedangkan Gita semakin giat belajar agar bisa mendapat beasiswa.

Mengingat biaya kuliah Gina hanya mahal di awal saja. Sedangkan biaya per semesternya cukup terjangkau sebenarnya. Masih bisa Gina bayar sendiri menggunakan uang kerja part time di coffee shop dekat rumah. Berbeda dengan Gita yang memang jelas membutuhkan banyak uang sejak awal hingga akhir studinya.

"Mama sepertinya akan jual rumah."

Ucap Amanda tiba-tiba. Di acara sarapan bersama si kembar. Membuat Gina yang merasa sangat melekat dengan rumah ini jelas langsung menentang. Karena hanya rumah ini harta yang mereka punya.

"Tidak! Tidak boleh! Kenapa harus jual rumah, Ma? Bukannya keuangan kita masih aman? Ini baru satu bulan Papa meninggal. Mama sudah kerja untuk membiayai kehidupan sehari-hari kita. Aku juga sama, uang tabunganku sudah terkumpul untuk membayar uang semester depan. Gita, dia juga sedang berusaha mencari beasiswa, kan? Lalu untuk apa rumah dijual? Mama butuh uang untuk apa? Mama ada hutang?"

Amanda menggeleng pelan. Lalu menatap Gita yang sedak tadi diam saja. Sebab dia yang menyarankan rumah ini dijual saja.

"Gita belum dapat beasiswa. Tapi dia akan coba semester depan. Mama sudah tidak ada uang sekarang. Sedangkan sebentar lagi—"

"Mama bisa pinjam bank atau saudara. Kenapa harus jual rumah?"

"Mama sudah coba pinjam saudara, tapi hanya dapat lima juta. Tahu sendiri mereka juga susah, Gin. Kemarin Mama sudah coba pinjam di bank. Tapi ternyata tidak bisa."

"Kenapa? Kenapa tidak bisa?"

"Karena rumah ini tidak bisa dijadikan sebagai jaminan, sudah digadaikan Papa untuk biaya kuliah kalian. Mama berencana menjual rumah ini pada Pak Tama. Dia bersedia meminjamkan uang dulu untuk menebus rumah. Sebelum transaksi jual beli dilangsungkan."

Gina yang mendengar itu jelas kecewa. Dia menangis sekarang. Lalu meninggalkan meja makan dan pergi bekerja.

Tbc...

KEMBARAN ADALAH MAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang