Sedan hitam meluncur dengan mulus ke slot yang telah ditentukan. Suguru mematikan mesinnya, membiarkan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka untuk sementara waktu meredam pikiran-pikiran yang bergejolak di bawah permukaan. Jari-jemari Suguru memainkan irama staccato di atas kemudi yang berbalut kulit saat ia mengamati Kento memaksakan diri untuk menghadapi kenyataan yang semakin sulit dihindari. Pertanyaan meringkusnya, namun untuk saat ini, Suguru memilih lintasan yang lebih bijak untuk diam. Ia menunggu perang dingin mereda sebelum melayangkan serangan tanya bertubi-tubi tentang ini dan itu.
Gemerisik samar kain saat Satoru membantu putri Bianchi keluar dari mobil menjadi katalisator, mempercepat keluarnya Kento dari mobil dan masuk ke dalam tempat peristirahatan mereka yang remang-remang.
Kento melangkah menjauh dari interaksi kehatian-hatian yang berlangsung di ruang tamu. Di atas sofa, putri Bianchi duduk bersama Satoru. Netra peraknya mengedar, mempelajari setiap detail di ruang tamu dengan penuh kepasrahan.
"Bagaimana aku memanggilmu?" Satoru menggumamkan pertanyaannya dengan lembut. Jari telunjuknya membelai secerkas rambut gadis itu dan menyelipkannya ke belakang telinga.
Keheningan berat merupakan tanggapan putri Bianchi yang menggantung di udara seperti trauma yang tak terucapkan. Alih-alih menjawab, ia memalingkan wajah. Terpaku pada serat-serat karpet di bawah kakinya yang lebih membawa ketenangan untuk ditatap berlama-lama.
"Baiklah. 'Tanpa nama'," Satoru mengangguki pengabaian itu dengan tenang, memilih untuk memanggil dengan sebutan aneh daripada menyebut kembali marga yang menjadi mimpi buruk adik tirinya sendiri. "Untuk sementara aku akan memanggilmu itu. Ayo kita bersihkan dirimu terlebih dahulu. Bagaimana hm? Tanpa Nama,"
Putri Bianchi mengangkat kepala. Satoru menggembalakannya menuju kamar mandi dan memberikan kemeja polosnya sebagai pakaian pengganti sebelum ia menutup pintu untuk memberikannya ruang privasi.
Saat menit demi menit berlalu dengan lambatnya, suara sayup-sayup gemercik air terdengar dari arah kamar mandi, melukiskan gambaran mental putri Bianchi yang sedang merawat luka fisiknya sendiri. Dengan lembut ia membasuh kotoran dari cobaan yang dialaminya. Mematung sejenak saat mengamati genangan air keruh dibawah kedua telapak kakinya.
Sementara itu, Kento berdiri mematung di halaman belakang, terpaku oleh keheningan yang berputar di sekitarnya seperti pusaran air. Pusarannya menarik Kento lebih dalam ke dalam pasir hisap dari pikirannya yang penuh gejolak. Udara terasa pekat dengan kata-kata yang tak terucapkan, dan bayangan-bayangan tampak semakin dalam, seolah-olah merasakan gejolak yang terjadi di dalam dirinya.
Langkah kaki Satoru yang lembut menandai kemunculannya. Wajah yang biasanya santai, terukir dengan garis-garis kekhawatiran saat ia mendekati Kento.
"Dia akan baik-baik saja bersama kita," katanya dengan tegas, kata-katanya seperti ranting zaitun yang menjulur melintasi jurang kegelisahan di antara mereka. Tatapan Satoru mengarah ke ambang pintu sebelum kembali fokus pada Kento dengan intensitas yang memungkiri nada suaranya yang tenang. "Kau harus tahu, Kento, dia sudah melalui neraka. Memar-memar itu hanya bekas luka di permukaan dan mungkin masih banyak lagi, jauh lebih banyak di baliknya,"
Sebuah angkat bahu yang meremehkan bergulir dari bahu Kento, sarat dengan beban seribu kata yang tidak terucapkan. Ekspresinya tetap menjadi topeng keterpisahan, diasah oleh wadah pengalaman yang brutal saat ia menjawab dengan nada yang terkuras emosi.
"Anak itu urusanmu," Pernyataan itu menggantung di udara, sebuah pengakuan tegas tanpa simpati atau belas kasihan.
"Sejujurnya Kento, orang yang paling berhak membebaskannya adalah kamu,"
Pria pirang itu mengernyitkan dahinya terganggu. Kalimat Satoru menguap sia-sia seolah Kento, bahkan sejak awal, tidak pernah senang atas permainan penyelamatan yang diusungkan kakak tirinya. "Aku tidak punya waktu mengurusi darah daging seorang monster,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
RomanceDalam bayang-bayang masa lalu yang penuh gejolak, Nanami Kento, menuntut balas kepada sekelompok mafia untuk membalaskan dendam atas kematian keluarganya yang brutal. Di tengah-tengah pembantaian itu, ia bertemu dengan seorang gadis, putri pemimpin...