Cowok jangkung itu baru selesai mandi. Dengan handuk yang masih melilit tubuh bagian bawahnya, dia berkaca pada cermin panjang di depannya. Dilihatnya rona ungu di beberapa bagian tubuhnya, paling patah ada di punggung. Dia mendesah pelan, pasti butuh waktu lama untuk menyembuhkannya.
"Orang gila mana, ya orangtua gue-lah," ucapnya.
Setelah itu, dia memakai seragam sekolah dan bergegas keluar kamar. Ransel hitam yang menggantung di pundaknya kini ditahan oleh seorang pria paruh baya, ayahnya.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Adit mau sekolah, Pa," jawab cowok yang dipanggil Adit tadi sembari memutar bola matanya.
Ayahnya terkekeh. "Ngapain lo sekolah, kayak punya duit aja. Beasiswa lo dicabut, 'kan?"
Adit melepas paksa genggaman tangan ayahnya di ransel itu. Dia melengos tanpa menjawab sepatah katapun.
Duk!
Adit meringis ketika sebuah benda mengenai kepalanya. Sebuah remot TV. Tanpa memedulikan siapa yang melempar benda semacam itu padanya, Adit melanjutkan kegiatannya memakai sepatu.
"Woi! Jangan kurang ajar lo! Mau gue pukul pala lo pake botol hah? Mending lo kerja daripada sekolah," terang ayahnya sembari duduk di kursi ruang tamu.
"Apa sih, Pa? Adit juga sekolah sambil kerja asal Bapa tau, kebutuhan rumah juga Adit yang tanggung. Bapa ada kasih? Bapa kerja aja cuman buat diri Bapa sendiri, beli rokok sama ciu. Kalau belum bisa nafkahin, jangan ngatur gitu!" balas Adit menggebu-gebu, dadanya naik turun menandakan dia ada di puncak emosinya.
Tanpa menunggu jawaban dari sang ayah, Adit bergegas menaiki motornya. Karena, jika dia tak cepat, ayahnya yang ringan tangan itu pasti akan menghajarnya habis-habisan seperti tadi malam. Lagi pula ayahnya masih dalam keadaan mabuk.
Selama perjalanan, Adit berpikir keras tentang beasiswanya. Dulu dia diterima melalui jalur tes dengan skor sempurna. Dia dijanjikan mendapat beasiswa full selama dia bersekolah. Tetapi, tepat dua bulan lalu, dia gagal mendapat medali olimpiade matematika tingkat provinsi. Hal itu membuat beasiswanya nyaris dicabut, tetapi dia berhasil meyakinkan para guru dan kepala sekolah bahwa akan menorehkan prestasi lain. Akhirnya, dia hanya membayar setengah dari uang SPP-nya mulai kelas 11 ini.
"Setengahnya aja aku belum tentu bisa, Ya Allah. Gimana ini?" ucap Adit di balik helmnya.
Motornya memasuki area sekolah. Dia segera memarkirkannya di antara motor mewah milik yang lain. Terlihat jelas ketimpangan sosial di sini. Meski begitu, Adit tak ambil pusing masalah ini.
Adit menyapu pandangannya. Ya, sekarang dia tak seharusnya minder dengan yang lain. Bisa dikatakan dia siswa semi-reguler karena membayar setengah dari SPP yang ada.
Kini atensinya terfokus pada gadis berambut putih yang berdiri tak jauh darinya. Kak Abighea. Adit kemudian tersenyum seraya menundukkan kepala sedikit, kemudian berlalu meninggalkan parkiran. Bisa dibilang, dia menghindari bertatapan lama dengan Abi.
"Ternyata lebih cantik aslinya," ucap Adit sembari tersenyum tipis.
Adit diam-diam memperhatikan Ghea sedari dia kelas 10. Gadis dengan rambut putih itu begitu mencolok di mata Adit. Tapi karena gedung kelas 10 berada paling ujung, dan jauh dengan gedung kelas 11 dan 12 membuatnya tak bisa melihat Ghea dari dekat. Sekarang dia kelas 11, gedung mereka tepat berhadapan, entah mengapa ada rasa senang tersendiri.
"Dit, sini!" pekik seorang cowok yang tengah duduk di bangku paling ujung.
Adit menghampirinya. "Kok di ujung belakang, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A²+B²=C²
Novela JuvenilAbighea Pramuijaya, gadis albino yang suka sekali memeluk badut karakter di suatu pusat perbelanjaan. Bahkan tak segan dia bercerita banyak pada badut itu tanpa tahu siapa orang di dalamnya. Suatu hari dia mengajak adik kelasnya, Aditya Fahreza, unt...