Katakan bahwa Ghea bodoh ketika tak menyadari orang di dalam mobilnya dari awal bukan sopirnya, pak Ahmad. Ghea sesikit merutuki diri sendiri sekarang. Dia berusaha tenang walau tangan dan kakinya gemetar hebat.
Oke, sekarang apa yang harus gue lakuin? Batinnya.
Ayolah, bahkan kejadian ibunya meregang nyawa lebih buruk dari ini. Dia pasti bisa, 'kan?
Berusaha bersikap biasa saja, Ghea memasukkan novel yang dia beli dari paper bag ke dalam ranselnya. Ya, dia berencana kabur dan tak mungkin meninggalkan benda berharga itu di mobil. Dia berusaha setenang mungkin agar tak dicurigai. Terakhir dia melepaskan gelang dari pergelangan tangannya, lalu memegang bandul yang berbentuk kristal itu.
Sebenarnya itu bukan gelang biasa. Bandul yang menggantung tadi berisi obat bius lengkap dengan jarumnya. Ghea melepas tutup obat bius itu, dan dengan cepat dia menancapkannya di leher orang asing di bangku kemudi.
Jleb!
Ghea memegang erat tali pengamannya karena mobil mulai oleng seiring dengan kesadaran sang sopir mulai hilang.
Brak!
Mobil berhenti karena menabrak tiang listrik. Ghea dengan sigap melepas seatbelt-nya lalu membuka pintu. Mereka berhenti tepat di depan gang sepi. Tanpa pikir panjang Ghea langsung lari kelimpungan menusuri gang tersebut berharap ada orang menolongnya. Ghea memberanikan melirik, benar saja, mobil di belakangnya yang sedari tadi mengikuti merupakan komplotan dia.
Ghea semakin mempercepat langkahnya ketika beberapa orang berjas hitam mulai mengejar. Di ujung gang, Ghea dihadapkan dengan jalan kecil. Dan tak jauh dari tempatnya berdiri, ada masjid yang tampak lebih bercahaya dari bangunan di sekitar.
Ghea langsung berlari menuju masjid tersebut. Dia membuka sepatunya lalu menentengnya sebelum dia dengan cepat melangkahkan kaki ke dalam bangunan suci ini.
Tuhan, maafin Ghea, mungkin kaki Ghea kotor, tolong bantu sembunyiin Ghea.
Ghea duduk membelakangi sebuah rak berisi mukena. Dia gemetar, dadanya sakit, air matanya bahkan sudah lolos tanpa suara.
"Mba? Kenapa, Mba?" tanya perempuan asing yang tengah memakai mukena berwarna ungu itu.
Ghea meletakkan jarinya di depan bibir. "Tolong, jangan keras-keras. Saya lagi dikejar, saya gak bisa lari lagi."
Duk! Duk!
Ghea memukul sedikit dadanya. Benar, sakit sekali. Padahal dia tidak boleh melakukan pekerjaan berat, seperti berlari.
"Pakai ini, Mba. Biar rambutnya ketutup, mencolok banget soalnya." Perempuan tadi memberi mukena berwarna putih pada Ghea.
Ghea memakainya tanpa pikir panjang. Setelahnya, dia dituntun untuk duduk di karpet. Ternyata perempuan tadi tidak sendiri, ada dua yang lain.
"Gina, kenapa?" tanya teman perempuan tadi.
Perempuan yang menolong Ghea hanya mengisyaratkan untuk diam. Ghea duduk bersila menghadap depan, sedangkan perempuan yanh dipanggil Gina tadi duduk menghadapnya. Gina menggeser rehal beserta Al Quran yang sudah terbuka di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A²+B²=C²
Fiksi RemajaAbighea Pramuijaya, gadis albino yang suka sekali memeluk badut karakter di suatu pusat perbelanjaan. Bahkan tak segan dia bercerita banyak pada badut itu tanpa tahu siapa orang di dalamnya. Suatu hari dia mengajak adik kelasnya, Aditya Fahreza, unt...