02 || Saling Peduli

882 131 16
                                    

"Makan dulu, La," ucap Fares yang baru pulang usai membeli makan. Kantung plastik berisi dua bungkus nasi goreng ia letakkan di meja depan TV. Sejenak ia mengamati adik bungsunya yang masih tiduran di sofa, memeluk bantal dengan mata tertuju pada siaran televisi. Anak itu terlihat masih kesal karena perdebatan dengannya beberapa waktu lalu.

Fares beranjak menuju dapur, lantas kembali dengan membawa 3 buah piring. "Duduk coba. Abang udah sering bilang, kalo ngambek itu jangan larinya ke nggak mau makan."

Kaila mulai luluh ketika melihat Fares menyiapkan makan untuknya. Gadis itu pun duduk, tapi masih tak berniat membantu abangnya untuk membagi dua bungkus nasi goreng itu ke tiga piring. "Bisaan banget nyogoknya," ucap Kaila dengan nada pelan. Tahu saja abangnya itu kalau dia sedang ingin makan nasi goreng.

"Habisin, biar gendut," ucap Fares seraya menyodorkan sepiring nasi goreng pada adiknya. Tak ikut makan, lelaki itu justru mendekati Kaila seraya membuka tutup salep yang memang juga dibawanya. "Siniin kaki kamu!"

Kaila tak mengerti ketika Fares duduk di sebelahnya, lantas meminta ia untuk menaikkan kaki. Tapi melihat kakaknya membawa salep, ia sadar jika itu dimaksudkan untuk luka lecet di punggung kakinya.

Fares menarik kaki adiknya sedikit memaksa. Lantas ia mulai mengoleskan salep di beberapa bagian kaki Kaila yang lecet. Ia heran kenapa gadis itu seperti tak pernah merasa sakit meski cukup sering mengalaminya. Rasanya luka-luka yang datang karena aktivitasnya sebagai balerina itu justru dinikmati saja oleh Kaila.

"Lecet-lecet begini emangnya nggak sakit apa?"

"Enggak."

"Jangan terlalu diforsir mainnya, sewajarnya aja."

Kaila tak lagi menjawab. Ia membiarkan keheningan menyelimuti mereka, sampai akhirnya Fares selesai mengobati lukanya. Kaila kembali menurunkan kaki, lantas berniat memakan nasi goreng yang masih mengepulkan asap.

Begitu Fares meninggalkannya untuk mengantar makanan ke kamar Vadin, Kaila sejenak menghentikan aktivitas. Ia melihat piring kakaknya yang terisi lebih sedikit dari miliknya dan Vadin. Rasanya sangat tak enak setiap kali Fares melakukan hal ini. Maka tanpa sepengetahuan abangnya, gadis itu memindahkan beberapa sendok nasi goreng dari piringnya ke piring lelaki itu.

***

Bukan Vadin namanya kalau tidak membuat Fares harus berkali-kali menghela napas lelah. Ia pikir, adiknya itu sedang tidur karena harus benar-benar beristirahat. Namun nyatanya, Vadin justru tengah duduk di kursi belajar dengan laptop kesayangannya. Fares mendekati lelaki itu, kemudian meletakkan sepiring nasi goreng dan juga air minum.

"Jangan ditaroh sini lah, Bang. Baunya jadi nyampur sama lilin," ucap Vadin yang tak suka ketika Fares meletakkan makanan di meja belajarnya. Wangi vanila dari lilin aromaterapi yang berpendar, kini mulai bercampur dengan aroma nasi goreng. Tapi bukannya menuruti pinta, abangnya itu justru bersandar pada meja, melipat tangan di bawah dada seraya menatapnya begitu intens.

"Mulut Abang tuh sampe kram setiap nyuruh kamu istirahat. Diem aja gitu, tidur, apa nggak bisa?"

Vadin menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Jemarinya terlihat sibuk mengetikkan sesuatu yang entah apa. Sesekali ia menutup mulut, meredam suara batuk yang memang belum sembuh.

"Sini Abang aja yang ngerjain tugasnya, matkul apa?"

"Bukan tugas kuliah, Abang keluar aja sana. Nanti aku makan, kok." Vadin menyingkirkan tangan Fares yang hendak mengecek pekerjaannya. "Ini revisian naskah. Udah ditungguin sama editorku, harus segera diselesein."

Fares sadar jika deretan tulisan dalam layar laptop itu adalah sebuah karya yang Vadin tulis. Adiknya itu memang aktif di dunia kepenulisan dan pernah beberapa kali menerbitkan buku fiksi. Fares mendukung penuh bakat adiknya itu. Namun akhir-akhir ini, ia mulai merasa Vadin begitu berlebihan dalam mengejar pencapaiannya. Ia rasa hal itu juga yang membuat Vadin jadi banyak pikiran sampai akhirnya jatuh sakit.

Pilu MembiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang