08 || Jarak yang Terbentang

672 119 44
                                    

Fares ingin segera kembali ke rumah sakit setelah menyiapkan beberapa barang yang dibutuhkan selama adiknya dirawat. Namun kini, lelaki itu masih terduduk lemas di kamar mandi setelah beberapa kali memuntahkan isi lambung. Wajahnya yang sudah pucat sejak semalam, kini terlihat semakin tak berona. Ini bukan saatnya untuk tumbang, sehingga Fares mencoba menguatkan dirinya kembali.

Setelah mengumpulkan tenaga, Fares perlahan bangkit. Ia keluar dari kamar mandi dengan bertumpu pada apa pun yang ia lewati. Langkahnya ia bawa menuju kamar. Fares ingin beristirahat beberapa waktu. Ia cukup sadar jika kondisi tubuhnya melemah karena kurang istirahat. Lelaki itu juga tidak ingin menemui adik-adiknya dalam kondisi buruk seperti ini.

Baru saja ingin menjatuhkan tubuh pada kasur, dering ponsel lebih dulu menyita perhatian Fares. Ia mengambil ponsel di atas nakas, cukup terkejut ketika panggilan telepon itu berasal dari bundanya. Lelaki itu duduk di tepian kasur, menimang sesaat, lantas menerima panggilan.

Fares?”

“Iya, gimana?”

Bunda udah transfer uangnya ya. Kamu jangan tempatin adikmu di ruang rawat kelas bawah. Bunda nggak suka kalo dateng ke situ tapi kondisinya ramai sama keluarga pasien lain. Bunda risi lihatnya.

Fares lantas menghela napas lelah. “Emangnya Bunda mau dateng?”

Kalau nggak ada acara pasti Bunda sempetin dateng. Si dokter cerewet itu juga dari kemarin hubungin Bunda terus. Nanti kalo kamu ketemu dia, bilang aja Bunda udah jenguk Vadin, tapi nggak sempat ketemu sama Dokter Andra. Ya?”

“Aku nggak mau bohong. Dokter Andra mungkin mau bicara serius soal kesehatanya Vadin.” Fares merebahkan tubuhnya pada kasur. Meladeni bundanya membuat kepalanya semakin pening. Satu tangan lelaki itu pun terulur untuk memijat kening.

Adikmu kan emang sering keluar-masuk rumah sakit dari dulu. Penyakitnya emang nggak bisa sembuh kan, terus apa lagi yang bisa dibicarain?”

Fares berdecak kesal. “Terserah aja udah, aku capek kalo ngomong sama Bunda.” Tanpa menunggu jawaban, Fares lebih dulu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia membuang ponselnya ke sisi tubuh setelah mematikan data agar bundanya tak lagi menelepon. Rasa pusing, lelah, juga kantuk perlahan merenggut sadarnya, dan lelaki itu terlelap untuk membayar waktu istirahat yang semalam tersita.

***

Fares tidak sadar jika dirinya tertidur terlalu lama. Ia buru-buru ke rumah sakit ketika hari sudah sore. Bisa ia tebak jika adiknya pasti bertanya-tanya sebab dirinya tak jua datang. Benar saja, ketika ia baru saja masuk, tatapan tajam Kaila langsung menusuk dirinya.

“Maaf, tadi Abang—“

“Ini udah jam berapa coba? Abang tau kan aku belum mandi dari semalem? Badanku udah lengket gini, tapi Abang malah nggak dateng-dateng. Habis dari mana, sih?!”

“Ketiduran tadi,” singkat Fares selagi mengeluarkan beberapa barang dari dalam tas. Ia tidak begitu peduli dengan rengekan Kaila yang sangat kekanakan.

“Malah ketiduran coba. Aku loh tadi malem dibela-belain tidur di lantai, malah Abang enak-enakan tidur dulu di rumah sementara aku di sini kelimpungan. Mana nggak ada duit, nggak bisa beli makan. Aku sampe makan makanan punya Kak Vadin buat ganjel perut, loh.”

“Hm, Alhamdulillah kalo ada yang buat ganjel dulu.”

Kaila mencebik, ia kesal bukan main mendengar jawaban santai abangnya. “Abang tuh ngerti nggak sih maksudku?!”

“Sttt, ada apa sih, Dek? Jangan tengkar, ibu saya lagi tidur.”

Fares dan Kaila sontak menoleh ke sumber suara. Keduanya membeku ketika seorang wanita berhijab datang dari balik tirai pembatas, menegur mereka yang menganggu pasien lain.

Pilu MembiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang