Wajib follow, vote, dan komen, sebelum membaca!
Hari ini aku merebah di kasur menatap langit-langit kamarku dengan bosan. Ketika pulang dari sekolah dan semua tugas sudah ku selesaikan, membuatku merasa kosong dan bingung harus melakukan apa.
"Pokoknya aku mau cerai! Kamu urus anak gila itu! Aku mau pergi dari sini!"
"Wanita jalang! Byron bukan anakku! Harusnya kamu yang tanggung jawab sama hidupnya!"
Seperti biasa, suara gaduh dari arah lantai satu terdengar sampai menembus dinding kamarku yang berada di lantai dua ini.
Apa mereka tidak lelah? Setiap hari harus mengeluarkan pasokan suara yang begitu dasyat dan menguras energi. Belum lagi kalimat tamplate yang selalu diucapkan tapi enggan realisasikan.
Aku tak tahu masalah orang dewasa. Aku hanyalah remaja laki-laki yang bisa dikatakan unik.
Pirang rambutku, sedikit ikal, dan nampak bersinar jika terkena cahaya, putih pucat kulitku, hidung yang runcing, dan tinggi badan di atas rata-rata dari anak seusiaku. Tak lupa, bola mata biru laut yang akan berubah coraknya jika terpampang sinar mentari.
Indonesia? Tentu aku orang Indonesia. Tapi, mengapa dengan deskripsi wujudku jauh dari kata Indonesia? Entahlah, aku saja baru menyadarinya saat memasuki Sekolah Dasar, di saat melihat teman-temanku tak ada yang serupa denganku, aku merasa asing di kota kelahiranku sendiri.
15 tahun usiaku saat ini, tak ada yang menonjol pada diriku kecuali tampilan luarku. Bahkan, aku adalah anak berkebutuhan khusus, kata Mama dan Papa.
Bryon namaku. Hanya satu kata yang entah berartikan apa.
Aku tak mengerti kenapa mereka selalu membentak jika aku melakukan sedikit kesalahan, dan kata-kata andalannya adalah, "Dasar anak gila!"
Gila, ya? Dalam kamus besar bahasa Indonesia, merujuk pada istilah 'sakit jiwa'. Apa benar aku gila? Selama ini aku merasa normal seperti anak kebanyakan. Aku bisa mengerjakan tugas sekolah dengan baik entah itu bidang akademik maupun non-akademik.
Ada satu, mata ini yang membuat berbeda dari khalayak manusia. Terdengar konyol, namun mampu membuat seseorang risi jika berdekatan denganku.
Berbicara sendiri. Tidak, aku tidak sedang berbicara sendiri, aku benar-benar berbicara pada sosok yang ada di sekitarku, hanya saja orang-orang tak mampu melihat apa yang aku lihat.
Ini bukan imajinasi, buktinya aku pernah melihat aksi jahil mereka saat membuat barang-barang di rumah dan di sekolah hilang atau bergerak karena ulahnya.
Tak jarang, aku melihat dari mereka yang memiliki energi begitu kuat hingga membuatku sesak ketika berada di dekat mereka.
Bentuk sosoknya beragam, dan bahasa mereka juga sama dengan bahasa manusia. Hanya saja, mereka nampak menyeramkan dan penuh dengan kegelapan.
Banyak tetangga yang menatapku iba, ketika aku keluar dari rumah dalam kondisi penuh luka. Nyatanya, aku sudah terbiasa dengan perlakuan kedua orang tuaku itu. Menganggapnya seperti hal lazim yang dilakukan dalam mendidik anaknya.
Kembali di kamar ini, aku berusaha menutup mataku, beberapa menit memang sedikit terganggu dengan suara-suara itu. Namun, karena adaptasi seluruh indra ini yang sudah membaur. Akhirnya, aku terlelap tanpa permisi.
Besoknya aku bangun dengan tubuh yang bugar, merenggangkan otot-otot yang kaku. Detik kedua, terdengar suara gemuruh dari dalam perut ini.
"Iya juga, aku belum makan dari kemarin." Aku berceletuk sembari menggaruk suraiku yang sedikit gatal.
"Pagi, cantik. Seperti biasa wajah surammu menjadi semangat pagiku," pujiku pada sesosok entitas wanita, dengan rambut kusutnya yang menjuntai sampai lantai, dan bola mata yang memutih kadang menggelap itu. Dia yang selalu duduk di atas lemari bajuku.
"Hihi, bisa aja brondong satu ini ... Jadi, pingin cekik lehermu deh, hihihi ..."
"Jangan dong, Mbak. Nanti ga ada yang gombalin Mbak lagi."
Turun dari kasur dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Beberapa menit membersihkan diri, aku keluar hanya dengan bermodalkan handuk yang dililitkan di pinggang. Berjalan menuju lemari dan memilah seragam yang akan dikenakan hari ini.
Batik almamater berwarna biru tua dan putih telah membungkus daksa ini. Aku merapikan rambut ikalku dengan jemari tangan.
"Sip! Gantengnya oii," pujiku pada pantulan bayangan yang ada di cermin lemari.
Tanggaku bergerak menurunkan tuas pintu dan berjalan girang menuruni anak tangga.
Dapur tujuanku, karena aku akan mati jika tidak mengisi perut ini. Sedikit berlebihan, namun itu faktanya.
"Ma, ada sarapan?" Aku bertanya pada Mama Anna yang terlihat suram duduk di sofa ruang tamu.
"Berisik! Kamu bisa tanya Bibi kan?! Ga tau Mama lagi stres, hah?!" Mama menyentak dan menatap jijik ke arahku.
"Hehe, iya maap." Karena tak ingin semakin meledakkan emosinya, aku berlari kecil menuju dapur.
Sampai ditujuan, aku melihat Papa Evan sudah duduk di kursi utama meja makan. Dia tengah menyesap kopinya sembari berkutat dengan ponsel.
"Cepat makan dan berangkat ke sekolah, jangan cuma berdiri saja di situ," titah Papa lengkap dengan sorot mata dinginnya.
"Nggih, Paduka," sarkasku segera duduk di ujung kursi yang jauh dari tempat Papa berada.
Mataku kebingungan pada pilihan ini. Roti atau nasi? Kenapa Bibi harus menyiapkan keduanya? Aku suka roti akan lebih cepat habis dan menyehatkan apalagi selai coklat yang menambah cita rasa saat menikmati setiap gigitannya, tapi aku tidak akan kenyang jika tak ada sebutir nasi yang masuk ke perutku meski ribuan roti sudah ku telan.
Oke, nasi. Aku akan makan nasi sebagai sarapan hari ini. Dan untuk lauk. Ada udang, ikan, sayur mayur, dan selai coklat.
Tangganku bergerak meraih toples coklat itu dan menuangkannya dua-tiga sendok di atas gunungan nasi panas ini.
"Bocah sinting." Tiba-tiba Papa mengeluarkan suaranya dan menatapku aneh.
Kenapa? Aku suka manis dan coklat. Tapi, aku harus kenyang. Jadi, apa salahnya mencampurkan keduanya?
Memilih abai, aku melanjutkan sarapanku dengan khidmat. Enak, tentu aku suka rasa coklat. Dan aku akan kenyang oleh karbohidrat dari nasi.
Usai rutinitas pagi, aku diantar sekolah bersama supir Papa. Sebelum aku keluar dari rumah gadang itu, aku kembali mendengar suara raungan Papa dan Mama dari dalam. Yah, sudah biasa.
Di sekolah aku kembali menjadi pusat perhatian. Jujur, aku suka jika mereka menatapku kagum, tapi ada beberapa pasang mata yang menatapku takut.
"Pagi, Beb. Mau jalan sama aku ga nanti?" godaku pada siswi yang kebetulan ada di sebelahku.
"Hm, lo ganteng sih. Tapi, skip deh, gue ga mau diguna-guna nanti sama lo." Siswi berambut panjang dengan bando pita di kepalanya itu baru saja menolakku.
"Kalau yang sebelahnya mau, gak?" tawar ku pada teman siswi berbando pita tadi.
"Gue lanang, woi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Remiges
FantasyKebosanan ini membunuhku. Menari seperti orang gila di dalam kamar sembari mendengarkan suara pecahan vas bunga dan perabotan rumah lainnya. Tak lupa raungan Mama dan pekikan menggelegar dari Papa yang membisingi rumah megah ini. Hingga, aku menemuk...