3. Nasi Putih

121 11 0
                                        

Wajib follow, vote, dan komen, sebelum membaca!


Sedikit terkejut dengan tembakan gadis mungil itu. Sorot matanya itu seakan membongkar semua kebohongan ini. Rasanya seperti berhadapan dengan polisi Kabupaten.

"Benar, kok." Aku membalas meski dengan nada yang kaku.

Yaya memincingkan mata besarnya itu. Detik kedua dia tersenyum lucu. "Oh, oke deh. Aman kalo gitu, ya?" Gadis itu kembali fokus pada bukunya.

Bernapas lega meski terasa bersalah. Entahlah, seharunya aku tak berbohong. Namun, karena sudah terlanjur, aku memilih melanjutkan dramanya.

Di saat atensiku beralih pada buku pelajaran. Celetukan Dodo membuyarkan semuanya. "Lo gak bisa bohong sama Nessa. Mendingan jujur di awal, kalo lo mau temenan sama kita dan mau ambil kepercayaan gue sama dia." Dodo berbisik dengan menyenderkan punggungnya di kursi.

Merasa ada yang tak beres dengan si kembar ini. Sedari awal aku terlalu tertekan dengan atmosfer di sekitar mereka. Dan yang membuatku kelimpungan, mengapa diri ini bisa tertarik pada kedua saudara ini? Mengapa aku ingin berteman dengan mereka? Entahlah, jawaban itu tak tersedia di otak ini. Aku hanya mengikuti arus kehidupan.

Beberapa mata pelajaran telah kami lewati dengan baik. Deringan bel sekolah berbunyi nyaring menandakan jam istirahat telah tiba. Dengan perasaan berkecamuk, aku kembali mengekori si kembar yang menuju kantin sekolah. Mereka hanya diam saja, seluruh mata memandang berpusat padaku. Yah, sudah biasa, aku tak mempermasalahkannya.

Mereka duduk tepat di tengah-tengah meja kantin yang kebetulan kosong. Aku ikut duduk di depan mereka berdua. "Mau pesan apa? Aku traktir," tawarku berniat memberi bestelan sebagai tanda pertemanan.

Terjadi keheningan sejenak. Bukannya menjawab, Yaya dan Dodo justru saling melempar pandang seperti mengkode sesuatu.

"Kalau gitu kita mau nasi putih sama air aja. Makasih dah mau traktir." Yaya menjawab dengan riang yang sukses membuatku semakin diterkam rasa penasaran.

"Nasi putih dan air? Lauknya?" Aku bingung harus menanggapi bagaimana, akhirnya memilih untuk menanyakannya kembali.

"Gak usah, udah cepetan kalo mau beliin! Kita lapar!" Dodo menjawab dengan nada tinggi. Jika dia bukan temanku, sudah  kujahit mulut tak sopannya itu.

Aku berdiri dan lekas menuju salah satu penjual di sana. Menuruti apa yang mereka minta dan membayarnya menggunakan uang hasil memungut dari dompet Papa.

Sedikit risi dengan tatapan ibu kantin yang menelisik. Aku tahu dia kebingungan mengapa aku memesan dua mangkuk nasi dan tiga gelas air putih. Lalu, bergeser ke stand penjual di sebelah, dan membeli semangkuk bakso untukku sendiri.

"Ini pesanannya, Nona dan Tuan." Aku meletakkan nampan di atas meja yang telah kami duduki sebelumnya.

Dodo terlihat menatap lekat mangkuk baksoku, bahkan liurnya nyaris menetes. "Kamu mau? Mau aku pesankan?" tawarku karena tak sanggup melihat wajah kasihannya itu.

Namun, Yaya justru menyikut adiknya, seketika itu juga Dodo tersadar. "Nggak, gue maunya nasi putih!"

Kenapa mereka begitu pelik? Apa enaknya memakan karbohidrat tanpa lauk? Apa sedang menjalani program diet?

Memilih untuk abai dan mulai menuangkan bumbu kacang ke dalam mangkuk ini yang kebetulan tersedia di atas meja.

"Heh! Itu bumbu kacang, ngek! Bisa-bisanya dicampur ke bakso!" Aku terperanjat mendengar sentakan dari Yaya.

"Kan sudah disediakan di meja, apa salahnya kalau aku mencampurkannya?"

Sontak Yaya dan Dodo memasang air muka jijik. Memangnya apa salahku? Jika bumbu itu tersedia gratis di sini, tentu aku ingin mencobanya.

Remiges Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang