Simpati

45 0 0
                                    

Saat berjalan di koridor, Milky tanpa sengaja mendengar pembicaraan antar perawat mengenai Gian. Milky pun terpaksa berhenti dan menguping. Rupanya calon penerima donor mata Gian ada di rumah sakit ini juga. Milky jadi kesal dan segera pergi dari sana.

Bukan urusanku, pikir Milky. Namun, langkah Milky terhenti.

Tidak ada salahnya mengecek, pikir Milky penasaran. Ia mengingat nomor kamar yang disebut oleh perawat tadi.

Milky cukup beruntung karena pintu kamarnya sedikit terbuka hingga ia bisa mengintip. Dilihatnya tiga orang dalam kamar. Seorang pemuda dengan mata diperban sedang mengamuk dan ditenangkan oleh kedua orang tuanya. Milky bisa mendengar percakapan mereka.

"Untuk apa aku hidup tapi buta? Mau ngapain juga nggak bisa! Kalian bohong, katanya aku bisa sembuh kalau kemari!," ucap pemuda itu.

Orang Indonesia? Milky pun semakin penasaran. Kali ini seorang wanita tua terdengar, sepertinya ibu dari pria itu.

"Tenang, nak. Kamu harus sabar dan menunggu. Jangan begini," ucap wanita itu setengah menangis.

"Kalian semua nggak ada yang ngerti perasaanku! Coba kalian tutup mata kalian dan berjalan gimana rasanya!"

Pria tua disana memeluk pemuda yang sedang mengamuk itu sambil berusaha menenangkannya.

"Kami mengerti, nak. Kami mengerti."

"Aaaaargh!," teriak pemuda itu frustasi.

Mendengar teriakan dari kamar, dokter dan perawat pun segera datang. Entah apa yang mereka lakukan, Milky segera pergi dari sana dengan berbagai pikiran yang berkecamuk.

Sesampainya di kamar, Milky mengira Gian sedang tidur. Namun rupanya pria itu sedang terjaga dan mewarnai sebuah buku yang memang Milky siapkan untuk kegiatan santai Gian.

Gian sepertinya tidak menyadari Milky datang, sedangkan Milky hanya memandang sedih pada Gian. Merasa iba pada Gian yang sedang sakit namun masih berusaha beraktivitas.

"Milky?," Gian akhirnya menyadari seseorang di pintu.

Milky yang sedang memperhatikan Gian jadi terkejut disapa tiba-tiba. Ia hanya bisa membeku.

"Sayang, maafkan aku," ucap Gian berusaha berdiri untuk mendekati Milky. Milky pun tidak tega, ia segera mendekati Gian.

"Gian, hati-hati," ucap Milky merangkul Gian.

"Mil, maafkan aku sudah membuatmu menangis," ucap Gian yang langsung memeluk Milky.

Milky yang berada di pelukan Gian pun tidak bisa menahan tangisnya, ia menangis tersedu-sedu dan memeluk erat Gian.

"Padahal kamu sudah repot menjagaku di rumah dan disini. Maaf, aku terlalu keras tadi, aku tidak bermaksud menyakitimu."

Milky pun menggeleng, menghapus air matanya dan memandang Gian.

"Tidak apa, aku juga salah tadi. Maaf," ucap Milky sambil tersenyum.

"Aku janji tidak akan menyakitimu lagi," ucap Gian sebelum mencium Milky.

"Hmm...mmm," desah Milky. Ciuman Gian selalu terasa nikmat dan seketika melelehkan suasana. Tanpa sadar tangan Milky merangkul leher Gian.

Kruuk...kruuk! Terdengar suara perut Milky. Gian menghentikan ciumannya. Aah, perut sialan, mengganggu saja! Pikir Milky.

"Kamu belum makan?," tanya Gian. Milky menggeleng.

"Makanlah, sayang."

"Aku tidak lapar."

"Aku minta Sekar membawakan makanan dari rumah, oke. Kamu suka soto kan?," tanya Gian berusaha merayu Milky dengan makanan Indonesia.

"Soto? Memangnya...," Milky baru ingat Sekar kan orang Indonesia, pasti dia bisa masak itu.

"Kamu harus makan, Mil. Kalau tidak aku marah."

"Hmm... kalau soto bolehlah," balas Milky. Sudah berapa lama dia tidak makan itu.

Gian tersenyum dan segera menghubungi Sekar. Rasanya Milky tak sabar. Kalau tahu Sekar bisa masak soto, sudah Milky suruh dari dulu.

"Btw, Gian?," panggil Milky setelah Gian menutup mengakhiri panggilan dengan Sekar.

"Hmm?"

"Apa... kamu tahu kalau... hmm... maaf, tidak jadi saja," ucap Milky, tapi Gian terlanjur penasaran. Ia menggengam tangan Milky agar menghadapnya.

"Kalau apa, Mil?"

"Tidak apa-apa."

"Sayang, ceritalah padaku," ucap Gian.

Sebenarnya Gian tidak ingin memaksa Milky jika belum siap untuk cerita, tapi kondisi Gian sekarang yang bisa "pergi" setiap saat membuat Gian jadi agak agresif bertanya.

"Hmm, baiklah, tapi janji kamu tidak kaget."

"Ya."

Milky pun menceritakan perihal calon pasien penerima donor organ yang dilihatnya tadi.

"Lalu?," tanya Gian.

"Hmm.. kamu tidak merasa gimana gitu? Seperti rasa tidak nyaman bahwa seseorang menanti... " Milky tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, namun untung Gian mengerti maksud Milky. Gian malah tertawa.

"Aku bukanlah satu-satunya pendonor, Mil. Dia bisa mendapatkannya dari pendonor lain jika waktunya tepat. Apa semua pendonor harus merasa bersalah? Apa semua penunggu berharap pendonornya cepat pergi? Bukan begitu konsepnya."

"Oh, begitukah?," tanya Milky lega. Kini ia mulai mengerti.

"Jadi selama ini kamu tidak suka aku jadi pasien donor darah karena alasan itu?"

Milky mengangguk. Gian malah tertawa lagi. Istrinya ini lucu sekali, pikir Gian.

"Kemari, sayang. Temani aku tidur."

Milky pun mendekat dan bersandar pada dada bidang Gian. Untungnya tubuh Milky cukup kecil hingga kasur di rumah sakit bisa menampung tubuh mereka berdua.

Milky bisa merasakan dada Gian bergetar-getar karena menahan tawa.

"Gian, berhenti tertawa! Katanya mau tidur," ucap Milky ngambek.

"Maaf, baiklah aku tidur," ucap Gian memejamkan matanya sambil tersenyum. Sedangkan Milky kembali bersandar pada dada Gian. Pikirannya melayang ke pemuda tadi sebelum Milky ikut ketiduran.

 Pikirannya melayang ke pemuda tadi sebelum Milky ikut ketiduran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kisah Nyata MilkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang