Mobil yang membawa Jeane terus melaju melewati pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang jalan. Aspal yang berganti menjadi tanah setapak menjadi tanda bahwa ia sudah meninggalkan area perkotaan yang penuh dengan hiruk pikuk.Jeane membuka kaca mobilnya. Menatap setiap rumah yang ia lewati. Sekali-kali ia menghela napas mengingat permintaan Tuannya. Pemandangan hijau di depan tidak mampu menenangkan pemikirannya. Semenjak malam itu, suasana hatinya memang benar-benar sangat buruk.
Jeane kembali menutup kaca mobil itu. Menyenderkan kepalanya sambil memejamkan mata. Tiba-tiba bayangan mengenai kejadian bertahun-tahun itu kembali menghantui kepalanya. Kejadian itu akan kembali terulang jika semua keluarga Gateral mengetahui keberadaan anak itu. Atau mungkin akan menjadi lebih parah dan membuat Magnolia kecilnya terluka.
Tetapi apa yang tuan Tama katakan itu memang benar. Sudah seharusnya darah Gateral mendapatkan haknya.
Secara penuh.
••••"Profesor Belerick, dari semua bintang yang ada, mana yang menjadi favoritmu?" Magnolia meletakkan buku di meja tua usang yang ada di hadapan Belerick. Buku itu berisi gambar-gambar bintang yang ada di angkasa.
Belerick menoleh dan menatap bintang itu satu per satu. Cukup lama ia memperhatikan gambar bintang-bintang itu sebelum kembali fokus pada buku yang ia baca sedari tadi.
"Apakah kau pernah melihat bintang-bintang itu secara langsung?"
Magnolia menggangguk antusias. "Hampir setiap hari aku memperhatikan bintang-bintang di malam hari. Walaupun aku tidak dapat melihatnya dengan jarak yang dekat, tapi menatap bintang di malam hari dapat menenangkan pikiranku."
"Menenangkan pikiranmu? Apakah ada hal lain yang ingin kau tanyakan selain bintang favoritku?"
Magnolia tersenyum dan mengangguk. "Profesor selalu tahu apa yang ada dipikiranku. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya hidup di luar sana."
"Luar sana? Setiap hari kau berjalan-jalan menelusuri setiap sudut desa dan tidak mendengarkan arahan yang kuminta. Apakah itu tidak cukup Magnolia?"
Magnolia menghela napas kemudian berjalan menuju jendela yang ada di dekat meja Profesornya. Menatap bulan penuh yang akan bersinar sepanjang malam ini.
"Bagaimana rasanya hidup di perkotaan Profesor?" Pandangannya menatap lurus ke depan dan memejamkan mata menikmati angin yang masuk dari jendela itu, "bagaimana rasanya memiliki teman sebaya yang banyak? Menggunakan seragam sekolah yang sama dengan orang-orang lainnya? Atau berjalan-jalan sambil tertawa dengan temanmu."
"Percayalah Magnolia, itu tidak menyenangkan sama sekali. Kau hanya akan hidup secara monoton sambil dikelilingi orang-orang yang memanfaatkanmu. Kau akan menjadi orang yang mementingkan persaingan tanpa memperhatikan kualitas dirimu sendiri."
"Profesor Belerick ..."
"Bahkan orang yang kau anggap teman sewaktu-waktu akan mengkhianatimu. Membuatmu jatuh sampai hatimu benar-benar remuk."
"Profesor Belerick, aku ..."
Buku tebal yang dipegang lelaki tua itu ditutup dengan keras. "Magnolia Eleanor, kita sudah pernah membicarakan hal ini. Aku maklum saat kamu tidak belajar seharian dan memilih bermain dengan anak-anak desa lainnya. Aku juga maklum saat kamu diam-diam membaca semua jurnal di kamarku."
Belerick berdiri dari kursinya dan berjalan menuju rak buku. Memasukkan buku tua itu ke sana dan berjalan menuju pintu.
"Akan ada saatnya kakimu berpijak di aspal atau lantai berkilau yang sering kau sebutkan. Tapi sebelum itu terjadi, tolong belajarlah dengan baik."
Suara pintu kayu yang berdecit bergema di ruangan sederhana itu. "Canopus. Bintang favoritku adalah Canopus."
Magnolia menatap pintu yang ditutup dengan perlahan lalu menghela napas. "Terkadang aku bertanya-tanya mengapa Profesor sangat sensitif saat aku bertanya tentang kehidupan di kota. Apakah dia memiliki pengalaman yang buruk selama di sana?"
Semua kemungkinan buruk yang ada di kepala Jeane tiba-tiba hilang saat gadis belia di depannya bercerita banyak tentang kesehariannya. Jeane sudah tiba di desa ini dua jam yang lalu dan selama itu pula ia berada di dalam kamar Magnolia.
"Nek, mengapa setiap kali aku bertanya tentang kehidupan di kota kepada Profesor Belerick dia selalu bertingkah tidak nyaman. Seolah-olah dia mengalami hal buruk selama berada di sana. Ia bahkan tidak pernah bercerita tentang hal baik yang ada di kota. Selalu hal-hal buruk saja yang ia ucapkan."
"Benarkah?" Jeane membenarkan cara tidurnya. "Sepertinya Belerick memang memiliki kenangan buruk di kota. Jadi cobalah untuk tidak membicarakan topik itu."
Magnolia menatap atap kamarnya dengan seksama. Jadi memang benar jika Belerick memiliki kenangan buruk di kota. Mungkin karena kejadian itu ia memilih pindah ke desa ini.
"Aku hanya penasaran bagaimana rasanya hidup di kota, Nek!"
"Kau penasaran?" Tanya Jeane menatap Magnolia lekat. Jantungnya berdebar-debar mendengar pengakuan Magnolia.
"Aku bahkan bermimpi memiliki teman yang banyak di sana."
Setelah itu keduanya hanya terdiam. Jeane yang kembali dihantui pikiran akan kemungkinan kejadian buruk yang akan terjadi dan Magnolia yang masih tidak paham mengapa topik ini menjadi sangat sensitif seolah-olah semua itu tidak dapat dibahas.
"Apa kau benar-benar menginginkan untuk tinggal di kota?"
Magnolia menangkap sinyal itu. Ia bangkit dari kasurnya dan duduk lalu menatap neneknya dengan wajah yang serius. "Magnolia ingin, Nek."
Jeane menghela napas mendengar kesungguhan Magnolia. Mungkin Tama memang benar, jika ini adalah saat yang tepat untuk Magnolia muncul di hadapan keluarga Gateral. Ia menegakkan tubuhnya lalu membawa kedua tangan Magnolia ke dalam genggaman tangannya.
"Berjanjilah jika kau bersekolah di kota nanti, kau tidak boleh menganggu orang lain. Kau juga tidak boleh menonjolkan diri agar orang-orang tidak memanfaatkanmu."
"Bersekolah? Magnolia akan bersekolah?"
Jeane mengangguk. "Besok kita akan berangkat ke kota bersama dan aku akan mengantarmu ke sekolah sekaligus asramamu."
Magnolia tersenyum lebar lalu memeluk Jeane dengan erat. "Nenek terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epsilon High School
Teen FictionEPSILON HIGH SCHOOL (EHS) Magnolia hanya anak yang yang ingin merasakan kehidupan di kota besar itu. Siapa sangka majikan neneknya memberikan sebuah beasiswa di EHS. Sekolah swasta terbaik di mana hanya anak-anak yang terpilih yang mampu untuk berta...