Terakhir kali Rion mengunjungi rumah ini adalah saat ia menemui papa Sabrina. Lalu, hari-hari terasa berjalan sangat lambat, dipenuhi oleh berbagai perdebatan antara ia dan Sabrina mengenai banyak hal yang sesungguhnya membuatnya sangat lelah. Lalu hari ini.
Rion tidak pernah menyangka ia akan mengunjungi rumah ini barangkali untuk yang terakhir kali, mengantar Sabrina sebagai pacar untuk yang terakhir. Meski ia tahu, semuanya tidak akan menjadi kenyataan seperti sekarang kalau bukan karena ia yang bicara lebih dulu dua jam yang lalu.
Rion tahu benar, bahwa ia tidak pernah memiliki hati Sabrina. Ia sadar bahwa selama ini ia hanya memperpanjang kebersamaan ini hanya untuk menenangkan dirinya sendiri. Tapi pada akhirnya, ia menyerah. Menyadari kenyataan bahwa Sabrina hanya mengasihani hidupnya, bersamanya dengan alasan ia pria baik, hingga gadis itu terlihat sangat berusaha untuk tidak membuatnya kecewa, justru membuat Rion merasa lebih sakit.
Mungkin benar yang papa Sabrina katakan saat itu, bahwa hubungan ini terlalu dipaksakan. Tapi, jika hanya restu orang tua yang menjadi masalah, mungkin Rion akan bersikeras, tapi kenyataannya ia yang berjuang sendirian.
Sabrina turun dari motornya, dengan kepala yang masih tertunduk lesu selepas perjalanan yang cukup panjang sejak perbicangan tadi. Gadis itu berhenti, lalu menoleh lagi ke arahnya.
"Setelah ini, apa yang mau kamu lakukan?" Sabrina melontarkan pertanyaan itu dengan datar.
"Aku?"
"Janji sama aku, kamu akan kejar semua mimpi yang selalu kamu ceritakan ke aku ya Yon?" Sabrina menunduk lagi. Suaranya yang bergetar membuat hati Rion terasa sesak.
"Kamu akan bahagia kan?"
Pertanyaan yang sangat datar itu lagi lagi membuat Rion bergeming di tempatnya.
Rion mengangguk ragu, lalu tersenyum sebisanya. "Hmm. Pasti."
"Kamu harus bahagia. Aku mau lihat kamu bahagia."
Tenggorokan Rion terasa kering. Ia benar-benar tidak tahu mana yang lebih menyakitkan, putus dengan Sabrina dan tidak bisa lagi menjemputnya dari kantor, atau menyadari bahwa selama ini ia telah mengurung gadis ini dalam hubungan sepihak yang seluruhnya Sabrina gunakan untuk mengasihaninya, memikirkan nasibnya tanpa memperdulikan perasannya sendiri.
Rion turun dari motornya, melepas helm tebal miliknya kemudian merengkuh tubuh kurus itu dalam sekali peluk. Pelukan yang sangat dalam dan lama, karena mungkin ia tidak akan pernah bisa melakukan ini lagi nanti.
Meski ia tidak tahu apakah keinginan Sabrina melihatnya bahagia itu akan terwujud, setidaknya ia pernah mendefinisikan sedikit 'bahagia' dengan cara pernah memiliki Sabrina dalam hidupnya. Bahagia. Kata itu terlalu abstrak untuknya yang hidup jauh dari kata normal untuk kebanyakan orang. Kata yang ia sendiri tidak yakin apakah akan pernah menjamahnya.
****
Gerimis masih saja betah menemani sore hingga menjelang petang. Sindhu melirik ke arah kamar mandi di mana Rian keluar dari sana hanya dengan selembar handuk di tubuhnya. Keningnya berkerut, lalu beranjak dari sofa untuk memandangi gerimis dari jendela apartemen Rian.
Pikiran Sindhu tidak tenang. Lelaki itu meninggalkan kopi dinginnya begitu saja di atas nakas setelah sebelumnya meracik dan menyeduhnya sendiri. Sindhu termenung lama dalam duduknya, lalu berdiri lagi.
Rian yang telah mengenakan kaos dan celananya mengalambil satu kaleng bir dalam lemari es, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Dan beberapa detik setelahnya Sindhu beranjak lagi dari duduknya.
"Lo kenapa sih? Lagi ada masalah?" tanya Rian.
Sindhu enggan menjawab. Lelaki itu berjalan dalam diam menuju nakas dan menghabiskan sisa kopinya dalam sekali tenggak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Saudade Loop
RomanceSabrina hanya pernah jatuh cinta sekali-pada Sindhu, teman SMA yang tiba-tiba pergi tanpa kejelasan. Enam tahun berlalu, hidupnya berjalan normal... sampai takdir mempertemukan mereka lagi di kantor yang sama. Tapi Sindhu pernah bilang, dia tak meny...