Janji

124 20 0
                                    

"Hei, apa kau yakin kalau hanya dengan pil itu adikku dapat sembuh?", tanya seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, sama sepertinya. Ia saat ini dalam perjalanan menuju ke arah kereta kudanya kembali, bersama anak di sampingnya tentu saja.

"Tentu, dia pasti sembuh", balas Alian dengan percaya diri.

"Bagaimana jika itu malah membuat kondisi adikku semakin buruk?" tanya anak itu kembali. Alian nampak berpikir, wajah imutnya nampak jelas sekarang.

"Maka kau boleh membunuhku dengan tanganmu sendiri", ujar Alian dengan senyumannya.

"Dasar aneh! aku memang berencana untuk membunuhmu jika itu benar-benar terjadi. Dan tidak akan membiarkanmu untuk kabur!", ujar anak itu yang tidak lain adalah Oliver.

"Iya-iya, omong-omong kenalin, aku Alian. Kalau namamu?", tanya Alian.

"Oliver, jangan bertanya nama panjangku karena kau juga tidak menyertakan nama panjangmu!", ujar Oliver yang membuat Alian tertawa kecil.

"Ya.. ya, itu juga boleh kok!", balas Alian. Suasana menjadi hening kembali, tidak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu karena keduanya kini tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

💀💀💀💀💀

1 minggu telah berlalu dengan cepatnya. Alian sudah menyelesaikan tugasnya selama 1 minggu itu. Sekarang ia sedang dalam perjalanan pulang ke istana. Seperti yang ia duga, banyak sekali warga desa yang terkena penyakit.

Tapi sebelum ia menaiki kereta kudanya, sebuah suara membuatnya mengurungkan niatnya.

"Alian!",

Alian nampak mengode pada beberapa prajurit yang hendak menghampiri anak yang berteriak namanya itu, untuk tidak ikut campur.

"Oliver? kenapa kau ke sini?", tanya Alian. Selama dua hari ini, entah bagaimana ia bisa menjadi teman Oliver. Apalagi semenjak adik Oliver sembuh.

"Ku dengar kau akan kembali. Apa kau akan berkunjung kembali ke desa ini?" tanya Oliver ragu.

"Mungkin iya mungkin juga tidak. Tapi Oliver, bukankah cita-cita mu menjadi kesatria? maka dari itu, temui aku ketika kau sudah menjadi seorang kesatria kerajaan, aku senantiasa menunggu", ujar Alian.

"Baik! aku akan berusaha semaksimal mungkin dan dapat membuat Lian bangga. Meski berat, tapi aku akan menemui Alian segera setelah aku menjadi seorang kesatria, itu janji ku!", balas Oliver dengan penuh kepercayaan dirinya.

"Baik! aku tunggu janjimu dan sampai jumpa. Senang dapat mengenalmu", ucap Alian yang kemudian memeluk Oliver selama beberapa saat sebelum melepasnya.

"Aku pergi dulu, jaga adik dan ibumu baik-baik ya!", ucap Alian. Oliver mengangguk dengan semangat.

"Ya! pasti", Alian tersenyum kemudian segera menaiki kereta kudanya kembali. Ia melambai ke arah Oliver sesaat setelah kereta kudanya mulai berjalan.

"Kita akan bertemu kembali, akan ku pastikan itu, Alian", batin Oliver sembari tangannya melambai ke arah kereta kuda yang dinaiki Alian.

💀💀💀💀💀


Alian tersenyum cerah ketika sampai di depan gerbang kediamannya. Di sana nampak sang ibu dan seorang pria paruh baya yang berdiri di samping ibunya. Di samping keduanya pula, ada beberapa pengawal yang berjejer rapi di belakang.

Alian tertegun melihat sosok itu. Sosok yang juga amat dia rindukan selain ibunya dan Lili. Sosok ayah yang tegas tapi bijaksana, sosok yang melindungi dirinya dengan cara mengorbankan nyawanya sendiri.

"Selamat datang kembali, sayang", Alian segera disambut dengan pelukan hangat dari ibunya. Ia tersenyum senang.

"Lebih baik kita masuk ke dalam. Alian, ayah ingin bicara dengan mu", ujar sosok paruh baya itu. Alian mengangguk dengan ragu, sejujurnya ingin sekali ia terjun juga ke dalam pelukan ayahnya. Meski ayahnya itu kaku.

Ketiganya segera masuk ke dalam kediaman. Diikuti oleh pengawal yang berjaga hingga ke pintu. Dua dari pengawal itu menjaga pintu dan sisanya, pergi berpencar entah ke mana.

Segera setelah ketiganya duduk, datang seorang pelayan yang membawakan teh serta beberapa cemilan sebelum akhirnya pergi, tidak lupa untuk menutup pintu.

"Bagaimana kondisi di sana?", tanya ayahnya memulai topik pembicaraan.

"Awal aku ke sana, aku sedikit terkejut karena banyak yang sakit. Untung saja aku membawa banyak persediaan obat-obatan, namun sekarang kondisi di sana sudah stabil. Bendungan yang rusak akibat banjir, kini sudah diperbaiki. Pangan juga dengan teratur datang ke wilayah itu", ucap Alian.

"Kau sudah bekerja keras sayang", ujar sang ibu yang kemudian mengusap sayang kepala anaknya.

"Menurut pendapat mu, apa yang harus dilakukan terhadap para menteri itu?", tanya sang ayah kembali.

"Biarkan saja untuk sementara. Jika mereka dilengserkan jabatannya secara tiba-tiba, mungkin akan memicu terjadinya pemberontakan dan peperangan, untuk sementara ini biarkan saja sampai keadaan mulai teratur dan rakyat mendukung kita, baru kita bisa melengserkan para menteri itu dari jabatan yang selama ini mereka agung-angungkan", balas Alian apa adanya.

Sang ayah tersenyum tipis. Ia puas dengan jawaban yang diberikan oleh putranya itu.

"Kalian sudah hentikan bicaranya! di minum teh nya sebelum dingin", titah sang ibu yang kemudian membuat ayah-anak itu meneguk teh mereka.

💀💀💀💀💀


Alian tengah menatap langit gelap yang diisi oleh bintang-bintang yang bertaburan di sana. Ia tersenyum kemudian menutup kembali jendela kamar besarnya.

Kemudian beranjak untuk segera tertidur. Alian tertidur bahkan sebelum 5 menit dia berbaring.

Krieett..

Jendela besar yang awalnya menutup, kini terbuka bertepatan dengan masuknya seorang pemuda ke dalam kamar itu. Pemuda itu nampak berjalan ke arah Alian yang tengah tertidur pulas.

"Kelakuanmu memang tidak bisa ditebak. Alian, suatu hari kita akan bertemu, dengan dirimu yang tersadar sepenuhnya tentunya", ujar pemuda itu sembari membelai wajah Alian. Menyingkirkan rambut-rambut yang menutupi mata Alian.

Ia kemudian mencium punggung tangan Alian sebelum akhirnya beranjak untuk pergi. Saat setelah ia melangkah ke luar, jendela itu langsung tertutup dengan sendirinya.

.
.
.
.
.

💀💀💀💀💀

️To be continued

Avoiding the Tragic Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang