CW/ABUSIVE CONTENT
Jingga mewarnai langit sore hari, kecantikan yang di pamrih lantas membuat Kinanti menatap langit dengan penuh puja. Sangat indah untuk dinikmati melalui mata. Kinanti duduk di balkon kamarnya melihat-lihat anak kecil nan asyik bermain bersama teman-temannya. Senyum kecut terpatri di wajahnya ketika mengingat betapa busuknya masa kecilnya. Hari demi hari penuh belajar sampai ia jarang bermain dengan teman-temannya. Kinanti kecil tak tahu menahu mencari kebahagiaannya sebagai anak-anak.
Netranya menangkap sang Ibu memasuki rumah. Pendengarannya praktis menyambut langkah kaki Ibu menuju tangga. Dalam hitungan ketiga, Ibu akan memanggil Kinanti agar segera menyiapkan air hangat dan melepaskan pakaian yang dikenakannya.
Satu
Dua
Tiga
"Kinanti! Siapin Ibu air hangat." Tungkainya bertemu lantai kemudian melangkah ke arah kamar Ibunya. Lantas ia melakukan sesuai perintah Ibu, yakni menyiapkan air hangat pun melepaskan pakaian. Sambil melepas, Ibu bertanya, "kamu siang tadi jalan lagi sama Henggar?" Pergerakan tangan Kinanti berhenti sesaat. Setelah memberi jeda, Kinanti menjawab, "Iya, emang kenapa?"
Sekarang, tangan Kinanti menyentuh kaki Ibu untuk melepaskan sendal setelah Ibu duduk di atas kasurnya. Ibu mengangkat dagu Kinanti menggunakan ibu jari pada kakinya. Spontan, Kinanti menatap Ibu. "Kamu ini gak ada apa-apanya Kinanti sama Henggar. Henggar Jagawana itu bagaikan air dan kamu itu minyak; gak akan bersatu. Henggar itu anak laki baik-baik gak bisa dia sama kamu yang rendahan."
Sunyi dan dingin memeluk punggung Kinanti menghantarkan rasa nyeri mendera hati. Bukan perihal Henggar yang tidak cocok dengannya, melainkan Kinanti sakit lantaran Ibu merendahkan dirinya. Bahkan dia adalah anak kandung, maka bagaimana Amaura? Bukankah dia juga anak kandung Ibu?
Tenggorokan Kinanti menghimpit seakan-akan tak rela membiarkan oksigen masuk menyalami paru-paru.
"Kinanti, kamu ini pantasnya sama cowok-cowok tukang perkosa daripada Henggar." Akhir kata, Ibu tersenyum sinis kemudian melenyapkan diri di balik pintu kamar mandi.
Sunyi membentang luas. Dalam diam, Kinanti mengukir lidah tajam Ibu dalam hati maupun pikiran. Sorot matanya dingin menatap raga dibalik pintu kamar mandi. Jika kewarasan tak bersemi dalam akalnya mungkin Kinanti sudah merencanakan untuk melenyapkan wanita tua itu, tapi, Kinanti masih waras sehingga rencana gelapnya akan ia buang jauh-jauh.
Kinanti berjalan menuju dapur, mengambil jatah makannya di atas meja. Amaura memunculkan raganya, dia menyapa, "Dek, mau makan?" Pertanyaannya dijawab oleh sunyi. Kinanti pergi ke kamarnya membiarkan Amaura terhenyak pada aksinya. Buat apa Kinanti memedulikan Amaura? Ketika Kinanti disiksa oleh Ibunya kemana Amaura? Dia memilih hengkang di telan oleh kamarnya daripada repot-repot membantu Kinanti yang kesakitan.
Kini sunyi kamar menyambut Kinanti. Mulutnya terbuka demi sesuap nasi di atas piring yang ia pegang. Namun, ketukan pintu menginterupsi. Dengan malas Kinanti membuka. "Kenapa, dek? Adek marah sama kakak?" Menurut lo aja, anjing.
Kinanti enggan menjawab sang Kakak. Untuk saat ini dia tidak mood bermuka dua, apalagi setelah Ibu menusuk hati Kinanti.
"Maafin kakak, dek. Kakak kemarin harus buru-buru ngerjain tugas──coba sini mana lututnya biar kakak lihat."
"Kak, maaf aku beneran lagi gak mood untuk interaksi apalagi sama orang rumah. Boleh kasih aku sedikit spasi?" Nadanya mungkin sopan saat di dengar, tapi Amaura tahu betul bahwa Kinanti menyampaikan lampu merah dalam ucapannya. Stop ganggu dia.
"Dek, sini kasih tunjuk ke kakak biar kakak obatin, ya?" Amaura bersikeras.
"KAK AKU TUH PENGEN SENDIRI, NGERTI GAK SIH? KEMARIN JUGA AKU OBATIN LUKA AKU SENDIRI! KAKAK MANA ADA BANTUIN!"
![](https://img.wattpad.com/cover/342741622-288-k971108.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Your Keeper
Fanfic"Kinanti, di bawah renungan langit yang menjatuhkan segelintir air aku akan tetap menikmati hujaman air-air itu demi menyamai langkahmu. Setiap deru nafasmu akan aku imbangi bersamaan goresan lukamu yang meluas mewarnai tubuh. Aku tetap menjagamu, A...