2. Kesempatan Mengawali Kisah

92 13 4
                                    

Teriakan sang Ibu melayang ke udara. Kinanti menatap datar Ibunya yang hendak mencari kesalahannya. Jam dinding berdenting menunjukkan pukul 6. Matahari telah mengucapkan salam pamit dengan membawa jingga pergi bersamanya. "Kenapa, Bu?" Selembut mungkin Kinanti bertanya, walau sorot matanya berbanding terbalik dengan nada bicaranya; sorotnya dingin menghunus hati siapapun yang melihatnya.

"Kemana aja kamu? Pulang bareng sama cowok, udah kayak lonte aja!"

"Kinanti baru pulang kerja? Cowok itu teman satu kampus Kinanti, jadi gak usah ambil asumsi duluan──ini Ibu pasti habis marahan sama kak Mau, kan? Iya kan?"

Tangan Ibunya melayang kemudian menyentuh kulit pipi Kinanti. "Berani banget ya kamu cerca Ibu?! Masuk sana ke dalam kamar! Ibu gak sudi lihat muka kamu. Bisanya bikin naik darah tinggi aja."

Kinanti meringis, pipinya pasti merah setelah ditampar. Sejujurnya, Kinanti tidak kaget dengan tindakan Ibunya, karena hal ini selalu terjadi tiap kali Kinanti melawan. Tubuhnya sudah penuh luka dari Ibunya yang selalu merasa tak cukup dengan pencapaian Kinanti. Padahal, Kinanti sudah diterima di Universitas ternama bahkan sampai rela mengubur impiannya untuk mempelajari ilmu sastra agar sang Ibu mengurangi sifat tidak bersyukurnya. Namun, tetap saja Kinanti dituntut menjadi sempurna.

Kakinya melengos masuk ke dalam kamar. Tubuhnya ia lempar ke atas kasurnya. Pikirannya berkecamuk sibuk menerawang dia harus apa agar Ibunya berubah. Uang kuliahnya saja dia tanggung sendiri enggan membebani, sedangkan kakaknya saja selalu ditanggung biaya ini-itu. Hanya Tuhan yang tahu mengapa Ibunya membenci kehadirannya. Kinanti harap setelah lulus kuliah dan mendapatkan kerja, Kinanti dapat melangkah keluar dari rumahnya.

Air mata mengalir dari pelupuk matanya. Buru-buru ia seka kedua matanya setelah mendengar ketukan pintu. Pintu terbuka menampilkan Amaura Kailani menghampiri adiknya untuk sekedar mengecek keadaan adik semata wayangnya.

"Maafin Ibu ya, Nan? Kebiasaan banget habis berantem sama aku malah dilampiaskan ke kamu."

Alasan Kinanti kuat menghadapi Ibunya adalah kakaknya selalu ada untuk menenangkan. Sebagai seorang kakak, Amaura ingin melindungi adiknya tapi nyalinya menghalangi niat baiknya. Selalu berakhir menjadi pengamat. Dia merasa tak becus menjadi seorang kakak. Kebaikannya akan ia tunjukan di belakang punggung Ibunya. Amaura memang pintar bermain muka dua.

Tangannya terulur mengusap pipi Kinanti. Ibu jarinya ia gerakan ke kanan dan ke kiri secara lembut layaknya Kinanti adalah kaca yang rapuh──siap pecah kapan saja bila salah memegang. "Harinya gimana, dek?"

"Capek sih kak──"

"Eh, tadi kakak sempat lihat Kinan dibonceng cowok. Siapa itu rupanya?"

"Henggar namanya, kak. Teman satu fakultas. Baru kenalan tadi."

"Loh, kok baru kenalan udah jemput aja?"

Amaura tersenyum menggoda kepada sang adik. Ia cubit pipi adiknya dengan gemas. Hal itu menuai respon mendengus dari Kinanti. Dengan detail, Kinanti bercerita mengenai kejadian sore tadi──tentang dirinya yang panik karena tak tahu cara untuk kembali pulang. Sungguh sial sore harinya. Tapi tak apa setidaknya ada orang baik yang siap membantunya.

"Ah, Henggar? Jagawana bukan? Dia anak band bukan? Band Gema Jiwa?"

"Eh? Kakak tahu?"

"Lagu mereka kadang suka di setel sama temen-temen, apalagi kalau lagi bahas politik. Yang aku pikirin sih, anak-anaknya berani ya kritik pemerintah? Apa gak takut diculik, ya?"

Tawa Kinanti menyapa udara lalu senyap di dekap sunyi. Diam-diam adik-kakak ini akan berbagi afeksi saling bercerita. Tapi Kinanti tahu bahwa Amaura selalu menjadi pengecut bila batang hidung sang Ibu telah muncul di permukaan netranya. Rupanya kakaknya cukup tega meninggalkannya dalam derita. Kinanti pun pandai menyembunyikan luka hati. Tidak apa menurutnya, setidaknya Kinanti sedikit merasakan hangat dalam rumahnya. Yah, sedikit. Dalam nyalanya api yang membakar rumah, masih ada sedikit cela ruang hangatnya keluarga.

Forever Your KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang