Melangkah letih masuk ke dalam kamar sambil menenteng tas berisi laptop dan peralatan kuliah lainnya. Hari ini rasanya lelah sekali setelah menjalankan kuliah dan bekerja. Kinanti tahu bahwa keluarganya kaya raya, hanya saja dirinya tak tertarik bila sang Ibu harus membayar uang kuliahnya──lebih tepatnya dia enggan membebani.
"Baru pulang?" Sebuah pertanyaan basa-basi yang mengambang tanpa adanya niat 'tuk dijawab oleh pemberi jawaban. Kinanti masuk ke dalam kamar dan membiarkan Ibunya menerka jawabannya sendiri. Menghiraukan sopan santun sebab 21 tahun bersinggungan dengan udara, dirinya selalu diberikan rasa tidak percaya diri menggerogoti raganya.
Inginnya menjadi seorang penulis, tapi keluarganya menginjak impian gadis cantik itu dengan merendahkan, bahkan tak segan melakukannya di depan kerabat. Kinanti merasa dihina oleh keluarganya sendiri. Kulitnya nan putih mulus penuh hiasan luka karena dalangnya merupakan sang Ibu. Sapu lidi, cengkraman, tamparan menjadi makanan sehari-hari. Hingga saat ini Kinanti tak tahu cinta tulus seorang Ibu maupun Ayah, bahkan Ayahnya telah dipanggil Sang Maha Kuasa saat Kinanti masih bayi.
Rasa sayang kepada sang Ibu sirna dan berganti tugas dengan rasa benci. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman menjelma menjadi neraka. lidah-lidah nan tajam selalu siap menghunus sampai hati, itu pula sebagai pelengkap sempurna siksaan dalam neraka. Luka dalam menghiasi hati; berat menyembuhkan diri. Semuanya tuli terhadap ratapan si bungsu.
Kinanti diam membisu, tak ingin menjelaskan bila ada situasi genting menghantam dirinya. Sebab logikanya mendoktrin tak akan ada yang peduli, sama seperti keluarganya.
Langit-langit kamar ia tatap kosong. Batinnya lelah menghadapi hidup. Perlahan percikan api semangat mengecil dalam diri. Sinarnya meredup hendak menyalami kegelapan. Validasi keluarga sungguh kebutuhan terbesar dalam hidup. Namun, apa daya bila keluarga membinasakan rasa peduli kepada si bungsu? Tuhan, Kinanti hanya butuh validasi keluarga sebagai bensin untuk api semangatnya. Tapi, kenapa bensin tersebut selalu dihabiskan oleh kakaknya? Rasa iri menari sempurna dalam akal dan hati. Kakaknya penuh perhatian dan validasi. Kakaknya siap menancapkan gas kapan saja. Bensin terisi full tanpa tahu tandas. Sungguh beruntung dia selalu didengar.
Di kehidupan penuh lara, Kinanti memiliki prasangka baik terhadap Yang Maha Mengasihi lagi Maha Penyayang; ia bersangga penuh harap──menyatukan kedua tangan merapalkan do'a
"Sungguh Engkau pemilik alam semesta yang terbentang luas ini, sungguh Engkau mendengar pinta hamba-Mu. Inginku hanya satu; setidaknya hadirkan lah penyembuh lara dalam diri."
KEN
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Your Keeper
Fiksi Penggemar"Kinanti, di bawah renungan langit yang menjatuhkan segelintir air aku akan tetap menikmati hujaman air-air itu demi menyamai langkahmu. Setiap deru nafasmu akan aku imbangi bersamaan goresan lukamu yang meluas mewarnai tubuh. Aku tetap menjagamu, A...