"Sudah siap jadi anak kampus?"
Duapuluh tahun, dan Hana sekarang telah kembali ke rumah, bawa bekal hafalan serta ilmu-ilmu agama yang ia dapati di lembaganya. Adiknya sudah di tingkat akhir Menengah Atas, waktu berlalu begitu cepat.
" Haraz Afdal Ni'am, ngga ada pacar kan kamu di MA?" Pertanyaan penuh selidik itu adalah hal pertama yang dilemparkan Hana kepada sang adik di pertemuan mereka.
"Ngapaian pacaran? Kalau sempat pun bakal dihapus dari KK sama Umi." jawab sang adik enteng. Ah suka lupa, Umi lumayan keras soal hal yang begini.
"Kakak gimana, nih? Udah ada target kampus yang diminati? Jurusan?"
"Udah, rencana mau masuk Universitas Islam Negeri Jogja, sih. Soal jurusan, maunya ambil Sastra, hehe."
"Tapi sama Umi suruh ngambil Agama, inget ngga'?"
Hana hela nafas lelah. Iya juga, Umi inginkan ia teruskan profesi Abah jadi ahli Tafsir, "Dari kalangan perempuan ahli Tafsir itu ngga banyak, Kak. Kalau Abah masih ada, sudah pasti sangat senang lihat Kakak di Prodi Ilmu Tafsir" Begitu Umi pernah bertutur.
"In my opinion, its okay Kakak ambil Agama aja. Lagian soal Sastra, Kakak bisa otodidak, kan? Kalau ambil Tafsir, manfa'atnya lebih besar, apalagi buat umat. Sastra juga banyak manfa'atnya sih, tapi dia ga' muat permasalahan aga ma didalamnya. Sastra itu seni keindahan, tafsir itu penjelasan tentang al-Qur'an. Dari sini urgensinya dah kelihatan."
"Omongan kamu dah macem alim ulama, Dek." Hana sedikit menggoda, Haraz respon dengan mensugar poninya kebelakang, pongah.
•••
"Jadi, kamu biasa dipanggil Hana?"
"Iya, ning."
"Panggil saya Farha saja, tidak pakai ning juga tidak apa."
Hari pertama jalani ospek di kampus, Hana bertemu kenalan pertamanya, seorang anak kyai tersohor di ibu kota, Ula Bil Farha Ammatul Muhaimin. Gadis ini luar biasa kalem, anggun pula perilakunya, ramah lagi mudah bergaul. Di hari itu hingga masa-masa kedepannya, Hana pikiri habiskan waktu bersama Farha adalah pilihan yang tepat.
"Ini pertamakalinya saya bersentuhan dengan lembaga luar. Sedari kecil saya besar di Pesantren. Kalau ada apa-apa tolong arahkan saya, Han. Saya takut nanti gampang terikut pergaulan yang terlalu bebas."
"In syaa Allah, ning. Nanti kita saling mengingatkan aja biar dapet pahalanya berdua."
"Aih, benar juga."
"Tapi di Pesantren pergaulannya terjamin aman, ning? Maksud saya bukan yang sampai terlibat kasus berat gitu?"
"Tergantung lembaga juga person-nya sih, Han. Cuman, kalau di Pesantren in syaa Allah untuk membatasi hal-hal yang tidak diinginkan sangat memungkinkan. Kalau di lingkungan umum sendiri saya kan belum ada pengalaman, jadi lebih antisipasi saja rasanya."
Ada rasa syukur di hati tatkala Semesta pertemukan Hana dengan orang sebaik gadis ini.
Sementara di sudut lain Kampus Negeri itu, koridor dipenuhi paparazi abal-abal yang tak lain adalah para mahasiswi dan segelintir mahasiswa, tatkala eksistensi pemuda bertubuh jangkung masuki area. Ia yang kenakan kemeja hitam serta sampirkan ransel di pundak kiri, bersama dua kawan di sisi, mereka usaha tuk hindari kerumunan orang yang sekadar mengambil foto, pun juga lemparkan bermacam tanya
"Bang Dzean? Adzean Malik Masyafi?!"
"Maba di sini juga, bang?!"
"Maasyaa Allah tabarokallah! Rezeki macam apa ini sekampus bareng abang?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Alby : 30 Bait syair
Dla nastolatkówHanana Alby Ayni, Ia dan syairnya bawa kisah tak terduga. Bagaimana bait-bait itu siratkan rasa mendalamnya akan drama kehidupan, akan rungu yang hening tanpa alat bantu pendengaran, akan dilema hati yang meradang, hubungan dengan Sang Maha Penyay...