"Hnghhh.. yeah... Teruskan..."
"Ayo sayang, desahkan namaku..."
"Ah... John..."
Dalam hati Celeste mengumpat keras-keras, kenapa pula dia harus terbangun di tengah malam begini, apalagi saat tetangga kamarnya itu asyik bergumul ria dengan seseorang. Seketika pemuda bermata rubah itu menyesali keputusannya untuk tidak membuang air kecil sebelum tidur. Ingatkan Celeste untuk melakukan kebiasaan yang diajarkan kakaknya.
Perlahan, bocah yang baru saja akan memasuki sekolah menengah atas itu turun dari kasurnya. Dia menoleh sebentar pada saudari kembarnya, kemudian berjalan mendekati ranjang untuk membenarkan selimut sang kakak yang sudah tidak karuan.
"Kuharap aku bisa tertidur nyenyak seperti Cosette meski tanpa harus buang air kecil," gumamnya sebelum pergi keluar kamar di ujung dekat tangga.
Namun kesialan tidak berhenti disitu, setelah selesai dengan urusan buang air kecilnya, jantung Celeste hampir melompat dari tempatnya ketika mendapati seorang pria berpostur tinggi keluar dari kamar penghuni sebelah. Alias kamar suara pergumulan itu berasal.
"Oh my goodness!" pekik Celeste, tubuhnya sampai sedikit melompat saking terkejutnya. Secara reflek, pemuda itu memegangi dadanya sendiri, merasakan jantungnya yang berdebar begitu kencang.
Sosok pria itu berbalik setelah mendengar pekikan Celeste barusan. Si mata rubah mendongak, menatap pria jakung tersebut meski wajahnya tidak terlalu jelas karena membelakangi arah datang cahaya. Ditambah memang penerangan di lantai dua hanya menggunakan bohlam kuning kecil.
'Mereka selesai? Cepat sekali.' matanya sempat melirik pada lemari jam kuno di ujung lorong sebrang. Tepat di depan pintu kamarnya.
"Bersuaralah saat membuka pintu Tuan, kau hampir membuat jantungku lari dari tempatnya," ketus Celeste sembari menarik napas dalam-dalam. Tangannya menepuk-nepuk pelan di dada agar ritme napasnya kembali stabil.
Pria itu menarik sebelah alisnya, gerakan samar bahu tegap itu terangkat naik sesaat. "Oh, maaf, Nak," katanya dengan suara berat khas orang dewasa. "Aku tidak tahu itu akan membuatmu terbangun."
Celeste berdecak, pria itu tidak bersungguh-sungguh. Nada suaranya sama sekali tidak menggambarkan adanya perasaan bersalah dalam kalimat permintaan maafnya. Dan Celeste tak ingin terlihat lebih jauh dengan pelanggan penghuni kamar sebelahnya, jadi pemuda itu hanya menghela napas tertahan, kemudian mengangguk mengiyakan.
"Lain kali lakukan saja di tempat lain," sarannya masih menatap sosok kepalang tinggi itu. "Kalau kau masih berminat menyewanya." Dia menunjuk kamar bercat putih dengan beberapa stiker menempel dan plat bertuliskan 'Charlotte's Room' menggunakan dagu. Setelahnya Celeste berjalan pergi, melangkahkan kaki menuju kamarnya dan melewati si pria asing yang masih diam memperhatikan tanpa menolehkan kepala.
Seolah-olah sosok itu tidak pernah ada disana.
"Kau tidak melakukannya?" suara berat itu kembali terdengar, menghentikan gerakan Celeste. Pegangannya pada gagang pintu mengerat, sampai buku-buku jemarinya memutih. Dia bukan bocah tolol yang tidak paham dengan maksud si pria.
Pemuda kelahiran bulan maret itu menoleh, mata rubahnya menatap tajam, seolah ingin menikam sosok berperawakan tinggi itu sekarang juga. "Jika kau sudah selesai dengan urusanmu, kusarankan kau pergi dari sini," ucapnya dingin.
"Bukankah itu hal yang biasa bagi kalian, Schmetterling?" Pria itu mengangkat sebelah alis tebalnya, mengacuhkan amarah yang memancar dari tatapan si kembar rubah Schmetterling muda.
Celeste berdecak, ucapan pria itu benar. Sebuah fakta paling dia benci adalah label tak kasat mata yang melekat erat dengan nama belakangnya.
'Schmetterling terlahir untuk menjadi budak pemuas nafsu'
KAMU SEDANG MEMBACA
ALPHA-Z
FanficA Psychological Horror Thriller Fiction - Rate (M) Warn to kindly read: ⚠️ Full of trauma and tragedy ⚠️ Mengandung topik dan unsur sensitif menyangkut LGBTQ, Sexuality, etc. ⚠️ Mentioned of gore, cannibalism, and sadism. ⚠️ Mentioned of family issu...