Three

526 37 4
                                    

3. Berpihak Pada Elio

Elio masih bersama hujan, ia tak membiarkan hujan untuk pergi meninggalkannya. Jikalau benar hujan akan meninggalkannya, maka ia akan berdoa sepanjang hari untuk meminta hujan turun kembali bersama teman-temannya.

Tanpa ia sadari, sepasang mata sedang memperhatikan gerak-gerik Elio sedari tadi. Tersenyum dan mengepalkan tangannya kuat.

Joel berjalan angkuh menuju pintu besar dengan desain mewah yang masih tertutup, membuka pintu itu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang anak kecil dibawah hujan yang sedang kedinginan namun bibirnya masih terus tersenyum seakan nyaman dengan keadaan tersebut.

Joel mengangkat tangan kanannya ke atas yang memegang revolver. Tak lama, suara tembakan itu terdengar sangat nyaring. Elio, anak itu sudah mematung, seluruh tubuhnya bergetar hebat, bibirnya pucat pasi, dan matanya yang sudah dialiri air mata.

"Masuk atau kakak tembak Zii?" Suara berat itu membuat Elio merinding, ia mengangguk dengan gerakan patah-patah, lalu berjalan kedalam dengan kepala yang menunduk dalam. Zii adalah kucing anggora berwarna putih milik Elio. Sebenarnya, semua orang tak mengizinkan Elio memelihara hewan berbulu. Namun karena anak itu meminta dengan cara menangis keras sampai sampai ia terjatuh sakit, mereka pun tak ada cara lain.

Kembali pada cerita.

Elaena berjalan kearah Elio, ia menatap tajam, dan mengeraskan rahangnya. "Aku sudah bilang, aku tak suka anak yang nakal, apa kau tidak bisa memahaminya, Elio?"

Deg, Elio merasa hatinya teriris saat Elaena memanggilnya tanpa ada embel-embel 'Mommy-Elio'. Elio semakin menundukkan kepalanya. Tak lama seorang maid berjalan dan menggiring Elio untuk segera bersih diri.

•••

Hari sudah mulai gelap, dan hujan sudah pergi meninggalkan Elio seorang diri. Anak itu termenung di balkon, memandangi langit malam yang dihiasi ratusan bintang. Tak apa jika hujan telah pergi, selagi masih ada bulan dan bintang yang menjadi saksi atas kesedihan Elio.

Semilir angin menerpa kulit putih bersih milik Elio, anak itu hanya menggunakan kaos merah maroon polos serta celana putih pendek.

Sebuah bulu halus menyentuh kaki Elio, anak itu menoleh ke bawah dan menemukan Zii yang sedang bergelantungan di sana. Ia mengangkat Zii dengan mudah dan memangkunya.

"Zii, El pusing.." Elio berkata lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat bak dihantam batu besar. Namun, Elio tidak beranjak dari tempat itu. Ia masih dengan pendiriannya, mengelus lembut bulu halus Zii, dan bergumam tak jelas.

Pintu dibelakang Elio terbuka, Alex datang dengan susu hangat ditangannya. Ia sedikit panik kala melihat Tuan mudanya berada diluar kamar saat udara dingin seperti ini. "Tuan muda, mari masuk ke dalam, dan meminum susu yang sudah dijadwalkan."

Elio tidak menggubris perkataan Alex, ia masih fokus dengan Zii. Sampai pada akhirnya...

"Alex, keluarlah, tinggalkan susu itu dimeja. Aku yang akan mengurusnya." Suara bariton milik Drake mampu mengagetkan Alex dan Elio. Alex mengangguk dan melenggang pergi meninggalkan ayah dan anak itu.

Suara sepatu pantofel itu terdengar, Elio menghela napas gusar, sudah dipastikan jika ia akan dihukum malam itu juga.

"Masuk." Drake kembali berucap. Tatapan itu masih terus mengarah pada Elio. Tak lama, Elio berjalan memasuki area kamarnya yang luas itu.

Setelah sampai kepada hadapan Drake, Elio menunduk. Ia sempat eye contact dengan Drake, dan tentu saja itu membuat Elio takut.

Drake terkekeh, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebutkan kesalahanmu hari ini."

Elio semakin merinding, ia meremas tangannya kuat, menusukkan kuku tajamnya ke telapak tangannya sendiri, dan itu mampu memancing darah untuk keluar.

"El mandi hujan, Daddy." Elio berbisik, namun masih bisa terdengar oleh Drake. Drake memejamkan mata sejenak, ia menarik lengan Elio dengan kasar, dan membawanya kesebuah ruangan.

Gelap dan bau darah yang mendominasi ruangan itu, kursi kayu adalah objek pertama yang Elio lihat. Ia didorong kasar oleh Drake, meringis karena kepalanya yang masih pusing, bibir pucat itu bergetar menahan isak.

Drake tak menghiraukan kejadian itu, ia berjongkok dihadapan Elio dan bersiap untuk mencambuk punggung Elio. Namun, belum sampai dicambuk, Elio sudah tak sadarkan diri. Ia tergeletak dan mampu membuat Drake panik setengah mati.

"Panggilkan dokter."

•••

Sebuah mata indah dengan bola mata cokelat  perlahan terbuka, sedikit terkejut kala melihat ada banyak pasang mata yang sedang memperhatikannya.

"Enak mandi hujan, hm?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Elaena. Perempuan itu mendekat ke sisi kasur yang ditempati Elio, mengelus puncuk kepala Elio, dan mengecupnya singkat.

Elio menunduk, ia tak tahu harus bereaksi apa. Namun setelah itu Elio menjawab dengan suara yang kecil. "El janji nggak akan ngulangin lagi, Mom."

Disisi lain, Elio sangat senang karena ia tidak jadi dihukum oleh Drake. Oke! Elio harus berterimakasih kepada hujan.

"Hukuman tetap ada. Tidak boleh keluar kamar selama satu Minggu." Penuturan Drake mampu membuat Elio mendongak, bukan seperti ini yang ia mau.

"Tapi kan-" Tentu saja Elio protes, tapi, ucapan Elio terpotong begitu saja kala Lorenzo mengeluarkan revolver dari balik jas yang dia pakai dan mengarahkan pada Elio.

"Hm?" Lorenzo berdehem, ia tersenyum smirk begitu juga dengan yang lain.

"Nggak, maafin El." Apa lagi yang bisa Elio lakukan selain pasrah? Pasrah ataupun tidak Elio akan terus dipaksa untuk menurut.

Baiklah, ini adalah hari yang buruk. Elio harap hari esok akan menjadi hari yang lebih baik dari pada hari ini.

•••

to be continued.
Kamis, 27 Juni 2024.

Golden Cage [slow up]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang