Asep beranjak dari meja, berjalan ke luar dengan ranselnya. Dia melirik jam tangannya, waktu masih sangat pagi. Tetapi, ia harus bangun lebih awal karena kasihan pada Juan dan kedua temannya.
Di perjalanan menuju kamar mandi yang ada di area kolam renang sekolah, Asep sesekali menyapa perempuan yang dilewatinya. Asep cukup dikenal di angkatanannya. Dia ramah dan humoris, membuat siapapun nyaman berada di dekatnya. Terutama di kalangan perempuan.
Tiba-tiba, suara melengking terdengar memanggil namanya di antara suara bising para siswa di sekolah. Asep sangat familiar dengan suara itu, ia berbalik dan melihat temannya sedang berlari ke arahnya.
"Lu mau mandi, ya?" tanya Rizki.
"Iya, Ki. Lu tumben pagi-pagi gini udah ada di sekolah, biasanya kesiangan terus?"
Rizki terkekeh sambil menggaruk kepalanya. "Eh, nanti lu mau ikut ke villa bokapnya si Nara?"
Asep berbalik kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. "Gua ikut," sahutnya sambil berjalan.
...
Nadia mengerutkan keningnya. Di samping mejanya, Juan sedang berlutut sambil memohon agar perempuan itu tidak memberi tahu tentang kejadian kemarin pada siapapun. Laki-laki berlesung pipi itu tahu kalau Nadia akhirnya harus ditangkap polisi karena perbuatannya.
Dia takut kalau Nadia akan balas dendam dan menyebarkan hal memalukannya itu. Keadaan kelas masih sepi saat ini, beberapa siswa masih sibuk nongkrong di luar kelas. Karena masih sedikit yang hadir, sekarang kelas tidak terlalu berisik oleh suara-suara para siswa yang suka melempar candaan satu sama lain.
"Lu kenapa bisa nyur-"
Dengan panik, Juan segera menutup mulut Nadia dengan telapak tangannya saat kata-kata hina itu hendak diucapkannya. "Gak usah keras-keras suaranya," ucap Juan melotot pada Nadia.
Perempuan itu menaikkan satu alisnya. Dia membuka mulutnya, lalu menggigit tangan Juan yang berada di depan wajahnya. Membuat laki-laki itu meringis kesakitan sambil mengusap-usap bagian tangannya yang digigit oleh Nadia.
"Apa-apaan, sih?" Juan menaikkan suaranya karena kesal.
"Tangan lu bau. Lu gak pernah mandi atau cuci tangan, ya?"
Juan gelagapan, ia mencium tangannya sendiri. "Wangi, kok!" ketusnya.
"Dengerin, Ju. Gua gak akan ngasih tau orang-orang soal kemarin malam, gak ada kerjaan." Nadia kembali membuka buku yang ada di atas mejanya dan membacanya tanpa memperdulikan Juan.
...
Pada jam istirahat, kantin sangat ramai saat ini. Para siswa berbaris untuk membeli makanan dan minuman yang mereka inginkan. Sambil menunggu, mereka sesekali bercanda dan tertawa terbahak-bahak. Beberapa penjual sedikit kewalahan saat melayani para siswa yang terus berdatangan.
Rayyan menghampiri meja dengan 5 kursi yang sudah diduduki oleh keempat temannya sambil membawa beberapa makanan ringan. Dia duduk di salah satu kursi yang masih kosong, di samping Asep. Laki-laki tinggi dengan rahang yang tegas itu membuka satu botol minuman dan meminumnya, menyimak pembahasan teman-temannya itu saat ini.
"Tinggal Nadia, nih." Rizki menepuk bahu Nadia yang berada di sampingnya.
Nara menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Nadia, ia pun duduk menyamping dan menatap wajah perempuan itu. "Ayo, dong. Masa kita ikut, tapi kamu enggak, kan gak seru."
Asep meraih satu makanan ringan yang ada di depan Rayyan, membukanya dan mencobanya. Matanya terbelalak saat mengetahui rasanya, ia tidak menyangka kalau ada makanan ringan seenak ini yang belum dimakannya. Asep mengacungkan jempolnya pada Rayyan.
Nadia menghela nafasnya. Dia berpikir sejenak, memikirkan resiko jika ia meninggalkan rumah selama satu minggu. Hatinya berkata kalau ia ingin ikut bersama teman-temannya, tapi otaknya berkata lain. Meninggalkan Rani dan Sulis di rumah tentu akan terjadi hal buruk.
"Gua ikut," ujar Nadia.
Apa salahnya ngikutin kata hati gua, sesekali, kan? Batinnya.
Nara dan Rizki berteriak antusias, membuat Asep dan Rayyan terkejut. Dua laki-laki itu langsung menatap ke arah mereka berdua. Tak hanya itu, seisi kantin juga menoleh ke arah mereka. Para penjual di kantin sudah biasa dengan kebisingan yang dibuat oleh mereka berlima.
...
Matahari mulai tenggelam, hendak bertukar tempat dengan sang rembulan. Langit biru kini berubah jadi oranye, dengan awan berwarna merah muda yang indah. Sekolah kini tidak sebising tadi, beberapa siswa sudah berjalan pulang menuju rumah mereka masing-masing.
Rizki dan Asep berjalan sambil berangkulan ke arah parkiran sekolah. Dua sejenis itu hendak ke parkiran bersama. Karena besok akhir pekan, Asep tidak akan tidur di sekolah dan sore ini ia harus bekerja paruh waktu.
"Lu kerja dulu?" tanya Rizki berjalan ke arah motornya yang berada tidak jauh dari motor Asep.
Asep berdehem sambil menganggukkan kepalanya. Setelah memakai helmnya, Asep berpamitan pada Rizki dan pergi terlebih dahulu.
...
"Tadi nyonya sempet ngamuk-ngamuk lagi," ujar Sulis. "Obat penenangnya habis. Biasanya sekertaris suka datang ke rumah buat ngasih obat penenang buat nyonya, tapi dia belum datang sampai sekarang."
Nadia menerima sebuah botol kapsul yang disodorkan oleh Sulis. Terlihat nama obat kapsul pada botol itu. Dia menoleh pada Rani yang sedang terlelap di sofa, lalu kembali menatap Sulis.
"Nanti Nadia beli obat penenang buat ibu," ucap Nadia.
Sulis menganggukkan kepalanya. "Bibi sudah masakin buat kamu, nanti makan dulu, ya."
Nadia mengangguk. Dia pun berjalan menaiki tangga ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Disimpannya tas sekolahnya di samping ranjang kasur, ia pun berjalan ke kursi meja belajar dan duduk di sana. Dia kembali menghela nafas panjang.
Nadia mengambil botol obat penenang tadi di saku roknya, mengamatinya dengan serius.
...
"Obat ini harusnya dibeli pake resep dokter. Dosisnya keras. Kalau gak sesuai, yang minum obat ini bisa terkena efek sampingnya."
Nadia mengerutkan keningnya, ia pun mulai panik dan kembali bertanya. "Efek sampingnya apa?"
"Yang minum obat ini bisa mengalami kecemasan berlebihan, alergi, atau bisa juga mengalami muntah darah," jelas petugas apotik.
Nadia mulai mengingat rencana buruk Tiara yang ingin menyingkirkan Rani dan dirinya, supaya dapat perhatian bos atau ayah Nadia. Dia juga berpikir kalau Rani terus-terusan merasa cemas dan kini ia menjadi pecandu alkohol. Rani selalu berkata, dengan mabuk semua kecemasannya menghilang.
Nadia mengepalkan tangannya dengan erat, hingga kuku-kukunya memutih. Kekesalan di dadanya sudah sangat besar sekarang. Nadia berterima kasih pada petugas apotik itu dan kembali membawa botol obat penenang milik Rani. Dia berjalan sedikit berlari ke luar.
Malam itu, jalanan agak ramai. Suara kendaraan saling bersahut-sahutan. Nadia mengambil ponselnya, menyalakannya dan menekan beberala nomor sebelum menempelkan ponselnya di telinganya.
"Halo. Kita harus ketemu sekarang, gua tunggu di taman kota." Nadia menyimpan kembali ponselnya setelah telepon dimatikan.