Chapter 2. The Power of Privilege

15 6 0
                                    

BRAKKK!!!

Itu adalah kelakuan Auriga yang sedang mabuk emosi. Untungnya rapat sudah selesai, tidak banyak guru menyaksikan sikap tidak sopan Auri. Bahkan Virgo panik sendiri karena Auri tidak bisa menahan amarahnya.

"Permisi, saya izin menemui Bu Ina," ucap Auri. Semua orang mulai berbisik karena kehadiran Auri yang dinilai tidak sopan. Beruntungnya di sini hanya ada guru-guru muda, jika saja ada guru tua, dipastikan Auri akan dijemur di tengah lapangan.

"Ayo ke depan," ucap Bu Ina. Wanita berkaca mata itu mengajak Auri duduk di bawah pohon beringin. Hari ini hawanya sejuk, semilir angin sepoi harusnya membuat orang-orang lebih tenang dan terkendali.

"Bu, saya sudah menghabiskan waktu dua bulan untuk membuat instrumen penelitiannya. Bahkan saya sudah menghabiskan uang untuk membaca jurnal-jurnal yang relevan tentang penelitian ini. Tapi kenapa sekarang malah berubah? Itu sangat membuang waktu dan tenaga saya," ucap Auri. Untungnya angin sepoi bisa membuat Auri sedikit terkendali.

"Ini ajang bergengsi, Auri. Sekolah tidak akan melewatkan kesempatan ini. Sekolah harus menang untuk menaikkan eksistensi diri," jawab Bu Ina.

"Jadi menurut Ibu, saya tidak pantas? Bu, bahkan saya belum presentasi ke Ibu untuk menunjukkan kelayakan saya. Kenapa Ibu sudah melabeli saya tidak pantas? Bahkan Gemini itu dari soshum loh, Bu! Kok bisa Gemini ikut lomba penelitian saintek?" tanya Auri. Seketika angin sepoi menghilang, terganti hawa panas yang berasal dari diri Auri.

"Auri, saya yakin kamu sangat pintar. Tapi untuk memenangkan penelitian ini, pintar saja tidak cukup. Kamu harus tahu seperti apa lomba yang kamu ikuti. Kamu pernah baca judul penelitian pemenang sebelumnya? Semua judul menghasilkan output luar biasa. Kamu pikir sekolah ini bisa mendanai penelitian seperti itu? Tidak, Sayang. Sekolah tidak punya, tapi Gemini punya," tutur Bu Ina. Auri benar-benar kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Bu Ina.

"Gemini memang tidak sepintar kamu. Tapi, relasinya luar biasa. Dia sudah kursus di lembaga penelitian, dia punya dana yang memadai untuk menciptakan output luar biasa." Kalimat itu sukses membuat Auri tertawa kecil. Dia menertawai sistem sekolah ini, juga dia menertawai dirinya sendiri karena harus kalah oleh uang.

"Bu, dari kelas 10 saya sudah mengincar lomba ini. Tujuan saya adalah kuliah di Jepang, dan lomba ini adalah golden ticket saya. Tapi ternyata, sekolah ini membuat saya kalah sebelum memulai," ucap Auri. Di bawah sana, tangannya mengepal kuat.

"Saya yakin kamu bisa ke Jepang. Tapi untuk sekarang, kamu harus mengalah dulu pada mereka yang lebih pantas." Kalimat terakhir yang disampaikan Bu Ina sebelum meninggalkan tempat, sangat berbekas bagi Auri. Berkali-kali Auri menatap Virgo dan lapangan secara bergantian, dia ingin marah, tapi bingung harus marah pada siapa.

"Igo, Aneh banget 'kan?!" kesal Auri. Matanya memerah, tapi dia menahan diri supaya tidak menangis.

Kini Virgo duduk di samping Auri, mengusap punggung Auri supaya gadis itu lebih tenang. "Kalau lawan Gemini, emang susah, Ri," ucap Virgo.

"Tapi ini jahat banget, Igo! Kenapa nggak bilang dari dulu sebelum gue mulai rancang lombanya! Jam tidur gue selama dua bulan terakhir cuma 3 jam, ini gak adil banget, Igo!" Auri menutup wajahnya karena kalut, dia benar-benar kecewa.

"Gue bener-bener gak bisa terima!" Hal mengejutkan bagi Virgo adalah Auri tiba-tiba berdiri dengan penuh tekad. Kejadian di ruang guru saja sudah berhasil membuat Virgo panas dingin, sekarang apalagi yang akan Auri lakukan.

"Lo mau ngapain?" tanya Virgo sambil mencekal pergelangan tangan Auri.

"Gue mau ngomong sama Gemini!" balas Auri.

How to Make PrivilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang