Auri tak pernah menyangka bahwa tumbuh dewasa sangat menyakitkan. Jika dulu Auri selalu percaya bahwa setiap tutur kata Ibu dan Bapak hal yang benar yang wajib dijalankan, namun Auri usia 15 tahun baru sadar bahwa orang tua tidak selamanya selalu benar. Sebelumnya, Auri tak pernah berpikir bahwa dia akan memberontak pada Ibu dan Bapak sampai diberi label anak durhaka.
Gadis yang kemarin menangis karena tidak diperbolehkan membeli es krim mangga, kini menjadi gadis yang suka menangis karena tidak menyerah dengan keadaan. Dulu hanya sebatas es krim mangga, tapi kini perihal kehidupan.
Virgo selesai memarkir mobilnya di depan supermarket dekat gang Auri. Waktu menunjukkan pukul 08.45, mereka sudah selesai menghirup udara segar di kota penuh polusi ini. Karena udara segar yang dimaksud bukan hanya sebatas bersih dari CO2, melainkan bebas dari suasana menegangkan yang penuh amarah dan tangisan.
Auri turun dari mobil, begitu juga dengan Virgo.
"Thanks for today, Igo," ucap Auri.
"Iya sama-sama. Tapi risol mayo satu, ya!" balas Virgo yang langsung mendapati pukulan pelan dari Auri.
"Obses banget sih sama risol gue," jawab Auri sambil tertawa.
Bekas tangis masih tercetak jelas di wajah Auri, tapi Virgo bisa membaca bahwa Auri merasa lebih baik daripada tadi.
"Udah, pulang gih!" usir Auri.
"Ya kali gue gak salaman dulu sama Ibu Bapak lo, gue bisa dicap cowok gak bener," balas Virgo.
"Gak usah, Igo! Rumah lagi panas banget, kalau mau mampir jangan sekarang," tolak Auri. Bagaimanapun, keadaan keluaga Auri sedang kacau-kacaunya. Yang Auri takutkan adalah ketika Virgo bertemu Ibu dan Bapak, Virgo bisa ikut dimarahi.
"Gue lebih suka panas daripada dingin, soalnya gampang masuk angin. Udah, ayo!" Virgo berjalan mendahului Auri, hal itu cukup membuat Auri panik.
"Virgo!" panggil Auri yang berusaha menyamakan langkahnya dengan Virgo.
"Iya, Auriga?" balas Virgo dengan mempercepat langkahnya.
"Jangan, Go!" Auri tidak menyerah untuk mencegah Virgo, tapi Virgo juga tidak menyerah untuk mengabaikan Auri yang berkali-kali menghalanginya.
Hingga langkah mereka sampai di depan rumah Auri. Ternyata di sana sudah ada Bapak dan Leo yang menyambut mereka tanpa tersenyum. Tanpa ada percakapan saja sudah membuat Auri takut. Bukannya Auri takut dirinya akan dimarahi karena hitungannya kabur begitu saja saat cekcok tadi, tapi Auri lebih takut jika Virgo yang disalahkan.
"Pulang aja, Go," ucap Auri.
"Masuk, Auri!" pinta Leo.
"Iya, habis ini gue pulang, Ri," ucap Virgo.
"Sana pulang, Igo!" ucap Auri untuk yang kedua kalinya.
"Ayo masuk!" Kini Leo menggandeng tangan Auri supaya adik perempuannya segera masuk ke rumah.
"Gak usah pegang-pegang! Najis!" balas Auri yang mengempaskan tangan Leo.
"Ibu ngurung diri di kamar," ucap Leo.
Auri mendadak tuli, dia mengabaikan ucapan Leo. Dia tetap mempercepat langkahnya supaya cepat sampai ke kamar.
"Auriga! Lo denger gak sih?!" Hampir saja tangan Leo terjepit karena Auri berusaha menutup pintu kamarnya dengan kasar. Namun, Leo bisa selamat karena kekuatan tangan kanannya yang berhasil menahan pintu.
"Apa sih, Le?!" kesal Auri karena Leo berhasil menerobos masuk.
Di dalam kamar Auri, Leo melihat banyak sekali hiasan dinding tentang negeri sakura. Baik tentang list kota yang ingin dia kunjungi, atau hal-hal yang ingin dia lakukan di Jepang.
"Ternyata lo terobsesi banget sama Jepang," ucap Leo.
"Kalau cuma mau komentari hidup gue, mending pergi! Gue males liat muka lo!" ketus Auri.
"Ri, Ibu ngurung diri di kamar, gue tadi cek suhu badannya ternyata panas," ucap Leo.
"Terus?" tanya Auri.
"Minta maaf ke Ibu. Ibu sakit karena kepikiran," jawab Leo.
Auri kembali merenung. Apakah sakit yang Ibu rasakan itu adalah salahnya? Auri tidak paham bagaimana cara menyikapi situasi ini. Dia kesal pada Ibu dan seluruh anggota keluarga, tapi Auri tetap bagian dari keluarga ini.
-o0o-
Malam ini dingin, jadi Virgo berusaha menghangatkan keadaan dengan melempar senyum pada Bapak.
"Nak, tolong jangan bermain bersama Auri lagi," pinta Bapak.
"Yah, tapi saya suka berteman dengan Auri, Pak," balas Virgo.
"Auri itu anak lugu dari desa, jangan kamu pengaruhi dia supaya menjadi anak liar seperti di kota!" ungkap Bapak. Wajahnya menggambarkan tidak suka dengan kehadiran Virgo. Bayangan Bapak tentang kota adalah seperti kelab malam, pergaulan bebas, hedon, dan masih banyak lagi mimpi buruknya tentang kota. Padahal sisi lain dari kota yang tidak pernah Bapak sadari adalah cita-cita.
"Kota tidak selalu liar, dan desa tidak selalu baik seperti kelihatannya," balas Virgo dengan tenang.
"Putri saya jadi pemberontak karena terlalu banyak bermain di kota!" ucap Bapak.
"Pak, kalau boleh tahu, apa Bapak mengenal Auri dengan sangat baik?" tanya Virgo.
"Saya mengenal Auriga dengan jelas karena saya adalah Bapaknya!" balas Bapak dengan angkuh.
"Apa Bapak tahu Auri punya cita-cita besar untuk menjadi peneliti di Jepang setelah makan puding Jepang? Bapak tahu, Auri lebih suka bulan daripada bintang, karena bulan lebih terlihat besar dari pada bintang. Auri lebih suka membaca buku ensiklopedia daripada novel. Auri tidak suka hujan, karena dia punya alergi dingin yang menyebabkan bersin-bersin saat kedinginan. Auri suka dipuji tentang kepintarannya, tapi dia anti dipuji karena kecantikannya. Auri suka warna merah, karena katanya merah adalah simbol kekuatan. Auri suka sekali hari Sabtu, karena setelah membantu Ibu, dia bisa santai sambil menonton film. Auri suka sekali drama series, tapi tidak pernah berniat menonton karena tidak punya waktu. Apa Bapak tahu semua fakta kecil itu?" tanya Virgo yang seketika membungkam Bapak.
"Jika Bapak saja tidak mengetahui hal-hal sekecil itu, bagaimana Bapak bisa menyimpulkan Auri berubah karena bergaul dengan masyarakat kota? Bahkan saya tidak yakin Bapak tahu Auri berubah atau memang itu adalah jati diri Auri," tutur Virgo.
Bapak benar-benar diam kaku. Menjadi orang tua Auri sejak Auri lahir tidak membuat Bapak mengenal Auri. Bapak hanya tahu, namanya Kasih Auriga, lahir di Bandung tanggal 20 Juni 2006.
Virgo mengatakan kalimat itu dengan wajah yang sangat tenang. Dia pandai mengontrol emosinya sehingga bibirnya masih bisa tersenyum di hadapan Bapak.
"Udah malam, Pak. Virgo pulang, ya," pamit Virgo sambil mencium tangan Bapak.
Akan tetapi, setelah tiga langkah berjalan, Virgo kembali menoleh ke Bapak.
"Satu hal lagi, Pak. Auri sangat suka es krim rasa mangga. Bukan karena es krim mangga itu enak, tapi karena dulu kalau Auri ingin es krim mangga, dia harus nangis di hadapan Bapak. Auri yang sekarang ingin membuktikan bahwa dia bisa beli es krim mangga tanpa menangis lagi. Harusnya Bapak bangga, karena tidak semua anak bisa segigih Auri. Jadi, kalau bapak tidak bisa mengusahakan es krim mangga seperti yang Auri harapkan, tolong jangan halangi dia membeli es krim mangga itu dengan usahanya sendiri. Pak, ini bukan tentang es krim mangga, tapi ini tentang Auriga yang sudah beranjak remaja."
Catatan Jingga Virgo
Bukan hanya anak yang harus mengerti orang tua, tapi orang tua juga harus mengerti anak. Kalimat itu sederhana, tapi Ibu dan Bapak tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Make Privilege
Teen FictionAuri sudah banyak mendengar banyak pesan dari motivator handal yang dia jumpai di seminar-seminar. Semuanya selalu berpesan sama, memulai segala hal dari nol untuk menciptakan angka seratus di kemudian hari. Sayangnya, para motivator itu lupa tentan...