Sudah seminggu semenjak aku menemani Alisha mendaftarkan dirinya ke sekolah. Dan sudah seminggu ini pula wajah pria itu melekat pada benakku. Wajah damai dan penuh kewibawaan itu ternyata membuatku tidak bisa melupakannya hingga detik ini.
Ting
Suara notifikasi WhatsApp ku berbunyi. Kulirik sebentar ke arah layar handphone dan tertera nama Zaidan disana. Aku memutar bola mata malas. Pria itu tidak pernah berhenti menggangguku bahkan setelah hubungan kami berakhir satu tahun yang lalu.
Zaidan adalah mantan pacarku ketika SMA, pria setengah matang yang labil. Wajahnya memang tampan, namun sifat posesif nya membuatku risih dan akhirnya aku memutuskan agar kami berpisah.
Kubaca pesan tersebut dari notifikasi.
Zaidan
Nan, jalan yuk. Kita ngopiAnandhini
Gabisa, gue sibukAku membalas singkat pesan Zaidan dengan tolakan. Setiap bulan sekali dia pasti melakukannya. Entah hanya mengirimkan reels Instagram yang menunjukkan bahwa dia masih ingin bersamaku, dan terkadang dia juga mengajakku keluar seperti sekarang ini.
Meskipun setiap pesannya kujawab dengan tolakan, atau bahkan tidak kujawab sekalipun pada bulan sebelumnya, maka dia pasti akan mengirimkan pesan lagi pada bulan berikutnya. Sungguh pria yang pantang menyerah.
Aku meletakkan handphone ku di nakas, memutar lagu dan menikmati masa-masa galau ini. Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi dengan perasaanku? Sudah lama aku tidak merasakannya belakangan ini, tapi kenapa rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalam hatiku ketika memikirkan guru Alisha itu? Ah sudahlah.
***
Aku berada di sebuah ruangan. Ruangan ini terasa tidak asing bagiku. Mataku gergerak menjelajah setiap inci dari ruangan ini. Dan benar saja, aku pernah berada di ruangan ini sebelumnya.
Aku heran kenapa aku bisa berada disini? Ketika otakku sibuk memutar memori dan mulai menelaah apa yang sedang terjadi, secara tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka yang memunculkan seseorang disana.
Sebuah siluet hitam yang begitu ku kenali postur tubuhnya. Seorang pria yang selama ini menari-nari dan memenuhi pikiranku, guru Alisha.
Aku menatapnya tanpa berkedip, menunggunya bergerak semakin dekat, membunuh jarak di antara kami. Senyumnya yang begitu khas membuatku tidak mampu untuk sekedar berpaling darinya meskipun hanya beberapa sepersekian detik saja.
Dan sekarang dia telah berdiri tegak di hadapanku. Tangannya mulai terangkat dan membelai rambutku. Aku seperti terkena sihir, tidak mampu untuk bergerak ataupun mengeluarkan sepatah kata. Aku hanyut dalam pesonanya.
"Siapa namamu?" ujarnya seraya membelai lembut rambutku. Senyumnya tidak pernah luntur dari wajah rupawan itu.
Aku tersentak dan membuatnya tertawa kecil.
"Ada apa? Apakah aku membuatmu kaget?" tanyanya dan aku menggeleng.
"Jadi katakan, siapa namamu nona?" ujarnya bertanya sekali lagi.
"A-aku, Anandhini" ujarku pada akhirnya.
Dia tersenyum begitu manis, seolah terpuaskan karena aku telah menjawab pertanyaannya.
"Nama yang indah, seperti pemiliknya yang begitu cantik" ujarnya seraya menatapku intens
Tiba-tiba aku melihat seberkas cahaya putih yang begitu menyilaukan. Aku panik, dia juga mulai melepaskan tangannya dari rambutku. Secara perlahan namun pasti, ia mulai bergerak mundur menjauh dariku. Aku menggeleng, air mataku menetes. Aku menggenggam tangan nya agar ia tidak pergi, namun semua sia-sia. Entah apa yang menariknya begitu kuat hingga aku tidak mampu untuk menahannya.
Cahaya itu semakin terang, diiringi dengan kepergian pria itu.
"Pak, tolong katakan siapa nama anda, jangan pergi!" Ujarku berteriak seraya menangis.
***
"Pak, tolong katakan siapa nama anda, jangan pergi!" Aku berteriak dan terbangun dari tidurku.
Mataku basah, keringat dingin mengalir begitu deras dari tubuhku. Ini tadi hanya mimpi? Tapi mengapa rasanya begitu nyata?
Aku menangis sejadi-jadinya, menatap kecewa diriku yang tanpa kusadari aku telah jatuh cinta pada pria itu. Aku tidak pernah menyangka bahwa pertemuan singkat itu akan sangat membekas di hati dan pikiranku.
Siapa namanya? Siapa pria itu? Apakah ia sudah beristri? Apakah aku bisa bertemu dengannya lagi di ketidaksengajaan berikutnya? Dan pertanyaan paling gila yang muncul di otakku adalah, "Apakah aku bisa menjadi istrinya dan mendampinginya sampai akhir hidupku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I realized I was wrong
Teen FictionAku tahu aku salah, namun aku percaya bahwa Tuhan tidak pernah salah dalam menentukan takdir setiap hamba-Nya. Apapun yang aku alami kini telah kuterima sebagai takdirku. Jika memang benar karma itu ada, maka kupersilakan dia datang dan menghukumku...