𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐭𝐰𝐨 — 𝐤𝐮𝐢𝐥 𝐩𝐚𝐧𝐭𝐡𝐞𝐨𝐧
“Apa kondisinya sudah membaik?”
“Kita tunggu efektivitas obatnya saja. Semoga dia cepat bangun.”
“Aku seperti pernah melihat wajahnya, tetapi di mana, ya? Dia seakan tidak asing.”
“Benarkah?”
Sayup-sayup, syaraf rungu Jihan bereaksi pada rambat suara samar menelusup masuk ke dalam rongga telinga.
Perlahan, gradasi yang semula terbatas hitam putih, mulai kembali pulih. Kelopak terbuka, hanya untuk mengindera sesuatu nampak aneh di mata.
“Kau tak apa?” 𝗬𝘂𝗷𝗶𝗼 adalah orang pertama yang bertanya, dengan nada khawatir bercampur lega, dia genggam pergelangan tangan Jihan guna periksa keadaannya pasca siuman. Pula, proyeksi empunya wajah yang dia sebut-sebut tak asing itu layak mesin proyektor. Yujio yakin, jika dia memang benaran pernah bersua dengannya di suatu tempat. Hanya saja, satu kelemahan membikin sangsi, Yujio tak ingat kapan spesifik waktu atau dalam bentuk peristiwa apa mereka pernah bertemu.
Jihan sekadar geleng sirah. Karena sungguh, dia tak menahu kemana perginya seluruh tenaga. Tubuhnya terasa sangat lemah bahkan sekadar untuk bicara.
“Syukurlah.” 𝗚𝘆𝘂𝘃𝗶𝗻𝘆𝘆𝘇, taruna yang ditaksir memiliki usia sebaya dengan Jihan ikut bersuara.
Kesadaran Jihan beranjak pada fase sempurna. Sejemang, ia tertegun dengan segala dersik berisik dalam kepala.
“Dimana ini?” Pertanyaan itu meluncur tanpa sadar.
Bangunan tua berarsitektur kental akan budaya Yunani kuno dengan parapin beraroma lemak hewan di sekelilingnya menyadarkan Jihan akan satu hal ...,
bahwa ia berada di tempat antah berantah dengan empat asing menatap tanpa berkedip barang sekali.
“Kuil 𝘗𝘢𝘳𝘵𝘩𝘦𝘯𝘰𝘯,” jawab 𝗚𝘂𝗻𝗶𝗸𝗼 cepat. “Hei, jangan bercanda! Apa kau tidak mengetahui tempat ini?”
Sebatas angguk yang Guniko dapat. Buat tawa hambar pemuda berperawakan jangkung seketika memudar, dia kira si gadis sedang bermain-main, namun melihat antap jernih itu menatap kosong, Guniko jadi skeptis.
Setelahnya, terdengar bunyi decak lidah dari Yujio. “𝘊𝘬, 𝘤𝘬, 𝘤𝘬! yang benar saja. Ini adalah kuil terkenal. Bahkan sampai ujung dunia, semua orang mengetahui namanya wahai, Nona.”
Tak lebih baik, Jihan tetap menggeleng kukuh. “Kuil Parthenon sudah lama musnah. Bukankah itu hanya ada dalam mitologi sejarah Yunani saja?” Itu adalah sepenggal pengetahuan yang diketahui. Tak menampik, jika ia adalah salah-satu dari sekian entitas paling anti pelajaran sejarah. Membosankan.
Gurat air muka ketiga pemuda berpenampilan nyaris serupa itu nampak sama—kecuali si paling tinggi dengan jubah sutera mengkilat dan mahkota berwarna emas cukup mencolok, menatap tanpa ekspresi apapun, lekat menjerat pualam Jihan dalam satu garis lurus.
“Nona, tolong diingat! Kuil ini belum musnah. Bahkan, baru beberapa bulan lalu direnovasi oleh Yang Mulia. Dan apa? Sejarah motologi Yunani? Hei, ini baru mendekati abad pertengahan!” Kini, giliran 𝗝𝗶𝘂𝗿𝗶𝗼𝘇 angkat bicara. Sedikit sewot.
“Itu memang benar. Setahuku, kuil ini sudah hancur binasa.”
“Tapi yang kau lihat sekarang baik-baik saja bukan?” Guniko menyambung dengan sebelah alis terangkat.
“Mungkin kepalanya terbentur batu ketika tenggelam, makanya jadi seperti itu, melantur.” Lantas, Guniko berbisik pada Jiurioz yang nampak masih terheran-heran.
Jihan bungkam, benak ingin menampik, namun semua yang terekam retina terlalu nyata untuk disebut sekadar delusi belaka.
Efek CGI? Apa bisa senatural ini?
Dan lagi, produser gabut mana yang menjadikan Jihan sebagai salah satu modelnya?
Jihan memperhatikan setiap jengkal pelosok ruang dalam diam. Hingga, atensi jatuh pada pakaian yang semula piyama bergambar 𝘮𝘰𝘰𝘮𝘪𝘯 tahu-tahu sudah berubah saja.
“Pa—pakaianku?!” Ajaib, energi yang sempat hilang mendadak kembali. Jihan bangun setengah duduk, memeluk diri sendiri memundurkan raga pada pojok ranjang. Menjaga jarak.
“Oh, baju aneh itu? Sudah kubuang dan menggantinya dengan gaun ini.” Seketika, Jihan melotot. Paham dengan apa yang ada dalam isi kepala gadis itu, “Tenang saja, yang mengganti bukan kami tetapi para biarawati.” Yujio lekas memberi klarifikasi.
“Ini semua aneh. Kalian ...,” Ada jeda panjang, mendadak Jihan kehilangan seluruh perbendaharaan kosa-kata, tak kuasa utara segala gasal dalam kepala. “Tempat ini ..., tempat ini seharusnya, sudah tiada! Musnah!” Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Kendati, jelas jika si gadis Agustus menyangkal semua yang kini terpampang nyata.
“Ha?” Kening Jiurioz kian mengernyit. “Tidak salah lagi, kau pasti sedang mengigau.” Lantas, pandangannya jatuh kepada Yujio yang tak berbeda jauh, sama bingungnya dengan sorot menyidik curiga. “Yucil, kau memberikannya obat yang benar, kan? Tidak salah ambil?”
Yang paling muda di antara mereka jelas bersungut tak terima. “Ku ralat sedikit, namaku Yujio, bukan Yucil!!” Angkat jari telunjuk, seakan tengah menggurui dengan raut wajah bukan kepalang jengkel. “Dan apa? Kau baru saja menuduhku memberinya obat yang tidak seharusnya, begitu? Sembarangan sekali!!”
Jiurioz menggendikkan bahu dengan ekspresi seolah mengatakan ‘𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘬𝘢𝘯’ yang terlihat sangat menyebalkan di mata Yujio.
“Aku mau pulang!”
──────
𝗦𝗲𝗻𝗶𝗻, 𝟮𝟮 𝗝𝘂𝗹𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟰
𝗣𝘂𝗸𝘂𝗹 𝟬𝟳.𝟭𝟬 𝗪𝗶𝗯
──────
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] potret semu, kim gyuvin
ФанфикMempersembahkan bagian satu dari proyek 𝗹𝗲𝗸𝗮𝘁 𝗱𝗶 𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘀𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁: ❝ Semu; tak selalu berupa abu senadi kelabu, sebab Han Jihan baru saja menemukan s...