ɪᴠ. ᴘ ᴏ ᴛ ʀ ᴇ ᴛ s ᴇ ᴍ ᴜ [◒]

26 13 6
                                    

𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐟𝐨𝐮𝐫 — 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐛𝐚𝐫

𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐟𝐨𝐮𝐫 — 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐛𝐚𝐫

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Ekhm! Sepertinya kita harus segera kembali.” Mengingat malam sudah beranjak pekat dan bukan kabar baik apabila Yang Mulai Zeus mengetahui cucunya masih berkeliaran di luar istana tanpa pengawasan ketat, Yujio harus segera membawa sang majikan pulang jika tidak ingin dibumihanguskan Yang Mulia, dia masih sayang nyawa. Meski secara teknis hidupnya begini-begini saja, sungguh. “Pangeran pasti kelelah—”

“Biarkan dia bercerita.” Gyuvinyyz memotong, sontak membuat Yujio kembali katupkan bilah yang sempat terbuka. Padahal, menurut sudut pandangnya, apa yang harus di dengarkan? Si gadis asing yang bahkan tak menahu dari mana asal-usul itu terlihat sangat aneh-- seperti hilang separuh sadar. Biarkan para biarawati saja yang mengurusnya, itu pilihan yang lebih baik bukan?

Pangeran tidak boleh sampai terkena atau terlibat masalah sekecil apapun, apalagi berkaitan dengan rakyat jelata, atau kepala Yujio akan terlepas dari tempat semula sebagai imbalannya karena dianggap lalai menjaga.

“Tapi, tapi Pangeran ..., ”

Memberi peringatan melalui tatapan mata penuh penekanan, Yujio konstan telan ludah pula mundur satu langkah, merinding sebadan-badan. Tidak berani lagi menyela.

Jika sudah masuk ranah serius, aura yang sejak bayi tersegel, kembali eksis. Menyeramkan. Sungguh, Yujio tidak bohong apalagi bersikap hiperbola.

“Lanjutkan.” Beri titah kentara menolak bantah.

“Maka dari itu, aku berpikir bahwa seharusnya kalian, tempat ini, bahkan peradaban ini sudah tiada. Karena zaman ini memang telah lama berlalu,” beber Jihan usai menceritakan semua kronologi kejadian secara terperinci, mulai dari ia yang tiba-tiba terbangun karena jendela kaca terbuka, fenomena bulan biru, siluet misterius masuk ke dalam pohon, hingga berakhir tenggelam kemudian terbangun di tempat aneh ini.

Lalu, mendadak skeptis mendapati respon alis saling bertaut dengan kepala miring sebagai reaksi, sukar sekali nampaknya. Untuk beberapa alasan, Jihan mengerti, mereka pasti sama bingungnya dengan ia yang entah bagaimana bisa tiba-tiba berada di era Yunani kuno.

Tetapi, memang demikianlah yang terjadi. Jihan melakukan perjalanan dimensi.

“Jadi, kau memasuki jalan aneh dan berakhir ke sini?”

Jihan lekas mengamini pertanyaan Jiurioz yang kini mengetuk-ngetuk dagu menggunakan ibu jari. Tanda berpikir keras.

“Aku hidup di zaman modern dimana ilmu dan teknologi sudah sangat maju. Ada banyak hal yang luar biasa di sana. Kalian mungkin takkan pernah tahu zaman seperti apa itu. Tetapi percayalah, aku hidup di tahun yang jauh dari zaman kalian. Dalam artian, masa ini sudah dianggap kuno di masaku,” lanjutnya.

“Ah, pantas. Kau sedikit aneh saat Pangeran membawamu kemari,” ungkap Guniko. Sedikit demi sedikit mulai bisa mencerna situasi sukar di jabar nalar ini.

“Tolong, aku ingin pulang. Aku takut jika Bunda mencariku. Dia pasti masih sedih, karena Kakek pergi tanpa pamit. Aku harus selalu ada di sampingnya, agar dia tidak terus-terusan merasa bersalah.” Suara Jihan berangsur memelan seiring kepala menunduk. Layak, bunga layu kehilangan nutrisi dan zat hara karena pencemaran lingkungan dan berakhir mati kekeringan—Jihan putus asa sebab tak menahu harus melakukan dan memulai dari mana.

“Jangan khawatir, semua bisa diatasi. Aku paham, kau terlempar ke dimensi masa lampau, bukan?” Jihan menghela napas lega.

Akhirnya ada yang paham juga tentang apa yang berusaha ia sampaikan. Mungkin konsepnya agak rumit dan pelik, mirip sistematika paradoks, namun itulah yang sesungguhnya terjadi. Jihan menjelajah waktu dan terdampar di era lampau.

“Kusarankan, sebaiknya kau menemui 𝗧𝗮𝗲𝘇𝗶𝗼. Dia adalah profesor kerajaan. Dia mungkin memiliki minimal satu jawaban mengapa kau bisa sampai ke sini, meski tidak menjamin akan terselesaikan dengan cepat. Tapi, apa salahnya mencoba, bukan?”

“Pertama-tama, kau harus meminta izin kepada Baginda Raja 𝗭𝗲𝘂𝘀 untuk bertemu dengannya.” Jiurioz memberi saran.

“Zeus?”

“Yakk! Kau tidak sopan sekali memanggilnya dengan nama!!” Guniko nyaris daratkan satu pukulan (refleks) pada kepala Jihan andai Jiurioz tak menahan.

Tersenyum canggung. “Maaf, di zamanku hal itu sudah biasa. Karena sudah berganti menjadi demokrasi, bukan lagi monarki.”

“Demokrasi? Monarki? Apa itu?” Guniko tak paham dengan istilah aneh yang baru saja di dengarnya.

“Sulit untukku menjelaskan, yang pasti demokrasi itu sistem negara yang kekuasaan dan hak sepenuhnya di miliki oleh rakyat. Sedangkan, monarki adalah bentuk pemerintahan absolut yang dikepalai oleh raja.”

“Aku masih belum paham.” Menggeleng skeptik.

“Sudah-sudah. Kalian pulang dan beristirahatlah.” Yujio menengahi, beralih menatap Jihan. “Dan kau, kau bisa meminta tolong kepada Pangeran untuk mengantarmu menemui Baginda Raja, kami tidak bisa menemanimu sampai ke istana utama karena hanya seorang rakyat jelata.”

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

𝗠𝗲𝘀𝗸𝗶 𝗮𝗴𝗮𝗸 𝘀𝗸𝗲𝗽𝘁𝗶𝘀 𝗮𝗱𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗻𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗶𝗻𝗶 𝘂𝗽𝗱𝗮𝘁𝗲, 𝘀𝗲𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗸𝘂 𝗰𝘂𝗸𝘂𝗽 𝘀𝗲𝗻𝗲𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗻𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹𝗶𝗻 𝗷𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗵𝗵𝗵𝗵𝗲𝗲𝗲... 𝗦𝗲𝗯𝗲𝗿𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝗿𝘂𝗵 𝗶𝘁𝘂 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗯𝗮𝗹𝗶𝗸𝗶𝗻 𝗺𝗼𝗼𝗱 𝗻𝘂𝗹𝗶𝘀.

𝗠𝗶𝗻𝗴𝗴𝘂, 𝟬𝟴 𝗦𝗲𝗽𝘁𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿 𝟮𝟬𝟮𝟰
𝗣𝘂𝗸𝘂𝗹, 𝟭𝟳:𝟯𝟭 𝘄𝗶𝗯

[i] potret semu, kim gyuvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang