𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐭𝐡𝐫𝐞𝐞 — 𝐤𝐨𝐥𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢“Aku mau pulang!!”
Di tengah perdebatan sengit tetua Jiurioz dan si bungsu Yujio, Jihan segera beranjak ketika mereka lengah, tergesa berlari menuju luar ruangan. Melewati lorong-lorong mirip labirin pula pilar batu menjulang dengan berbagai ornamen patung ukir bergaya kuno penuhi kanan-kiri. Nyaris, hantam pajangan baju zirah besok sebab kurang perhatian langkah.
Tak peduli pula, pada nasib gaun malang yang sempat tersangkut sesuatu karena dipaksakan terus bergerak dan kini kain bagian ujung sedikit sobek—memanjang sampai pangkal betis, Jihan tetap lanjutkan pelarian.
Di langkah ke sekian, karsa otomatis menghentikan laju kaki begitu mendapati atmosfer luar yang tak kalah menimbulkan kontroversi dalam diri.
Bagaimana ramainya hiruk-pikuk kota tua yang jika tidak salah ingat, ia pernah melihat pemandangan serupa di suatu tempat, museum?
Jihan merasa tidak yakin. Lantas, tanpa sadar angan menerawang urutan peristiwa masa lampau, sampai satu rekaman acak mampir dalam benak.
Benar!
Studio seni Kakek.
Di sana, ada banyak sekali relief dan lukisan sama persis. Nyaris tidak ada cacat, panorama hasil gores cat Kakek benar-benar mirip dengan apa yang Jihan lihat sekarang—dalam bentuk nyata mampu disentuh dan diraba.
Jangan katakan ...,
semua karya seni klasik Kakek punyai kolerasi dengan tempat asing ini?
Berjuta tanya kini berhamburan layak diledakkan dinamit menjadi keping-keping terkecil, menimbulkan asumsi macam-macam yang simpang-siur jawabannya—atau bahkan tak memiliki jawaban sama sekali.
“Apakah ini ..., ” Menggantungkan kalimat seraya tutup mulut rapat. Menolak percaya.
Menggeleng ribut. “Ti𝐥dak! Mustahil! 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘮𝘪𝘨𝘳𝘢𝘴𝘪 atau 𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘵𝘳𝘢𝘷𝘦𝘭 hanya ada dalam buku novel saja.” Berusaha bantah presepsi konyol yang tetiba hilirisasi. Lantas, bagaimana Jihan bisa menjelaskan semua ini andai hanya sekadar ilusi?
Tertawa berat dan kaku. “Hhaaa ..., ini sudah pasti hanya mimpi.” Detik berikutnya, Jihan meringis manakala kulit terasa sakit ketika sengaja dicubit. Masih belum yakin, Jihan membenturkan kepala pada dinding dan hasilnya masih sama. Malah, menghasilkan memar pada dahi, dan jujur itu sakit sekali. Mengindikasi, jika ini bukan sekadar rekaan imajinasi.
“Jadi tidak perginya?” Yujio bersedekap dada. “Huh! Jangan bilang, kau lupa jalan pulang? Dan lupa bagaimana caranya berterima kasih.” Kentara menyindir dengan nada menyebalkan.
Menoleh cepat. “Seharusnya, kalian serta tempat ini sudah punah berabad-abad silam. Aku tidak bisa mencerna semua kemustahilan ini, bagaimana ceritanya aku bisa sampai terdampar ke dimensi yang bahkan begitu jauh dari peradaban nenek Moyangku yang asli Asia?!” Seraya membolak-balik telapak tangan, seakan ada sesuatu mengganggu di sana.
“Dan tunggu dulu!” Memindai satu persatu dari mereka dengan mata bergetar, terguncang hebat. “Bagaimana aku bisa mengerti bahasa kalian, dan kalian bisa mengerti apa yang aku katakan?” Kemudian, jambak rambut bersama eraman. Bentuk perwakilan segala frustrasi. “Dan kau!” menunjuk pemuda paling tinggi dan mencolok. “Kau terlihat tidak asing! Tetapi, aku tidak tahu pernah bertemu denganmu di mana, dan dalam situasi apa tepatnya.”
“Kau kenapa?” Guniko dan Jiurioz semakin tak mengerti.
Sedang, Yujio kini mendadak sangsi. Khawatir apa yang Jiurioz tuduhkan tadi benaran terjadi. “Apa aku sungguhan salah memberikan obat?” Sebab botol cairan halusinogen (biasa digunakan untuk menginterogasi tahanan agar mengakui semua kejahatan dengan efek samping hilang waras) hampir sama dengan obat herbal guna mengurangi rasa sakit dan demam.
“Dengar, aku—” Kesekian kali, Jihan kehilangan paragraf. “Aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di sini. Aku—ahh, maksudku, bisa dibilang aku adalah manusia dari masa depan, penjelajah waktu. Aku tersesat dan berakhir berjebak di masa ini. Apa kalian paham?”
Tak ada respon. Jihan semakin brutal mengacak surai.
“Kalian yang menemukanku tenggelam, ‘kan?”
Semua serempak menggeleng, dan Gyuvinyyz lagi-lagi sebagai eksepsi. Dia dominan diam memperhatikan sedari tadi.
“Hah? Lalu?” Tambah bingung.
“Pangeran bilang, 𝘚𝘪𝘳𝘦𝘯 yang menyelamatkanmu yang nyaris mati tenggelam di Palung 𝘈𝘮𝘰𝘳. Dia kemudian membawamu kemari, meminta untuk kau segera diobati.” Jiurioz menjelaskan.
“Siren? Pengeran? Amor?”
Astaga! Konspirasi apalagi ini?
Jiurioz mengangguk dengan kedua mata melebar, tak percaya. “Iya, kau tak tahu Siren bahkan Pangeran kerajaanmu sendiri?” Menggeleng, mati bereaksi.
Hening. Jihan tak menjawab, sibuk bersenandika bersama atma. Yang Jihan ketahui, Siren adalah manusia setengah ikan dalam mitologi Yunani dengan penggambaran makhluk jahat yang sering menyesatkan para nelayan, hobi bernyanyi berisi lagu mantra hitam yang mampu menghipnotis si calon mangsa. Membuat manusia secara suka rela menenggelamkan diri untuk menjadi makanannya karena pengaruh sihir.
Akan tetapi, siren yang sering Kakek gambar malah miliki kesan kebalikan yang menentang sudut pandang orang-orang; baik, rupawan, bisa berteman dengan siapa pun.
Arkian, potongan 𝘱𝘶𝘻𝘻𝘭𝘦 memproyeksi ulang ingatan yang bersinggungan dengan pernyataan Jiurioz.
Meski agak samar, namun Jihan yakin jika yang menyelamatkannya saat itu jelma manusia. Bukan Siren ataupun sejenis makhluk setengah ikan yang bersisik.
Dia punya sepasang kaki, dan ..., tekstur lembut yang lambat layak siput.
❀•°•═════ஓ๑♡๑ஓ═════•°•❀
𝗦𝗲𝗻𝗶𝗻, 𝟮𝟮 𝗝𝘂𝗹𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟰
𝗣𝘂𝗸𝘂𝗹 𝟬𝟳.𝟮𝟭 𝘄𝗶𝗯
❀•°•═════ஓ๑♡๑ஓ═════•°•❀
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] potret semu, kim gyuvin
FanficMempersembahkan bagian satu dari proyek 𝗹𝗲𝗸𝗮𝘁 𝗱𝗶 𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘀𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁: ❝ Semu; tak selalu berupa abu senadi kelabu, sebab Han Jihan baru saja menemukan s...