rak.si. artinya wangi; harum. Kata Mbah, nama itu diberikan ketika bau Soto buatan Mbah melambung naik diatas permukaan kuah-kuah panas yang siap dimakan Ibu saat mengandungku.
Ibu yang saat itu menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak ingin dilupakannya maka memilih nama, Raksi Jatayu Bumi sebagai bentuk kasih sayang bagaimana keluarga kami sangat mencintai soto Mbahku ini.
Kini Rumah tua bergaya Jawa ini dipenuhi asap-asap tipis dari salah satu ompreng besar di rumah ini. Di depanku, ada seorang bapak mandor proyek yang melahap satu mangkuk soto dengan tempe goreng di tangannya. Haduh, sepertinya kelaparan sekali.
"Kamu putunya Mbah Jatayu ya?" Tiba-tiba ia mengajakku berbicara.
"Iya pak," jawabku dengan meringis.
"Anaknya siapa? Minah? Ratri? Apa Jaya? Kok ndak pernah keliatan?"
"Ratri pak."
"Pendiem ya kamu," balas bapak itu sambil melahap satu sendok soto.
Lah, ntar tiba-tiba balik jungkir kaget
"Putuku yang itu memang jarang kesini," tiba-tiba Mbah muncul. Bapak mandor itu sekarang menoleh kearah Mbahku.
"Yang nomor satu tiap hari kesini terus malahan," lanjut Mbah.
"Loh ini yang nomor berapa?"
"Saya yang nomor dua pak," jawabku.
"Memang begitu, dia sibuk sekolah jadi jarang," ujar Mbah sembari kembali ke dapur tempat soto dibuat.
Warung Mbah bergaya klasik nan jadul, sebenarnya warung Mbah terletak di dalam rumah, ruang tamu disulap menjadi warung. Ruang itu dikelilingi oleh jendela-jendela yang terbuat dari kayu, di tengahnya terdapat meja besar yang memanjang, menjadi tempat sebungkus kerupuk, stoples emping, roto kering, kacang kapri, hingga onde-onde.
Ruangan itu hanya di sekati tembok, lalu masuk kedalam sudah sampai dapur, dapur yang bersih atasnya terdapat genteng kaca, cahaya masuk dari situ betapa syahdunya asap-asap itu seolah mengudara menuju sinar tembusan itu.
Menurutku tidak ada yang spesial dari soto Mbahku ini, tidak tau. Tapi memang rasanya berbeda, Ibuku tidak pernah bisa memasak yang sama seperti yang dibuat Mbah putri di warungnya. Yang aku tau, soto milik Mbah memang rasanya berbeda. Namun, itu saja tidak membuat soto ini spesial.
"Raksi, tolong rajang tomat merahnya, semua ya nduk," teriak Mbah
Aku hanya mengangguk lalu beranjak ke dapur untuk memotong tomat, entahlah tomat untuk memasak apa, tapi yang jelas bukan untuk soto.
"Kamu yang pintar seperti Mbakmu ya nduk," ujarnya lagi.
"Iya Mbah."
"Atau seperti Tanjung itu, dia sudah masuk kuliah di kampus negeri, pintar sekali kan?"
"Iya Mbah, Mas Tanjung memang pintar."
Mas Tanjung adalah tetangga Mbah, setahun lebih tua dariku. Memang perawakannya yang rajin dan rapi telah memikat hati Mbah. Sekarang ia baru saja lulus SMA dan masuk ke salah satu Top perguruan tinggi di negeri ini. Duh pikirkan bagaimana Mbah berharap bahwa salah satu putunya esok menikah dengan Mas Tanjung?
Beruntungnya, aku tidak pernah jadi bahan perjodohan yang di rencanakan Mbah untuk mewujudkan misinya tersebut.
Mas Tanjung lagi, sebenernya putu Mbah siapa sih?
YOU ARE READING
Bau Hujan di Sela-sela Jarimu
General FictionApa yang kau rasakan saat hujan? Apa yang kau bau saat hujan? Apa yang kau ingat saat hujan? Apa yang kau dengar saat hujan? "Raksi! Mbah harap kamu mengerti! Mbah mengandalkanmu." Perjalanan Raksi menyelamatkan sebuah rasa, aroma, dan orang ters...