Dua bulan sudah berlalu semenjak musim awal pelajar baru berdatangan. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, sudah beradaptasi dengan yang namanya lingkungan serta suasana baru. Para guru pun sudah seringkali menegur siswa kelas 10 yang melanggar aturan-aturan yang berlaku, bahkan tak segan lagi untuk menunaikan hukum yang ditetapkan.
Pada pagi hari ini, tepat pada hari Rabu yang cuacanya sedang tak baik, yang entah sejak kapan turun hujan dan tak mau berhenti hingga pukul delapan. Seorang guru berparas cantik bak dewi dengan rambut hitam legam yang terikat menjuntai, dan netra coklat hazel yang memikat berdiri diambang pintu kelas 10 IPA-A. Sorot matanya penuh ketenangan, seolah selalu ada banyak hal yang tak perlu dilakoni dengan penuh emosi.
Bu Rizka namanya, guru Bahasa Indonesia yang terkenal dengan kelembutan hatinya. Semua siswa di sekolah ini mencintainya, begitu pula Ice. Meski terlihat tak peduli dengan kehadiran guru tersebut tapi dalam hati ia senang. kelembutan, perhatian serta kasih sayang yang diberikan membuatnya merasa ada sesosok wanita yang pantas digelari ibu dalam hidupya.
Rizka tersenyum, memulai kelasnya seperti biasa tanpa canggung. Anak-anak kompak berseruuntuk menjawab salam penuh semangat walau hujan tengah menderu. Wanita berusia tak kurang dari 27 tahun ini mulai sibuk menjelaskan materi, sesekali membahas hal yang serupa untuk dijadikan contoh. Semuanya sibuk mencatat dan menyimak, berusaha fokus pada materi yang dijabarkan.
"Baiklah anak-anak, Ibu akan beri kalian tugas kelompok mengenai materi yang lalu, materi teks laporan observasi. Masing-masing kelompok berjumlah 3 orang, bebas pilih siapaanggotanya. Deadline nya minggu depan," diakhir jam pertemuan, Bu Rizka memberi tugas yang hampir tak dapat dipercayai oleh Ice.
Seluruh siswa yang mendengarnya terlihat bersemangat, mereka sibuk memilih teman untuk tugas tersebut. Sedangkan Ice justru termenung di mejanya, tanpa niatan mencari rekan kerjanya.
Solar mendekat, menepuk bahunya lembut seolah menyadarkannya dari lamunanya. Ice menoleh dengan raut wajah tertekuk, seolah berkata 'apa maumu?' namun tak dapat mengucapkannya.
"Lo gak nyari temen?" tanya Solar dengan nada heran karena Ice tak kunjung beranjak dari kursinya. Reaksi Ice jauh dari apa yang dia pikirkan, remaja itu hanya menggeleng kemudian sibuk membuka-buka lembaran bukunya.
"Woy! Lo gak nyari temen apa?" suaranya sedikit meninggi dengan perasaan kesal yang dalam. Ice meliriknya sekilas, "buat apa?" sahutnya tak peduli. Dan tingkahnya itu mengundang kemarahan bagi Solar yang terkesan mudah terbawa suasana.
Solar meraih tangannya, menahannya kembali membuka buku. Keduanya saling pandang dengan aura yang bertolak belakang, kericuhan tersebut menarik atensi seluruh siswa untuk menonton aksi mereka.
"Apa maksud lo buat apa? Jelas kan kalo itu buat kerkom?! Lo budeg, apa pura-pura gak tau sih?!" dadanya kembang kempis menahan emosi, tatapan tajam dan cengkraman yang mengeras di kursi menjadi bukti bahwa dia sedang susah payah mengendalikan diri.
Ice merebut tangannya kembali, melayangkan tatapan galak tak tertandingi. "Gue bisa kerjain sendiri,"ucapnya tak bernada. Menimbulkan kericuhan antar siswa. Mereka saling berbisik, membuat kericuhan lain.
"Liat deh si Ice, ditawarin sekelompok sama Solar malah nolak. Kalo gue sih bakal mau"
"Iya tuh, kan sayang. Si Solar loh pinter, mantep kalo bisa sekelompok"
Solar mendecih, kembali duduk di kursinya. Urusannya kacau, padahal sudah berbaik hati menawarkan Ice untuk bergabung dengan kelompoknya tapi malah tertolak mentah-mentah. Memang ya, terkadang niat baik tak bisa diterima oleh semuanya.
***
Jam istirahat tiba selepas pelajaran Kesehatan Jasmani dan Rohani alias Penjaskes, entahlah mengapa pelajaran remeh-temeh itu masuk dan jadi mapel sekolah ini. Padahal seluruh materi yang diajarkan selalu sama dan tak akan berubah.
Ice memutuskan untuk keluar kelas, menuju taman yang ada di belakang gedung A. Hari ini ada banyak hal yang terjadi, dan itu membuatnya ingin beristirahat sejenak di tempat favoritnya. Jaraknya hanya 10 langkah dari gedung A, dan itu tentu tak banyak membuang waktu dan tenaganya.
Baru saja tiba di sudut terbaik yang jadi langganannya, seorang pemuda bersurai coklat sudah ada di sana. Duduk dengan wajah kesal dan selembar kertas yang sepertinya baru diremas. Ice berjalan mendekat, mengidentifikasi emosi yang tercetak.
"Kenapa,lo? Kusut gitu," Ice sebenarnya tak mau tahu, tapi karena tempatnya ini diambilia akan memperjuangkannya agar tak direbut. Pemuda itu mendengus, netra orangenya meliriknya sekilas.
"Nilai MTK gue jeblok, gue disuruh ngerjain ulang tapi gue gak ngerti," jawabnya dengan nada lesu. Ice menahan tawa, pelajaran matematika adalah pelajaran paling menonjol kedua di sekolah ini. "Masa? Mau gue bantu?" sarannya tanpa sengaja. Pemuda itu menoleh ragu-ragu "emang elo bisa?" Ice mendengus, ia merasa diremehkan kali ini.
"MTK itu gampang, sini!" tanpa aba-aba Ice menarik lembaran kertas di tangannya. Hampir saja tawanya meledak ketika melihat soal yang tertulis disana, untung ia sadar ada orang yang memperhatikannya.
"Bisa gak?" Ice mengangguk pelan. Bukan masalah besar untuknya walau ia khawatir tak bisa menahan tawanya lagi.
"Lo bawa pulpen, kan? Sini, pinjam!" pinta Ice mengalihkan perhatian si pemuda. Cepat-cepat tangan itu mengulurkan sebuah pulpen berwarna hitam padanya. Ice menerimanya dengan senang hati, kemudian mulai membantunya mengerjakan.
"Jadi gini nih..."
Tak terasa waktu istirahat tinggal lima menit lagi, dan soal terakhir baru saja selesai dikerjakan oleh pemuda tersebut. Ice menghembuskan napas lega, seluruh soal berhasil dijawab dengan benar meski sebagian besar dibantu olehnya.
Pemuda itu tersenyum puas melihat lembaran jawaban baru di tangannya. Gantian dia melihat Ice yang tampak lelah dengan raut senang. "Makasih sama bantuan lo. Nama lo siapa?" tanya pemuda itu semringah.
Ice menjawab dengan mata tertutup "Ice, lo?" tak langsung menjawab, tangan pemuda itu malah terulur ke depan "Gue Andres Blaze Keegan, panggil gue Blaze aja," ucapnya setelah uluran tangannya dibalas. Ice mengangguk singkat, lantas pemuda bernama Blaze itu bangkit berdiri, mungkin ingin kembali.
Sebelum pergi Blaze mengatakan sesuatu yang membuatnya mengernyit.
'kriiiiiing!!'
Suara lonceng yang berdering membuatnya sadar dan bergegas kembali. Di kepalanya sekarang terputar satu pertanyaan yang membuatnya gelisah. 'Apa itu teman?'
***
Gedung mereka ada 3 gedung, gedung A khusus kelas 10, gedung B khusus kelas 11 dan gedung C kelas 12. Tiga gedung itu punya lima lantai, setiap lantai ada 4 kamar mandi, baik untuk siswa maupun siswi, dan masing-masing gedung punya fasilitas yang berbeda. Dan ada jembatan kaca di gedung B yang menghubungkan dua gedung lain. Letak jembatan kaca ada di lantai tiga.
Wrote; 07 Juli 2024
HBD my self

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ice
FanfictionHidup Ice terlalu rumit, berputar-putar dan menyedihkan. Banyak kejadian dan peristiwa yang bahkan dirinya sendiri tak memahami hal tersebut. Banyak hal yang membuatnya merasa tak percaya diri, kelimpungan, tak tahu arah. Ketika seluruh prestasi da...