Warning!!
Cerita ini dibuat berdasarkan novel 'HARAPAN DARI TEMPAT PALING JAUH'
Jika ada kesamaan diantara mereka, mohon maaf.
Cerita ini terinspirasi.
Sekali lagi saya ucapkan, terinspirasi bukan meniru seutuhnya.
Selamat membaca...
.
.
.
Detik demi berganti, jam di dinding terus berputar membuat suaranya menggema di langit-langit. Netra ocean blue miliknya tampak cemas menunggu. Sudah dua jam lebih ia duduk termangu di sofa, menanti kedatangan sosok yang ingin ia perlihatkan sesuatu. Matanya melirik dinding, memastikan pukul berapa sekarang.
Ice namanya, remaja berusia 15 tahun yang amat ambisius mencapai nilai terbaik. Pagi tadi, selepas acara perpisahan yang digelar sekolahnya, selepas seluruh ijazah dibagikan ke setiap murid. Ice yakin kali ini ia bisa mengambil hati ibunya, ia percaya jika kali ini bisa mendapatkan pujian dan penghargaan yang layak.
Senyumnya mengembang dalam diam, membayangkan seluruh perlakuan baik yang akan ia terima. Ice semakin tak sabar menunjukkan nilai-nilainya. Walau tak seutuhnya jadi nomor satu, tapi inilah usaha terbaiknya. Menjadi nomor dua dengan jumlah nilai selisih 2 poin dengan saingannya.
'cklek'
Pintu depan terbuka perlahan, membuatnya bergegas bangkit dengan senyum yang cerah. Wajahnya berusaha tampak semanis mungkin menyambut kedatangan sosok yang dinantikannya sejak tadi. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai berdiri dibalik pintu. Melepas high heels miliknya kemudian berjalan menghadapnya.
Wanita ber-blazer navy tersebut menatapnya dalam. Tatapannya tajam dan menusuk, namun seolah menanti dirinya berbicara lebih dulu. Ice menegak salivanya kasar, sedikit gugup melihat tatapan sang wanita yang tertuju padanya. Dengan kaku ia mengulurkan selembar kertas berisi nilai-nilainya, berharap seulas senyum hangat terbit untuknya.
Sang wanita menatap lamat-lamat lembaran kertas di tangannya. Lima menit memperhatikan, akhirnya wanita itu membuka suara. "Nilai kamu yang terbaik di sekolah?" tanyanya dengan nada tak bersahabat. Seluruh perlawanan yang akan ia berikan hilang begitu saja. Kepala Ice menunduk, takut menatap netra blue milik sang ibu.
"kamu, gagal lagi? Saya sudah bilang, kan, jadi yang pertama. Yang terbaik dari semuanya." ungkap wanita itu dengan nada sedikit kecewa. Ice memberanikan diri mengangkat kepala, menatap sang ibu yang menantikan penyangkalan darinya. "Ice udah usaha, Ma.. Nilai ice juga cuma beda 2 dari Solar. Ice udah usaha semaksimal mungkin, gak main-main kayak dulu" suara Ice tersekat, berusaha menahan diri agar tidak melepaskan tangisnya.
"Apa salahnya sih, Ma, jadi yang kedua? Kan sama a-" kata-kata Ice terpotong dengan suara sang ibu yang meninggi. "KAMU BILANG SAMA?!" Ice tergugu, tak menyangka akan kembali dibentak seperti ini. Kepalanya menunduk, takut menatap netra sang ibu yang terbakar emosi, tangannya mengepal, menahan pedih yang menyesakkan dada.
"YANG KEDUA ITU SAMA AJA KAYAK YANG TERAKHIR! PERCUMA!" jeritnya penuh emosi. tangannya menyambar lengan Ice, menarik remaja itu menuju sebuah kamar yang dinuansai warna biru. Dengan kasar ia mendorong Ice ke dalamnya, lantas cepat-cepat mengunci sebelum sang anak sempat memberontak.
"RENUNGIN SEMUANYA! BELAJAR! JANGAN HARAP KAMU KELUAR SAMPAI BESOK"
Ice menunduk, tangannya mengepal, memukul lantai sekeras-kerasnya. Tangisnya luruh, tak sanggup lagi menahan semua rasa pedih ini. Suaranya hilang, sengaja tak menimbulkan suara agar tak mendapatkan hukuman yang jauh dari ini.
Ia adalah Ice. Seseorang yang punya kehidupan mengerikan. Dituntut menjadi yang paling sempurna dan terbaik dalam apapun. Setiap kli ia berhasil mempertahankan posisinya sebagai orang kedua terpintar di sekolah, ibunya hanya bisa memaki. Mengatakan pada dunia jika ia tak lain hanyalah orang yang gagal.
Ice kesal, marah dan sedih. ia sudah mengorbankan banyak hal. demi apapun, ia rela meninggalkan banyak kegiatan, membatasi pertemanan dan hanya menjalaninya ketika ada tugas kelompok. Ia membiarkan masa-masa pubertasnya dilewati dengan belajar. Ia rela tak bergaul dengan banyak orang ketika puluhan temannya sibuk membahas gosip atau tren yang booming di media. Ia rela tak menggali hobi dan kesukaannya demi meraih gelar terpintar. Bahkan terkadang ia rela tak makan, tak tidur dan lupa waktu demi belajar.
"Ma... Ice capek belajar mulu. Ice cuman pengen dipuji Mama, disayang dan dipeluk Mama" ucap Ice dengan nada sendu. Air matanya habis, tak lagi menangis. Ia hanya menyandarkan tubuhnya pada daun pintu. Menatap meja belajarnya yang dipenuhi buku-buku dengan pandangan kosong.
Ice tertawa getir. Merasa dunia sedang tak adil dengan dirinya. Merasa bahwa hanya dirinya yang paling terluka dan tak diuntungkan sama sekali disini. Ice lelah dan ingin beristirahat dari gila belajar yang jadi makanan sehari-hari.
Kadang ia berharap dapat menjadi bagian dari keluarga harmonis yang penuh tawa. Ingin punya keluarga yang bisa menerima dan memujinya tiap kali penghargaan dan gelar tersemat padanya. Ia hanya ingin disemangati, dipuji dan diberi penghargaan.
"Apa ya, alesan gue tetep disini?" tanyanya dengan suara mengambang. Pandangannya kosong menatap langit malam lewat jendela kamarnya yang terbuka. Suara jangkrik dan hewan malam lain terdengar, menemaninya yang terkukung oleh kesunyian.
↑↓↑↓↑↓
Inilah kehidupan seorang Ice. Meskipun jadi orang terpintar kedua di sekolah, penghargaan dan pujian yang ia harap dilontarkan kedua orang tuanya tetap jadi mimpi.
Sehebat apapun ia menunjukkan hasil dari kegigihan dan usahanya belajar, mereka takkan peduli. Selagi Ice belum dinobatkan menjadi yang pertama, mereka akan tetap bungkam.
Seluruh permintaan Ice tak akan pernah dipenuhi. Sekalipun Ice memohon hingga berlutut dan menangis. Mereka sepakat akan mengabulkannya jika Ice berhasil meraih peringkat pertama. Dan Ice hanya bisa berharap pada Tuhan jika kesempatan itu akan datang menghampirinya. Cukup sekali juga tak apa. Asal ia bisa mencicipinya.
Revisi tanggal 12 juni 2024

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ice
FanfictionHidup Ice terlalu rumit, berputar-putar dan menyedihkan. Banyak kejadian dan peristiwa yang bahkan dirinya sendiri tak memahami hal tersebut. Banyak hal yang membuatnya merasa tak percaya diri, kelimpungan, tak tahu arah. Ketika seluruh prestasi da...