2. Hari Keberangkatan

17 7 0
                                    

Dua hari kemudian, tibalah hari keberangkatan. Semalaman Cahaya dan Bintang tidak berani tidur. Keduanya berbaring berdesakan dalam satu ranjang, berusaha terjaga sekuat tenaga supaya bisa merasakan keberadaan satu sama lain lebih lama.

Begitu fajar menyingsing, Bunda Sarinah datang membawakan Bintang pakaian baru, sehelai gaun selutut berwarna kuning pastel dengan bagian rok berpotongan A-line. Rambut keritingnya disisir rapi, lalu sehelai bandana berwarna senada dipasangkan ke atasnya. Barang-barang pribadinya, yang tidak seberapa banyak, sudah disimpan rapi dalam sebuah travel bag hitam polos.

“Wah, kamu cantik banget! Serius! Mirip putri!” seru Cahaya takjub. Begitu Bintang muncul di aula usai berganti baju dan berdandan, ia langsung memeluk gadis itu erat-erat. “Ah, aku tidak menyangka hari ini ternyata bakal datang.”

“Aku juga, Ya.” Bintang tersenyum lebar. “Aku tadi tanya pada Bunda Sarinah soal siapa yang jadi orang tua angkatku. Bunda tidak bicara banyak. Biar kejutan, kata beliau. Aku cuma diberitahu kalau orang yang memilihku sangat kaya, dan dia punya anak perempuan seumuranku. Semoga saja anak itu orangnya baik, jadi kami bisa berteman.”

“Aku berharap yang terbaik buat kamu, Tang. Kamu orangnya pintar dan ceria. Aku yakin keluarga barumu pasti bakalan sayang banget sama kamu.” Cahaya berusaha tersenyum, meski ia tahu ini mungkin adalah hari terakhirnya melihat Bintang. Ia tidak pernah mendengar kabar murid-murid yang terlebih dahulu diadopsi, maupun yang telah lulus dari sekolah. Tidak ada seorang pun yang pernah mengirim surat, apalagi datang berkunjung.

Sepertinya mereka semua lupa pada tempat ini, batin Cahaya sedih. Acara pelepasan dan perpisahan sudah dimulai, tetapi ia sama sekali tak dapat berkonsentrasi pada pidato sang kepala sekolah. Benaknya membayangkan, akankah ia bisa bertemu lagi dengan Bintang kelak setelah ia dewasa dan keluar dari Sekolah Kehidupan? Terlebih lagi, apakah Bintang pun akan lupa padanya nanti, setelah memperoleh keluarga dan teman-teman baru? Akankah lima belas tahun persahabatan mereka lenyap begitu saja?

Sesaat gadis itu berpikir keras. Sekonyong-konyong ia tersentak, lalu berlari ke dalam kamar. Ia bongkar laci berisi barang-barang hasil kerajinannya dari kelas prakarya. Kurang lebih lima menit kemudian, ia kembali ke aula. Ia muncul tepat ketika para guru dan pengurus asrama menggiring anak-anak yang teradopsi ke tempat penjemputan.

“Bintang! Tunggu!” Cahaya berlari secepat yang ia bisa. “Ini, aku punya kenang-kenangan buat kamu!”
Langkah Bintang berhenti di depan patung dada para pendiri sekolah. Kini mereka berada di lobi depan, sebuah tempat yang biasanya tertutup bagi para murid. Para guru menyuruhnya bergegas, tetapi gadis itu bergeming. Ia berbalik menatap sang sahabat, yang sedang berpegangan ke patung kepala sekolah pertama sambil mengatur napas.

“Bawa ini, Tang. Memang jelek, tapi aku harap kamu suka. Maaf, cuma ini yang aku punya.” Di sela-sela napasnya yang terengah-engah, Cahaya mengulurkan sebuah benda kecil berbungkus saputangan. “Biarpun kita nanti sudah tidak bertemu lagi, jangan pernah lupakan aku, ya! Awas kalau kamu sampai lupa!”

“Apa ini?” Perlahan, Bintang membuka lipatan saputangan itu. Di dalamnya, nampaklah sebuah cincin dari kawat perak. Jalinan kawat yang rumit mengikat sebuah manik kristal bening berbentuk bintang. Di hadapannya, Cahaya mengeluarkan cincin serupa dari saku seragam. Hanya saja, cincin di tangan Cahaya memiliki manik kristal berbentuk bulan sabit.

“Ah, aku baru ingat, rencananya cincin ini mau kuhadiahkan untuk ulang tahunmu yang keenam belas, tapi karena kita sudah tidak bersama lagi, kuhadiahkan saja sekarang.” Cahaya tertawa kecil. “Lihat, aku juga punya cincin yang sama! Hehe, sekarang kita bisa kembaran!”

“Serius kamu buat ini sendiri? Kelihatannya lebih bagus daripada cincin di majalah!” Seketika, mata bulat Bintang berbinar-binar. Ia langsung menghambur memeluk si gadis berkepang dua, hingga gadis itu megap-megap mencari udara. “Terima kasih banyak, Cahaya!”

“Bintang! Ayo cepat! Sudah ditunggu jemputan di luar!” Perintah Bunda Sarinah memecah kebahagiaan kedua gadis itu. Wanita paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu menatap tidak sabaran. Baru mereka sadari bahwa lobi depan sudah berangsur sepi. Anak-anak lain yang teradopsi sudah terlebih dahulu pergi.

Di depan teras sekolah, sebuah mobil sedan Mercedes hitam terparkir. Cahaya tahu karena pernah melihat simbol lingkaran dan bintang bersudut tiga mobil itu dalam salah satu majalah di perpustakaan. Sopirnya berseragam safari hitam. Badannya kekar, rambutnya cepak seperti tentara. Kacamata hitam menutupi matanya. Tanpa bicara, pria itu mengangkut travel bag Bintang ke dalam bagasi. Sementara itu, si gadis jangkung hanya berdiri kebingungan di samping pintu mobil.

“Ah, Bunda lupa kamu belum pernah naik mobil sebelumnya. Begini cara membuka pintunya, Tang.” Dengan lembut, Bunda Sarinah membukakan pintu belakang. Aroma kopi susu langsung menguar. Hati-hati Bintang duduk di dalam. Tatapan matanya penuh ketakutan, sekaligus kekaguman.

“Bunda, kalau aku lulus nanti, apakah aku juga akan naik mobil seperti ini?” tanya Cahaya penuh harap. “Mobilnya keren, Bunda, seperti yang dipakai bintang film!”

“Berdoalah supaya kamu dapat pekerjaan yang baik, Nak. Kalau kamu punya banyak uang, kamu pasti bisa punya mobil seperti ini. Lebih bagus, malah.” Bunda Sarinah mengelus kepala Cahaya penuh kasih sayang. Kemudian, ia kembali memperhatikan Bintang. Katanya, “Nah, Bintang, sekarang kamu pakai sabuk pengaman. Kamu lihat tali kain di samping jendela? Nah, tarik sampai menyilang di badanmu. Tidak usah takut, talinya tidak akan putus kalau kamu tarik keras-keras. Sudah? Sekarang, masukkan ujung logamnya ke kotak bertanda merah itu. Tekan terus, sampai berbunyi klik! Nah, anak pintar, Bunda bangga sama kamu.”

Bintang benar-benar kelihatan keren. Cahaya terpana. Di matanya, sosok Bintang tampak berubah menjadi lebih dewasa hanya dalam semalam. Gadis itu tampak anggun dan tenang, seperti tokoh gadis-gadis kaya dalam film. Model gaunnya tepat seperti model gaun yang Cahaya selalu dambakan. Saat mobil mulai berjalan, diam-diam Cahaya mulai meneteskan air mata. Ia yakin, siapa pun yang mengadopsi Bintang pasti memilih gadis itu karena mengetahui posisi Bintang sebagai murid teladan di kelas.

Mobil berjalan terus, melewati jalan berkelok-kelok yang membelah halaman depan sekolah. Tatkala mobil itu keluar dari gerbang, hal yang Cahaya lihat hanyalah setitik benda hitam yang melewati gerbang tinggi dari baja berukir. Ia tak melihat apa-apa di balik gerbang selain jalan raya yang menembus hutan. Ke mana ujung jalan itu, Cahaya tidak tahu. Ia bahkan tidak tahu di provinsi mana ia berada, walau guru geografi pernah mengajarkan bahwa Sekolah Kehidupan berada di pulau Jawa.

Dalam sekolah ini, budaya daerah tidak pernah diajarkan. Semua orang dibesarkan berbahasa Indonesia yang baik dan benar dan mempelajari lagu-lagu nasional. Bahkan film yang mereka tonton, serta buku dan majalah yang mereka baca, tidak pernah menampilkan bahasa atau budaya daerah yang eksplisit. Batiklah satu-satunya identitas material yang diperkenalkan pada mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Mereka bahkan tidak tahu bahwa motif batik berbeda-beda tergantung asal daerah. Pengetahuan itu terlalu tabu, dan dianggap dapat memecah belah persatuan mereka.

Di sini, semua adalah satu, dan satu adalah semua.

[To be continued]

MaliciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang