12. Bara dalam Kelam

15 5 2
                                    

“Hei, sudah! Aku tidak bisa bernapas, nih!” Dengan mantap tetapi lembut, Gerhana melepaskan pelukan Cahaya. Gadis itu berkaca-kaca. Kepanganya berantakan. Tali gaun rumah sakitnya sudah longgar, menjadikan gaun berwarna hijau itu menggantung kusut di bahunya yang kurus. Penampilan Gerhana lebih berantakan lagi. Kemeja dan celananya kusut, kantong matanya tebal seperti tidak tidur berhari-hari, tangannya menggenggam tongkat besi panjang yang ia ambil entah dari mana.

“Habis, kamu menghilang, sih! Satu sekolah heboh, tahu! Oh ya, jangan kira aku tidak tahu kalau kamu cerita macam-macam ke Kak Burhan. Malu aku jadinya!” Kata-kata langsung meluncur dari bibir Cahaya. “Sedang apa kamu? Jangan bilang kalau kamu mencoba kabur ke dunia luar sendirian!”

“Bukan! Ayah Jatmiko yang membawaku ke sini! Tidak kusangka lelaki tua bangka itu ternyata kuat juga. Tapi, aku berhasil melarikan diri, lalu bersembunyi di tempat-tempat yang tidak tersorot kamera. Biarpun banyak kamera di mana-mana, tetapi sebenarnya jangkauan mereka terbatas. Asalkan pintar mencari celah, kamu bisa bergerak tanpa ketahuan,” jelas Gerhana, singkat dan padat. “Jujur, aku tahu kamu memang nekat, tetapi aku tidak menyangka kamu akan senekat ini.”

“Karena aku takut kehilanganmu, tahu! Kukira kamu juga sudah dibunuh!” teriak Cahaya. Ia nyaris menangis karena bahagia. Namun, ia sadar bahwa reuni harus menunggu. Mereka belum aman. Begitu pintu lift terbuka di lantai empat, para petugas keamanan sudah menunggu. Secepat kilat, Gerhana lari dan menukas pukulan para petugas dengan tongkatnya. Cahaya, yang sudah telanjur panik, malah bertindak lebih brutal. Gadis itu mencakar dan menggigit seperti binatang buas, membuat salah satu petugas berteriak-teriak karena wajah petugas itu kena cakar sampai berdarah, lalu lari tunggang langgang menyusul Gerhana.

“Sekarang ke mana?” teriak Cahaya panik. Di depan mereka, terdapat sebuah plang penunjuk arah. Kiri ke tangga darurat, lurus ke ruang imunoterapi, kanan ke bangsal rawat inap VVIP.

“Ke tangga! Kita pasti mati kalau keluar dari lantai ini, tetapi kita punya kesempatan di bawah sana!” seru Gerhana.

Cahaya mengangguk. Kedua remaja itu melesat ke tangga darurat. Mereka berlarian sampai ke lantai dasar. Paru-paru Cahaya bagai hendak meledak, tetapi kakinya tak mau berhenti. Pandangannya terfokus pada punggung Gerhana. Mereka terus berbelok secara acak, mengubah arah setiap kali berpapasan dengan perawat atau penjaga yang menghadang, mendobrak pintu bertuliskan “Khusus Petugas”, hingga mereka sampai dalam sebuah koridor penuh pintu berjajar.

“Lihat itu!” Cahaya menunjuk. Salah satu pintu sedikit terbuka. Tanpa membuang waktu, kedua remaja itu menyelinap masuk. Untung, kunci ruangan tergantung di lubang kunci bagian dalam. Segera Gerhana membanting pintu dan menguncinya. Seketika, keheningan menyelimuti mereka. Cahaya meraba-raba dinding hingga menemukan tombol lampu.

Kedua remaja itu memeriksa ruangan. Mereka berada dalam sebuah laboratorium. Botol-botol bahan kimia dengan tanda mudah terbakar berjajar dalam lemari. Alat-alat asing berjajar di atas meja. Cahaya dan Gerhana tak sempat mempelajari fungsi mereka. Di salah satu sudut, terdapat sebuah pintu besar mirip kulkas. Mengira isinya makanan, Gerhana membukanya, tetapi tidak ada apa-apa di dalam selain cawan petri dan tabung-tabung ulir berisi biakan bakteri yang beraroma apak.

Kecewa, pemuda itu beralih ke tempat lain. Tiba-tiba, matanya melihat logam berbentuk bujur sangkar dalam dinding yang ditutupi oleh lemari berkas. Segera ia menggeser lemari itu. Benar dugaannya, lemari itu menyembunyikan sebuah jendela. Meski kacanya terpasang mati, jendela itu tanpa teralis.

Sementara itu, Cahaya memeriksa meja laboratorium. Ia menemukan sebuah korek api tergeletak di rak. Minyaknya masih ada separuh. Sebuah selang panjang nan tebal terpasang di permukaan meja laboratorium yang berlapis keramik. Selang-selang itu bercabang menjadi selang-selang yang lebih kecil, berujung ke alat-alat serupa pipa dari logam. Sebuah keran terpasang di bagian bawah masing-masing pipa. Didorong rasa penasaran, Cahaya membuka salah satu keran.

Isinya gas, seperti Bunsen gas di laboratorium biologi, batin Cahaya begitu menghirup baunya. Segera gadis itu membuka keran-keran gas. Sebentar saja, bau khas elpiji memenuhi ruangan. Sebagian menelusup keluar melalui celah di pintu dan ventilasi.

“Lihat! Ada jendela! Kita bisa keluar— Hei, sedang apa kamu?” seru Gerhana kaget. “Hentikan, Cahaya! Itu berbahaya!”

“Kenapa? Kita bisa kabur dengan ini,” sahut Cahaya. Gadis itu mengayun-ayunkan pemantik api. Matanya berkilat-kilat oleh air mata. “Kita bisa membuat tempat ini menjadi abu, seperti yang telah mereka lakukan pada Bintang. Kita bisa menghancurkan Sekolah Kehidupan. Kamu juga ingin membalas dendam, kan?”

“Benar, tapi ….” Ucapan Gerhana dihentikan oleh gedoran di pintu. Pemuda itu segera mengangkat pipa besi yang sejak tadi dibawanya, lalu menghantamkan benda itu ke kaca jendela. Getaran kaca segera mendorongnya ke belakang. Sudah ia duga kaca setebal tiga sentimeter itu pasti tidak mudah dipecahkan, tetapi ia tidak mau menyerah. Keringat membasahi seluruh tubuhnya.

Di sisi lain, Cahaya termenung sembari memain-mainkan pemantik api di tangannya. Di belakangnya, Gerhana masih berusaha membobol jendela. Gadis itu belum pernah membunuh orang sebelumnya. Bahkan membunuh hewan pun nyaris tak pernah. Namun, malam itu, api memenuhi benaknya. Jantungnya berdentam-dentam karena kobaran semangat, tak dapat ditenangkan oleh apa pun juga.

Ia ingin kehancuran. Ia ingin melepaskan neraka dunia bagi orang-orang yang telah menipunya seumur hidupnya, yang telah mengurungnya dalam kenyataan palsu.

“Kamu yakin kita akan melakukan ini?” tanya Gerhana. “Kita mungkin akan membunuh banyak orang, termasuk orang-orang tidak bersalah.”

“Tidak ada pilihan lain. Mereka tidak akan rela kehilangan kita.” Cahaya menggeleng pelan. Pandangannya kosong. Pemantik api tergenggam erat dalam tangannya.

Gas terus mendesis keluar dari keran yang terbuka. Baunya memenuhi ruangan. Gerhana terus menghantamkan tongkat besi ke kaca jendela. Begitu jendela itu pecah berkeping-keping, segera ia merengkuh Cahaya dan melompat keluar, tepat ketika para pengejar berhasil membobol pintu. Pemantik yang menyala melayang masuk ke ruangan, seketika menciptakan ledakan keras. Api menari-nari bak bidadari di langit malam.

Sungguh indah. Cahaya terpana. Jilatan warna oranye dan merah silih berganti terpantul di bola matanya. Api terus membesar, melalap habis bangunan rumah sakit, lalu menjalar ke sekolah. Teriak dan jerit sahut-menyahut, terdengar bagai musik yang merdu di telinganya. Ia tahu teman-temannya sedang terbakar perlahan-lahan, tetapi semua terasa layaknya mimpi buruk yang kabur dan khayal. Tak jauh darinya, Gerhana menemukan salah satu sepeda petugas keamanan rumah sakit. Sudah tua, tetapi masih berfungsi.

“Ayo pergi.” Gerhana mengulurkan tangan. Tanpa pikir panjang, Cahaya menggenggam erat tangan pemuda itu. Berdua mereka naik ke atas sepeda. Di depan mereka, jalanan panjang nan berliku membentang menuju dunia luar.

“Mau ke mana kita?” tanya Cahaya waktu Gerhana mulai mengayuh.

“Tidak tahu, tetapi kita akan pergi jauh dari sini.” Gerhana tersenyum. “Kita sudah bebas dari neraka. Kita bebas, sebebas burung-burung di udara.”

[To be Continued]

MaliciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang