❄️03❄️

727 105 15
                                    

---❄️ HAPPY READING ❄️---

Arme menatap rumit ke arah mangkuk kayu kecil sup yang ada di hadapannya. Sup itu hijau, dingin, juga bau. Tatapannya beralih ke sepotong roti yang telah berjamur. Tidak pantas di sebut sebagai makanan menurutnya. Apalagi di konsumsi oleh anak-anak, akan membuat penyakit. Miris.

'Uh....' Dengan ogah-ogahan Arme menyantap roti tersebut. Rasanya sungguh tak bisa di deskripsikan, apalagi rasa dari sup tadi.

Netra birunya melirik ke kanan kiri. Melirik anak-anak yang duduk berjejer di atas kursi sampingnya. Mereka semua terlihat terpaksa, wajahnya murung. Pantas saja, saat pemilik panti ada, semua anak-anak makan makanan yang layak. Tidak seperti ini, di sebut makanan saja tidak pantas.

[Tuan]

'Hm?'

Arme menjawab dari dalam hati, rotinya tinggal separuh ia makan. Supnya masih sedikit ia makan.

[Keesokan harinya, saya akan menghilang]

Arme tidak terkejut, karena sistem telah mengatakannya sedari ia bangun di dunia ini. Tapi dirinya agak sedih, tidak ada yang bisa dirinya ajak bicara lagi.

[Karena tugas saya memperkenalkan dunia ini telah selesai]

'Baiklah. Tak apa.'

Tak apa, dirinya sudah dewasa, dirinya adalah Areyan pria berusia dua puluh enam tahun. Areyan sudah tidak apa-apa dengan yang namanya perpisahan setelah pertemuan, walaupun pertemuan yang singkat.

Sudah dua hari berlalu. Dua hari juga Areyan menjalani kehidupan sebagai seorang anak kecil. Sudah dua hari juga Areyan hidup di dunia fantasi. Sudah dua hari juga Areyan memikirkan berbagai cara untuk bertahan hidup.

Saat siang ia patuh untuk bekerja, saat malam ia menyelinap ke luar kamar. Menyerok berbagai informasi. Walau yang di dapat hanya sedikit. Tapi, informasi tetaplah informasi.

Panti asuhan ini berada di Kota yang bernama Girvelle. Kota kecil yang jauh dari ibukota, masih satu wilayah. Panti ini jauh dari kota utama, berada dekat dengan desa. Di tambah lagi pemimpin kota ini sepertinya adalah pengkorupsi, makanya kemiskinan masih berakar di sini. Itu terlihat dari rumah-rumah desa dan kabar yang beredar dari kota utama.

"Huh!"

Arme menoleh pada seorang anak perempuan di sampingnya. Anak perempuan itu terlihat tegang oleh sesuatu, kedua telapak tangannya yang penuh dengan noda tanah terkepal di hadapannya.

"Ada apa denganmu?" Arme bertanya karena penasaran. Pagi ini terasa berbeda, apalagi saat di ruang cuci. Semua anak terlihat lebih tegang dari biasanya.

"Aku merasa gugup," jawab anak perempuan itu. Ia sedikit menundukkan kepalanya untuk menatap anak laki-laki yang lebih muda darinya. Wajahnya cemong, mungkin karena tanah. Pantas saja. Jadwal kerja hari ini adalah mengurus rumput belakang panti.

Arme mengangguk mengerti, dirinya sudah tahu jika anak perempuan itu gugup. Mereka berdua jongkok, saling menatap satu sama lain. Terlihat lucu karena yang satu harus menunduk, dan yang satunya lagi harus mendongak.

"Gugup karena?" Arme memutus kontak manik. Ia mencabut lagi rumput di dekat kaki kirinya. Anak perempuan itu juga.

"Hari ini akan ada seseorang yang datang ke panti," jelasnya. Arme masih mendengarkan dengan tangan yang masih sibuk mencabut rumput yang tidak ingin berpisah dengan tanah.

"Sepertinya orang itu adalah pedagang." Tangan Arme terhenti, ia membeku. Anak-anak panti merasa tegang karena takut. Mereka takut jika salah satu dari mereka pasti akan di bawa dan di jual di perdagangan manusia.

"Aku takut, aku takut jika saja aku yang akan di bawa hari ini." Anak perempuan itu terlihat gemetar. Sorot kedua netranya memancarkan ketakutan. Anak perempuan itu adalah anak yang paling besar, ia berusia tiga belas tahun.

Umur yang masuk ke kriteria untuk di dagangkan di pelelangan.

"Semua sudah di bawa, hanya tinggal kita di sini. Semua telah mati, telah lama mati dari dulu." Anak perempuan itu menitikkan air mata, genggamnya pada rumput menguat seiring dengan sesak yang menyelimuti ulu hatinya.

"Kita harus bagaimana?"

Pecah sudah tangis anak perempuan itu. Tidak ada suara, hanya sesenggukan dan derai air mata. Bibirnya yang melengkung juga bergetar, sama getarnya dengan tubuhnya.

Arme menatap rumit. Hatinya ikut merasa sakit. Tangan kanannya terulur, ia usap punggung anak perempuan di sampingnya.

"Tak apa, kita pasti akan bebas nanti. Termasuk juga kamu." Dirinya tersenyum tipis. Kata bebas adalah kata merujuk pada kebebasan yang semua anak panti ini harapkan. Bebas dari penderitaan, kesakitan, juga sesak yang begitu mendalam.

"Kau benar, kita pasti akan bebas." Senyum pongah terlukis di air muka anak perempuan itu, ia mengusap kasar jejak air mata. Tiba-tiba ia bangkit, anak perempuan itu menatap langit biru yang senantiasa berdiri tegak di atas sana.

"Ya!"

Siang terik itu diisi oleh keteguhan kedua anak, diselingi harapan bebas dari rasa sakit.

✿✿✿Bersambung...

Sudah melalui tahap revisi.

Transmigrasi Arme Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang