P1

0 0 0
                                    

Andra memasuki kediaman ke dua orang tuanya dengan terpaksa. Tidak mungkin ia tidak merasa seperti ini setelah ibunya mengancam akan memberikan perusahaan milik keluarganya ke tangan orang lain yang ia tahu hanya sebagai penjual sembako di desa, padahal selama delapan tahun ia sudah mengabdi dan menjalankan perusahaan ini.

Andra kemudian duduk di sofa ruang keluarga sambil memainkan ponsel, lebih tepatnya ia memeriksa pekerjaannya. Tak lama, Mami dan Papi nya duduk di hadapannya dengan tatapan menahan kesal pada anak satu-satunya mereka. Andra pun menyimpan ponselnya di meja seraya menatap ke dua orang tuanya bergantian.

Andra berdeham untuk menetralkan suasana. "Jadi kenapa Mami mau kasih perusahaan ke orang lain?" Tanya Andra tanpa basa-basi.

"Ketemu orang tua bukannya tanya kabar, malah ingatnya perusahaan terus. Padahal perusahaan itu masih punya Mami." Jawab Mami.

Andra menghela nafas pelan. Ia paham kenapa orang tuanya kesal dengannya, tentu saja karena ia tidak bertemu orang tuanya selama 2 bulan. Bagaimana orang tuanya tidak kesal jika anaknya itu sangat mengutamakan pekerjaan dibanding hal lain, terutama keluarga.

"Papi juga setuju sama pendapat Mami yang mau kasih perusahaan ke mereka?" Tanya Andra menatap Papi nya.

Papi kemudian menatap Andra dan Mami bergantian. "Papi ngikut Mami, kan perusahaan itu punya Mami. Lagian mereka juga layak dapetin perusahaan itu."

Andra melotot mendengar penjelasan Papi nya. "Papi serius bilang kalau mereka layak dapetin perusahaan kita?"

"Kamu engga tahu seberapa besar mereka bantu kita, apalagi kamu." Jelas Papi yang tidak Andra mengerti.

Andra menggeleng keras, ia tidak mengerti maksud Papi nya.

"Jelasin ke Andra, apa yang bikin mereka layak dapetin perusahaan dibanding Andra yang udah delapan tahun pegang perusahaan sampe sebesar ini?" Tuntut Andra menatap Mami dan Papi nya bergantian.

Mami dan Papi saling tatap. Kemudian Mami menatap Andra serius.

"Mami engga bisa cerita sekarang, kalau kamu mau perusahaan kamu itu jatuh di tangan kamu, kamu harus nikah sama Sabil, anak mereka."

Andra merasa tersentak, Mami sangat enteng menyuruhnya menikah. Ia tidak berkeinginan menikah dengan siapa pun, apalagi dengan wanita yang akan menjadi rival nya dalam mendapatkan perusahaan. Bisa-bisa ia dan wanita itu betulan menjadi musuh untuk merebut perusahaannya.

"Mi, Pi, aku engga punya keinginan menikah dengan siapa pun, aku yakin ko kalian gak lupa dengan kenginan aku itu. Itu juga jadi alasan aku kenapa aku bikin panti jompo." Jelas Andra sambil menahan amarahnya.

"Kami punya hutang sama mereka-"

"Berapa? Biar Andra bayar." Andra dengan berani memotong Mami yang akan menjelaskan hutang apa yang dimaksud.

"Berani kamu nyela Mami yang lagi ngomong sama kamu?" Tanya Papi mentap Andra dangan tajam.

Andra kemudian diam.

"Biar Mami kasih penjelasan dulu hutang apa yang Mami maksud." Mami diam sejenak untuk melihat reaksi Andra, namun Andra hanya menatap lantai sambil mengontrol emosinya yang mungkin jika sekali dipancing akan langsung meledak.

"Kamu terlahir buta." Andra baru akan menyela lagi. Namun Papi berdeham tegas yang membuat Andra terdiam kembali.

"Mata kamu, milik Nira, anak pertama mereka yang sekarang harusnya se usia kamu. Nira juga yang selalu temenin kamu dari kecil, bahkan disaat dia meninggal pun, kamu yang lagi sama dia. Kalian kecelakaan hebat di usia sepuluh tahun yang bikin kamu lupa ingatan dan Nira yang tidak bisa disalamatkan."

Hati Andra mencelos merasakan sakit, apa jangan-jangan anak perempuan kecil yang pernah datangan ke mimpinya itu Nira?

"Kamu udah tebak akhirnya seperti apa kan?" Tanya Mami pada Andra.

Andra diam.

"Orang tuanya Nira kasih mata Nira ke kamu biar mereka bisa liat matanya Nira yang sekarang ada di kamu." Jelas Papi.

"Tanpa imbalan apa pun. Bahkan sekarang, kalau mereka kita kasih sesuatu dari yang murah sampai yang mahal. Mereka selalu tolak, mereka bahkan bilang terima kasih sama kita karena udah jaga mata Nira dengan baik. Makanya Mami selalu bilang untuk jaga mata kamu, entah itu pandangan sama perempuan, sifat orang, dan lain sebagainya." Jelas Papi

Mami kemudian terisak, ia mengingat bagaimana ia merasa bahagia sekaligus merasa sedih pada saat itu. Ke dua orang tua Nira yang bersedih karena anaknya yang tidak bisa diselamatkan, Andra yang juga lupa ingatan. Namun dengan baiknya orang tua Nira memutuskan untuk memberikan mata Nira. Biar bagaimana pun, Andra juga selalu menemani Nira. Andra yang ditindas teman-teman sekolanya selalu Nira balas, Nira selalu melindungi Andra sebisanya.

Papi hanya bisa memeluk dan mengusap punggung Mami. Sedangkan Andra meratapi dirinya dalam diam. Ia tidak bisa berpikir, ia juga merasa bersalah bagaimana bisa dia tidak bisa mengingat Nira yang begitu baik dan ia menjadi anak buta yang selalu menyusahkannya.

"Pulang ke rumah kamu aja, Papi tahu kamu butuh waktu buat pikirkan ini semua." Pinta Papi.

Andra yang tersadar, ia mengambil ponselnya lalu berdiri dan pergi meninggalkan rumah.

Ia kemudian mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak mengerti kenapa ia harus mengalami hal ini. Ia tidak pulang ke rumahnya, ia malah pergi ke tempat yang ia pun tidak tahu dimana ia berada. Ia hanya terdiam sambil menatap ke depan yang ia tahu hanya ada danau besar.

Tidak peduli dengan apa pun, ia hanya ingin menjernihkan pikirannya. Kemudian ia mulai terisak saat ia melihat pesan yang Mami kirimkan padanya, pesan nya hanya satu foto dirinya dan Nira saat kecil, tidak lama sebelum mereka kecelakaan.

Foto itu adalah anak kecil yang beberapa kalidatang ke mimpinya sambil tersenyum. Gaun putih dan wajah pucat, tapi tidak menghilangkan kecantikannya. Ya, di foto itu juga Nira memakai gaun putih yang sama dengan yang ia lihat di mimpi.

"Nir, lo pengen gue nikah sama adek lo?"

From Eyes to HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang