[4]

689 79 11
                                    

"Ambil ini dan tutup mulut kalian."

Jeno menyodorkan dua amplop pada satpam yang berjaga di gerbang rumahnya, setidaknya ia sampai di rumah sebelum matahari terbit, sebab orang-orang di sini sangat tepat waktu, itu membuat Jeno sedikit kesal. Keluarga ini begitu kaku sampai-sampai ia tidak merasakan kelembutan seperti yang biasa ia baca di buku fiksi.

Pria itu berlari ke pintu utama, perlahan membukanya dan segera mengunci kembali pintu tersebut, kemudian berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Jeno lupa membawa syal rajut yang ia bawa ke penthouse sehingga menampakkan beberapa merah samar di lehernya.

Dasar Jaemin, padahal Jeno sudah bilang untuk jangan sampai meninggalkan tanda, tapi tetap saja ada jejaknya. Tidak apa-apa jika di dada dan perut, tapi jika di leher akan sangat kentara.

Rumah masih sangat hening dan lampu-lampu masih mati, Jeno berteriak senang dalam hati, ini pertama kalinya ia mengendap-endap seperti pencuri di rumahnya sendiri hanya demi menemui Jaemin di penthouse. Ia anggap ini adalah pengalaman pertama yang menyenangkan sekaligus menegangkan.

Namun ketika ia berhasil masuk ke kamar, jantungnya berhenti sepersekian detik melihat Taeyong duduk bermain ponsel di ranjangnya, pria itu kini mendongak menatap Jeno sembari tersenyum tipis. Sementara Jeno tidak bergerak, yang ia lakukan hanya menelan ludah dan bergeming, tidak ada nyali untuk maju walau selangkah.

Lalu terdengar bunyi alarm dari ponselnya dan juga miik Taeyong, Jeno tersadar dan segera mematikannya, begitupun dengan yang lebih tua. "Tepat waktu, kau sampai sebelum mereka bangun."

"A-apa yang kau lakukan di kamarku?"

Taeyong tidak menjawab pertanyaan yang diajukan dengan penuh kegugupan itu, ia malah beranjak mendekat pada Jeno, kemudian menuntun Sang adik untuk duduk di tepi ranjang, sementara dirinya berjongkok di hadapan yang lebih muda.

Dahi Jeno berkerut tak senang, entah kesal sebab Taeyong tidak menjawab pertanyaan, atau justru karena ia takut diberi pertanyaan menyudutkan?

Masih hening, Taeyong diam memperhatikan penampilan Jeno, dan saat matanya menangkap bibir bengkak serta tanda kemerahan semu di leher Jeno, pria itu terkekeh kecil. Ini untuk pertama kalinya ia melihat Jeno sebagai orang dewasa.

"Apa kau bersenang-senang? Apa Jaemin memperlakukan-mu dengan baik?"

"Kau bicara apa—"

"Aku sudah tahu, Jeno. Tepat setelah kau keluar ruangan saat rapat di restoran ayam, Mark akan memulai meeting-nya, jadi aku meminta waktu sebentar untuk memberitahumu. Maaf mengatakan ini, tapi aku mendengar semuanya, dan aku segera kembali saat kau memintanya untuk mencium-mu—"

Jeno membungkam bibir Taeyong dengan tangannya, merasa malu dan tersipu karena memberikan kesan bahwa ia terang-terangan meminta ciuman pada Jaemin di depan Taeyong. "Kurasa itu cukup..."

Ia bahkan tidak berani lagi menatap Sang kakak, Jeno juga diam saja ketika tangannya yang membungkam bibir Taeyong itu digenggam. Oh tidak, semerah apa wajahnya sekarang? Dan mendengar tawa kecil Taeyong, apakah pria itu sedang mengejeknya?!

"Sayang, aku ingin bertanya, kalau kau diberi kesempatan untuk kembali menjalin hubungan yang bebas, kau ingin melakukannya dengan Jaemin... atau Chenle?"

Jeno kini menatap Taeyong tak menyangka, bulu matanya mengepak lemah mendengar nama yang tidak pernah ingin ia sebut selama ini. Entah perasaan seperti apa yang datang, tapi dadanya terasa sesak dan sakit.

Jeno menarik tangannya dengan kasar, ia beranjak dan melepas jas serta kemejanya, menampakkan tubuh bagian atas yang dipenuhi tanda buatan Jaemin dengan sengaja dan penuh kesadaran. Beginilah caranya bersikap; menjawab tanpa benar-benar berniat menjawab.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SALVATORE || JAEMJENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang