CHAPTER FOUR 🫂

20 2 0
                                    

Air mata semesta mulai turun perlahan demi perlahan sampai pada akhirnya turun semakin deras, membasahkan siapapun makhluk hidup yang berjalan atau hanya sekedar lewat saja di bawahnya, udara yang tercium begitu segar juga sejuk tetapi tidak dengan rasa di sekujur tubuh, angin melemparkan lemparan kesana-kemari pada pohon-pohon tinggi menjadikan pohon itu seperti menari-nari di saat hujan-hujan.

Malam yang di mana banyak orang menyempatkan waktu untuk bersantai dengan keluarga sembari memakan mie rebus atau setidaknya meminum teh hangat, tetapi untuk malam ini tidak untuk Jenan.

Beberapa saat lalu, ia memarkirkan motor ninjanya di suatu tempat, dengan baju yang sudah basah kuyup. Jenan melangkahkan kakinya menuju suatu tempat untuk menceritakan semua hal tentang hari ini.

Kakinya sudah menyentuh tanah tempat itu yang basah akibat hujan, berarti beberapa langkah lagi ia akan segera dekat dengan malaikat yang tak bersayap, malaikat yang selalu ada di sisinya.

Pemuda itu sudah berada di samping kanan makam ibunya, nama Rembulan Permata Sari tertulis di nisan ibunya. Tangannya terangkat, mengusap batu nisan ibunya dengan tulus hati sembari tersenyum simpul, ada sedikit kebahagiaan yang menerangi hatinya di tengah-tengah hujan. Menaburkan beberapa bunga yang ia petik saat tadi berada di jalanan, ditaburkannya dari ujung sampai ke ujung.

Jenan kembali berduduk di atas tanah tanpa alas sama sekali, menatap batu nisan milik ibunya dengan mata sayu yang menyedihkan. Belum mengatakan apapun, mulutnya bahkan seakan-akan membisu, hanya memandangi batu nisan ibunya dengan tatapan kosong, atensinya tidak beralih ke manapun.

Perlahan, air dari pelupuk mata Jenan turun, Jenan membiarkannya mengalir deras ditemani oleh air hujan yang juga masih membasahi sekujur tubuhnya. Pemuda itu yang tadi merasa kalau tubuhnya kedinginan, kini merasakan sedikit kehangatan di tubuhnya, hatinya, maupun jiwanya setelah bertemu dengan ibunya.

"Bu.." akhirnya Jenan bersuara walau hanya berupa lirihan, pandangannya tak kunjung lepas dari nisan ibunya.

"Bu, Ayah akan memiliki istri baru dan menggantikan sosok mu, Bu. Jenan masih belum bisa menerimanya, ada puluhan bahkan ribuan kata yang ingin Jenan lontarkan kepada Ayah tetapi tidak akan bisa, Bu." Curahan hati Jenan dikeluarkan sekarang, kepalanya menunduk, memainkan tanah ibunya yang masih terbasahi oleh hujan yang tak kunjung berhenti.

"Ibu tau? Lina tadi membuatkan Jenan steak, Bu. Ibu tau, kan kalau Jenan sangat menyukai steak sampai sekarang? Tetapi rasanya, selera, dan nafsu makan Jenan terbuang begitu saja, Bu. Jenan sungguh rindu masakan ibu"

Jenan kembali menceritakan suara hatinya sedikit demi sedikit disana, meluangkan waktu malam untuk mengunjungi makam ibunya daripada harus melihat Bapak dan Ibu barunya beromantis dan harmonis di depannya.

Sudah di pikirkan sedari tadi, apakah Jenan dapat menerima Ibu Lina atau tidak? Pasalnya, dirinya masih ingin sekali Bapak serta ibu kandungnya berkumpul kembali di ruang tengah, bertukar cerita, bercanda tawa, dan meminum teh hangat bersama-sama.

Perasaan campur aduk kalau diingat akan kenangan itu.

🫂🫂🫂

Malam yang luar biasa kacaunya, yang luar biasa derasan hujan, menjadikan helm yang dipakai Jenan semakin lama tampak blur.

Tetapi, Jenan tak pantang menyerah, ia juga ingin pulang ke rumah untuk istirahat walau sejenak setelah seharian dipenuhi dengan kekacauan dalam keluarga, dirinya, maupun jiwanya.

Motornya melaju sedikit kencang, pikiran yang berantakan kesana-kemari, juga kaca helm yang tak terlihat jelas. Sekacau itu hari ini untuk seorang remaja seperti Jenan?

PERSAHABATAN 5 SEKAWAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang