Bagi Kiran, hal apapun mengenai ibunya adalah utama. Lebih dari apapun, tak ada yang bisa membuat Kiran tetap bertahan dari rumitnya hidup jika bukan karena sang ibu.
Dia tak tahu, apakah hidupnya memang memliki garis takdir sesial ini, atau Tuhan salah menganggapnya sebagai manusia yang kuat?
Kehilangan suami sehari setelah mereka menikah, kemudian ibunya yang memiliki gangguan jiwa, bagaimana Tuhan menganggapnya mampu menjalani semua ini?
Bohong jika ia berucap tak sedih, atau bahkan menangis. Ia ingin, ingin sekali mengeluarkan semua rasa sesak yang membelenggu hati. Tapi, Kiran bisa apa? Ibunya lebih membutuhkan kewarasannya agar bisa tetap mengurus sang ibu.
Seperti kali ini, Kiran sengaja mengambil izin pulang lebih cepat karena suster yang merawat ibunya menelepon dari rumah bahwa Mirna--ibunya tengah mengamuk.
Kiran berhenti melangkah tepat di depan rumahnya. Menarik napas dalam-dalam, Kiran berusaha memasang senyum selebar mungkin untuk bertemu sang ibu.
"Assalamualaikum.. Bu.. aku pulang.." Ujar Kiran menggelegar seisi ruangan yang tak lagi penuh.
Dhiya--Suster yang merawat ibunya menghampirinya dari arah kamar Mirna.
"Waalaikumsalam. Aduh Ba Kiran.. maaf banget jadi harus pulang cepat gini."
Kiran memasang senyum lemah, ini semua bukan salah Dhiya. Ia sudah bersyukur Dhiya mampu bertahan selama 5 bulan sejauh ini. Dibandingkan yang lain, Dhiya lah suster yang terlama.
"Nggak papa, Sus. Ibu kenapa lagi hari ini?"
"Ibu nggak mau makan dari pagi, Ba. Ibu teriak-teriak terus hancurin barang-barang sambil memanggil-manggil nama bapak." Jelas Dhiya.
"Aku sudah coba untuk menenangkan Ibu, Ba. Tapi hari ini, ibu nggak mau di dekati selain sama Ba Kiran."
Dari wajahnya, Kirant tahu bahwa Dhiya mungkin cukup terkejut dengan aksi ibunya hari ini. Ya, di beberapa waktu Mirna memang tidak bisa dikendalikan, dan terkadang pun Kiran kewalahan menghadapinya.
"Yaudah kalau gitu, aku beberes sebentar abis itu aku ke kamar ibu. Tolong temani ibu sebentar ya, Sus."
Dhiya mengangguk, "Ba Kiran lagi mau makan apa? Biar nanti aku buatin." Tanya Dhiya kemudian.
Kiran berhenti melangkah. Rasa pilu meraba jiwa ketika mendapat perhatian itu dari Dhiya. Kapan terakhir ia mendapat perhatian dari sang ibu?
Kiran menatap Dhiya dengan menahan sesak didada, "Nanti saja, Sus." Balasnya kemudian.
Seperginya Kiran, Dhiya masih menatap punggung Kiran yang menjauh.
Melihat lesunya pundak Kiran, Dhiya berpikir sebanyak apa beban yang ditanggung wanita itu. Apalagi jika melihat sekeliling rumah yang berantakan akibat ulah sang ibu. Ia bahkan tak sempat membereskan kekacauan ini, karena Mirna mengamuk semakin menjadi-jadi.
Dhiya tahu Kiran teramat lelah. Tapi Dhiya tak pernah mendengar satu keluhan pun keluar dari mulut Kiran selama ia bekerja disini.
Dalam diamnya, Dhiya hanya berharap semoga Tuhan selalu menguatkan majikannya itu.
🌿🌿🌿
Selesai bebenah diri, Kiran segera ke kamar ibunya. Ia melangkah masuk dengan menghela napas pelan.
Kali ini, lampu tidur yang ibunya hancurkan. Menambah barang rusak akibat dari ibunya yang mengamuk.
Kiran melangkah pelan, membuat Mirna yang tengah membelakanginya menatap ke arah Kiran yang berjongkok di depan serpihan lampu tidur yang hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Match!
ChickLitBagi Kiran menjalani hidup tidaklah mudah. Bahkan, jika saja ada ajang "Adu Nasib", Kiran yakin seribu persen bahwa dia akan menang. Bagaimana tidak? Diumur 24 tahun, seorang Kirana Dafhina sudah berstatus Janda Perawan dan mendedikasikan hidup un...