⛰️{Three}❄️

337 49 22
                                    

Gempa tersenyum sangat manis.

Saking manisnya, pelaku alasan mengapa dirinya begini sudah memutih duluan sementara satu penonton lagi hanya memutar bola mata seraya minum dari cangkir kopinya, tak mau tahu tentang apapun.

"Aku sudah menunggu dengan sabar loh."

Itu ada dua arti. Sabar menunggu jawaban Taufan sekarang, atau tentang bagaimana dia telah menunggu setelah sekian lama, dengan berbagai persiapan yang telah dia buat hanya untuk berakhir sia-sia.

Hancur sudah usaha Gempa untuk menemui sang adik langsung dengan segala hadiah yang dia bawa, saat tahu orangnya jatuh sakit.

Sakit, karena seseorang mengajak adiknya itu makan es krim dua porsi jumbo selepas bermain Ice skating, tak lupa malah hujan-hujanan saat pulang.

Oh lengkap sudah list kemarahan Gempa malam ini. Sebuah keajaiban bagi wilayah mansion untuk tidak menerima laporan gempa bumi dari BMKG.

"Ge-gemy dengerin abang dulu—"

"Diem, keluar sana." Gempa tidak ingin mendengar alasan apapun. Menunjuk ke arah pintu depan rumah, itu adalah tanda belas kasihan terakhir dari Gempa, "Sekarang."

Masa bodoh dimana kakak keduanya itu akan tidur malam ini. Mansion ini jelas bukan jawabannya.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Gempa pada satu-satunya kakak yang dia rasa masih agak waras, setelah menendang Taufan keluar.

Jelas siapa yang dimaksud, Halilintar melirik ke tangga menuju lantai dua, medan pelindung yang dia buat sudah dipenuhi oleh bunga es walau sangat tipis, "Parah. Ayah benar-benar tidak mengajari Paus kecil apapun."

"Lah, Kau belum melakukan nya?"

"Kekuatan kami terlalu jauh, Gempa. Jika itu aku, yang ada paus kecil malah tertekan. Kau dan Taufan saja baru bisa bertahan dua tahun yang lalu."

Gempa hanya bisa mengangguk mengerti. Walau tidak ingin mengakuinya, tapi Halilintar selalu akurat dalam menilai hal ini.

Jika dia dan Taufan saja tidak bisa, maka mustahil seseorang yang belum pernah berlatih bisa bertahan menghadapi Halilintar.

Namun rasanya ada yang aneh, mau seberapa amatir adiknya itu, untuk lepas kendali begini saat hanya demam biasa... Agak terlalu berlebihan bagi Gempa.

"Aku tahu Blizzard itu istimewa. Tapi memang biasanya separah ini?" Gempa meringis melihat bagaimana lapisan demi lapisan bunga es terus muncul hingga menyelimuti seluruh lantai dua.

Kalau bukan karena Halilintar, mungkin seisi rumah sudah menjadi kastil es dalam semalam.

Dan itu, bukan hal yang normal bahkan untuk mereka yang kekuatannya sangat besar. Mempengaruhi dunia materi bukan bagaimana itu bekerja.

Gempa tersentak kala sang kakak menambah kekuatannya sesaat, aroma musk menjadi lebih pekat di udara yang membuat nafasnya sedikit tercekat.

Manik merah Halilintar menyala terang, aura yang suram dikeluarkan sang kakak, tanda dia sedang menahan amarahnya.

"Ais bilang, Ayah memberinya banyak obat."

Manik emas Gempa membulat, Halilintar menunjukan sebuah kotak yang isinya adalah berbagai macam obat yang dia tidak kenali.

"Aku mengambilnya dari Paus kecil. Kau tahu ini mirip dengan apa?" Halilintar mengambil satu pil putih, "Virus perusak sel."





















Ini adalah sebuah sensasi yang akrab terasa, menusuk setiap sendi tubuhnya dengan beribu jarum dingin yang tajam, memastikan rasa ngilu tersampaikan pada tubuh yang tidak berdaya.

Froren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang