Zero.

454 46 14
                                    

Namanya adalah Ais Blizzard.

Sang pianis muda yang diundang menjadi bintang tamu di pesta malam ini.

Marga keluarganya tidak begitu dikenal dibandingkan dengan berpuluh-puluh nama keluarga lain yang hadir sebagai tamu di pesta ini, namun begitu jari jemarinya bermain di atas tuts-tuts piano dengan telaten, menciptakan harmoni nada-nada yang membentuk lantunan lagu klasik yang merdu mampu menggetarkan hati dan melenakan hati semua orang, tak akan ada yang mengajukan keberatan dihadapan sebuah bakat legenda.

Semua pandangan tertuju pada satu-satunya sosok yang tengah memainkan lagu pengiring pesta dansa di atas podium itu, bahkan mungkin menyita semua perhatian kepadanya seorang.

Tak bisa dipungkiri bahwa selain permainan piano nya yang bagaikan mantra sihir memabukkan hati, rupa sang pianis sendiri sudah bagai anugrah  surgawi yang patut dikagumi.

Manik biru laut yang sayu dihiasi bulu mata yang lentik hanya terfokus pada lembaran partitur didepannya, helaian surai coklat madu sepundak bergerak mengikuti gerakan tubuh di sela-sela permainannya, senyum kecil yang ikut terpatri di wajah elok, bagaikan pemandangan dari dunia lain.

Satu nada terakhir dan sang pianis selesai bermain, begitu penghormatan diberikan, suara apresiasi dan tepukan tangan menggema di seluruh ruangan.

Benar-benar sebuah pertunjukan musik yang luar biasa yang pantas diukir abadi, menjadi salah satu kenangan tak terlupakan di hari ini.

Sebelum lampu ruangan padam dengan bunyi pelatuk api bergema.

Meninggalkan teriakan histeris dan jeritan panik dari kumpulan orang-orang yang tak tahu ajal telah menjemput mereka.













*[Ais, bagaimana keadaan disana?]*

"Aman, aku hanya perlu cari jalan keluar lain. Kurasa ada penjaga yang melihatku pergi dari aula." jawab Ais dengan tenang, mengikat rambutnya sebahunya yang terurai dengan gaya low pony tail, berjalan cepat diantara lorong yang sepi.

Jas hitam yang tadi dia gunakan sudah ditinggalkan bersama tubuh lain yang berlumur cairan merah di salah satu toilet gedung, sebuah alibi sempurna untuk pertunjukan terakhirnya.

Tidak ada kebohongan, Ais memang sang pianis yang diundang, pengakuan nyata dari hobi yang dia senang jalani.

Hanya ada kesialan, karena yang mengundang adalah mangsa yang telah lama diincar, sang korban tak tahu telah mengundang malaikat pencabut nyawanya sendiri.

Pesta penuh sukacita itu pastilah berakhir tragis.

*[Hey... Bukannya aku ikut campur, Tapi Ais...]*

Suara di seberang alat komunikasi nya mengecil, Ais bisa mendengar nada keraguan dan hembusan nafas yang beberapa kali dikeluarkan si empu.

*[Kau benar-benar mengakhiri ini?]*

Langkah Ais terhenti, tangannya mengepal kuat dengan mata yang dipejam erat saat mendongak ke atas.

Membuka matanya, butiran air hujan telah turun di luar jendela-jendela gedung dari awan-awan kelabu, mendukung suasana hati nya mulai kalut dalam kebimbangan.

"Apa yang bisa kulakukan? Kau tahu ayahku tidak akan menyukai nya." Ucapnya pelan meraba pergelangan tangganya dengan senyum sedih.

*[Ais—]*

Belum sempat Ais mendengar apa yang dikatakan orang di seberang, dirinya sudah dikejutkan duluan oleh bunyi tembakan dari belakang.

Kaca jendela didepannya pecah oleh peluru yang baru saja melesat melewatinya, berhasil mengoyak kain putih bajunya, memberikan goresan yang cukup dalam di kulit lengan kiri nya.

Froren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang