Bab 10

5.3K 436 14
                                    

Esok hari pun tiba dan pagi menyambut, dengan matahari yang perlahan muncul diufuk timur dengan cahayanya yang terasa hangat bagi orang-orang diluar sana dan kicauan burung yang terdengar merdu seperti bernyanyi, menciptakan suasana yang tenang dan damai dipagi yang cerah.

Sedangkan Arkan, ia harus bangun dengan hawa dingin dan sunyi. Karena ia sedang berada didalam salah satu ruangan rumah sakit, dengan keadaan sendirian.

Sungguh ia tidak ingin berada disini, ia ingin cepat kembali kerumahnya. Walaupun bisa dibilang itu bukan rumahnya melainkan rumah tubuh yang sedang ditempatinya.

Arkan beranjak dari tempat tidurnya, perlahan-lahan berdiri, menyeimbangkan tubuhnya, untuk mengurangi rasa sakit dari luka dikakinya.

"padahal cuma kena serpihan pecahan gelas, kenapa sesakit ini sih?" batin Arkan kesal.

Arkan menghela nafas gusar lalu perlahan-lahan berjalan keluar dari ruangan tempatnya dirawat itu. Setelah Arkan membuka pintu, ia terkejut, melihat Zex yang tertidur dibangku rumah sakit dengan keadaan duduk bersandar dan sebuah laptop tertutup rapat terletak disampingnya bahkan ia masih mengenakan pakaian kerjanya.

"Zex? Untuk apa dia tiduran disitu?" Arkan mengernyitkan alisnya, keheranan. Perlahan mendekati Zex lalu menepuk bahunya lembut, membangunkannya.

"Wahh!!" Seketika Zex terbangun dengan berteriak karena terkejut, membuat Arkan seketika memundurkan dirinya dan menghela nafas.

"Kenapa orang-orang disini sering banget teriak-teriak sih?" batin Arkan, mengusak rambutnya kasar dengan satu tangannya membuat rambutnya menjadi tambah berantakan.

Arkan melihat Zex dengan ekspresi kesal yang terlihat sangat jelas diwajahnya. Zex mengatur nafasnya yang terengah-engah, mencoba meredakan detak jantung yang terus berdegup kencang setelah terbangun dengan terkejut.

Setelah mengatur nafasnya, Zex perlahan mendongak melihat Arkan yang sedang menatap kesal dirinya. Dengan terburu-buru Zex pun berdiri, menatap cemas Tuannya itu.

"Maaf Tuan, apa ada yang bisa saya bantu? Atau ada yang anda butuhkan?"

"Tidak ada," sahut Arkan.

"K-kalau beg-"

"Kenapa kamu tidur disini?" tanya Arkan, memotong perkataan Zex yang sepertinya ingin bertanya sesuatu.

"Ah itu, s-saya ketiduran tuan..." Zex memalingkan wajahnya dengan ragu-ragu dan tangan nya yang terlihat gemetaran.

"Kamu disini sampai malam?"

"..ya Tuan."

"Hah...Kenapa kamu tidak pulang saja kerumah?" Arkan menghela nafas frustasi, bagaimana bisa si Zex ini terus berada disini semalaman?

"Saya sekertaris sekaligus tangan kanan anda. Jadi, saya tidak akan pergi begitu saja Tuan, kecuali atas perintah anda." Zex mengalihkan pandangannya kembali kearah Arkan. Dengan gerakan lembut, ia membungkuk hormat, menunjukkan penghormatan dan rasa setianya kepada Arkan.

"Merepotkan.." batin Arkan, merasa jengkel dengan kelakuan orang yang didepannya ini.

"Kalau gitu, kenapa kamu tidak masuk kedalam saja?" ucap Arkan, menatap Zex dengan ekspresi dingin.

"..anda tidak memperbolehkan masuk, Tuan"

"..Sejak kapan?" Arkan sedikit terkejut, sejak kapan dirinya ini tidak memperbolehkan orang yang didepannya ini, masuk?

"Anda sebelumnya menyuruh saya dan anak-anak anda keluar, kalau gitu anda juga melarang saya juga anak-anak anda untuk kembali masuk."

Seketika Arkan menghela nafas panjang dan mengusak rambutnya kasar membuat rambutnya menjadi bertantakan, 'pusing' itulah yang hanya ia rasakan sekarang.

"E-eh, Tuan apa anda baik-baik saja?" seketika Zex menegakkan tubuhnya, terlihat sangat khawatir dan panik, bingung apa yang harus dilakukannya.

"Aku tidak apa-apa, dan juga aku sudah memperbolehkan kamu dan anak-anak juga untuk masuk..."

Zex tersenyum tipis lalu menggangukkan kepalanya "baik Tuan,"

"Oh ya Tuan, kenapa anda keluar pagi-pagi begini, Anda kan masih dalam proses pemulihan?" lanjut Zex.

"Saya hanya ingin keluar saja, bosan didalam terus."

"Begitu, biar saya temani anda Tuan."

"Hm." Arkan berdehem sebagai jawaban lalu melenggang pergi, meninggalkan Zex. Dengan terburu-buru, Zex mengambil laptopnya yang berada disampingnya dan mulai berlari menyusul Arkan yang sudah berjalan lebih dahulu.

-

Ditempat lain, Aktar, Raksi dan Naran terlihat sedang sarapan bersama diruang makan. Suasana hening menyelimuti mereka, menciptakan nuansa kecanggungan diantara mereka.

"Bang Raksi, nanti Naran boleh jenguk Ayah tidak?" tanya Naran tiba-tiba, memecah keheningan yang ada.

"Orang macam dia, ngapain dijenguk segala." bukan Raksi yang menjawab, melainkan Aktar, dengan sinis.

"Bang Raksi, boleh ya?" tanya Naran lagi, mengabaikan Aktar.

Aktar yang diabaikan berdecak kesal dan memakan sarapannya dengan menahan kekesalannya. Raksi yang melihat hubungan mereka yang semakin renggang, menghela nafas lelah.

"Iya boleh, tapi nanti kamu ke Zex dulu saja dan jangan buat Ayah marah." jawab Raksi dengan penekanan diakhir kalimatnya.

"Baik~" Naran tersenyum sumringah dan berpose hormat sebagai candaan.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc.

Seorang Ayah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang