Ketika Carel membuka matanya, ia langsung menyadari bahwa ia berada di rumah sakit. Namun, sejujurnya tidak terlalu mengingat apa yang membuatnya kembali berada di tempat ini. Hal terakhir yang dapat ia ingat adalah kepalanya berdenyut nyeri dan suara-suara yang menyerukan namanya.Ia meringis pelan kala rasa pening menyerang kepalanya. Beberapa saat kemudian, ketika pening tak lagi mendera, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Mengamati setiap penjuru ruangan, namun tidak ada seorang pun yang ia dapati. Kemana keluarganya? Apa mereka sudah tidak peduli?
Beralih menatap ke arah jendela dan menyadari bahwa hari sudah sore. Seketika perasaannya terasa begitu hampa.
Cukup lama ia berdiam diri dengan duduk menatap jendela, menanti adakah yang datang. Tentu saja ia mengharapkan kehadiran keluarganya, terlebih sang ayah.
"Mereka nggak akan datang."
Carel sedikit tersentak kala mendengar seseorang berucap. Sontak ia menoleh ke samping dan mendapati si pemilik suara yang sudah duduk di sampingnya. Sejak kapan orang itu ada di sini? Kenapa ia tidak menyadarinya?
Remaja dengan rambut hitam itu tersenyum tipis menyadari keterkejutan anak di sebelahnya. "Kenapa masih mengharapkan sesuatu yang sia-sia? Nggak cape?" Ia kembali bersuara dengan melontarkan pertanyaan.
"What do you mean?" Carel bahkan tidak mengenal siapa orang ini.
"Terkadang nggak semua yang kamu inginkan harus kamu dapatkan. Cukup genggam apa yang kamu miliki. Jangan terlalu serakah," ujar remaja itu.
"Tapi, bukankah jika menginginkan sesuatu setidaknya kita harus berusaha sampai mendapatkannya. Jadi, kenapa harus merasa cukup jika apa yang aku inginkan belum kudapatkan, apalagi kalau aku masih bisa berusaha?" Carel menimpali, kurang setuju dengan perkataan remaja bersurai hitam itu.
"Itu yang namanya serakah."
Carel kembali menatap ke arah jendela. "Jika itu hasil usahaku sendiri, aku tidak peduli jika itu disebut serakah. I want it, I got it."
"Lalu apa yang akan kamu lakukan jika sesuatu yang sudah kamu usahakan dengan keras tetap nggak kamu dapatkan?"
Carel diam sesaat, berfikir. Mengingat kembali bagaimana kehidupannya beberapa bulan terakhir sejak ia bangun dari tidur panjangnya. Tanpa sadar tangannya meremat pahanya sendiri. Usahanya dan perlakuan keluarganya yang tidak berubah.
"Aku tidak tau. Tapi, sejauh ini aku masih terus berusaha."
Anak bungsu Albern itu tersentak pelan kala merasakan usapan lembut di kepalanya. "Semoga berhasil dengan usahamu." Ada jeda sejenak sebelum si rambut hitam melanjutkan ucapannya. "Kamu masih sama seperti sebelumnya."
"I don't get it."
Carel diam memperhatikan setiap gerakan lawan bicaranya itu. Ketika dia beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangannya, mengajak Carel untuk mengikuti kemana ia melangkah. Dan entah mengapa, si bungsu menurut tanpa protes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Am I? [SLOW UPDATE]
FantasíaS1 Juan S2 Who Am I? Apa jadinya jika Juan tidak benar-benar meninggal hari itu? Bagaimana jika jiwanya justru terjebak dalam tubuh asing di negara orang? Tubuh seorang anak yang kehidupannya jauh berbeda dengan kehidupannya yang dulu? Mampukah Juan...