01. Wahid

285 33 3
                                    

"You're my Dad"

"Tapi kita begitu asing"

S

ebuah keajaiban terjadi pada salah satu anggota keluarga Abelard. Si bungsu yang telah tidur hampir tiga tahun lamanya, akhirnya membuka mata kala senja datang.

Alat monitor yang awalnya berbunyi nyaring membawa ketakutan, justru awal yang membahagiakan kala bermenit-menit berlalu mata indah miliknya terbuka perlahan.

Ketika dokter dan perawat pamit pergi usai memeriksa keadaan si pangeran tidur yang akhirnya terbangun, menyisakan dua orang berbeda generasi yang diselimuti hening. Seolah-olah mereka bukanlah sepasang ayah dan anak yang telah hidup bersama selama belasan tahun. Membawa kesan asing kepada ia yang baru saja terbangun.

"Gue—"

Satu kata yang tidak lagi berlanjut, sebab kata lainnya seolah tertiup angin dingin. Lidahnya keluh, juga tubuhnya kaku susah untuk digerakkan.

Namun, ternyata satu kata itu mampu membuat pria berwajah tegas itu kebingungan. Kata asing itu justru kata pertama yang diucapkan sang anak. Tetapi, daripada larut dalam kebingungan, ia justru sedikit khawatir ketika mendengar erangan si pangeran tidur.

"Everything gonna be okay, Son," ucapnya seraya mengelus rambut pirang sang anak, turunan darinya.

Si anak tampak kebingungan, merasa asing dengan pria di sampingnya, juga setiap tindakannya. "Who—"

.
.
.

Namanya Carel—itulah yang dikatakan pria yang mengaku sebagai ayahnya ketika ia sadar beberapa bulan yang lalu tanpa ingat apapun, bahkan namanya. Dirinya merupakan bungsu dari empat bersaudara.

Carel Ornyx Abelard, lengkapnya. Namun, lagi-lagi perasaan asing yang ia rasa. Namanya dan informasi-informasi yang diberikan sang ayah tidak membuatnya mengingat apapun, bahkan secuil pun.

Kata dokter ia mengalami amnesia disebabkan benturan keras sebelum ia kehilangan kesadaran beberapa tahun yang lalu. Benturan itu menyebabkan dinding otaknya retak sehingga menyebabkan pembuluh darah di sekitar otaknya mengalami kelainan, dari itu dokter memvonisnya mengalami amnesia sementara.

Hal terpenting lainnya yang diberitahukan sang ayah membuatnya lemas tak bertenaga, bahwa organ yang memompa darah miliknya mengalami kelainan sejak lahir. Inilah yang memperburuk keadaannya hingga harus tidak sadarkan diri selama hampir tiga tahun.

"Aku anaknya, kan?" Carel bergumam pelan, sangat pelan agar sang ayah yang duduk beberapa jengkal darinya tidak mendengar apa yang baru saja ia ucapkan.

"Memang anaknya sepertinya. We are similar." Carel kembali bergumam pelan menjawab pertanyaannya sendiri. (Kami mirip).

Kemudian remaja berusia empat belas tahun itu mendengus kasar, ia bosan. Duduk di ruang keluarga tanpa melakukan apapun selama berjam-jam membuatnya mati gaya. Meski ada sang ayah menemani, nyatanya ia merasa seorang diri di ruangan luas ini.

"Kenapa?" tanya sang ayah tanpa diduga. Pria bernama Albern itu menatap Carel datar.

"Nothing. I'm just bored," jawab Carel kikuk. (Tidak ada. Aku hanya bosan).

Rasanya Carel belum terbiasa dengan tatapan datar sang ayah meski bukan kali pertama ia mendapat tatapan demikian.

"You have a phone. Do something with it."

Carel memutar bola matanya malas. Tidak bisa diharapkan!

"Akh!" Carel meringis kala tiba-tiba saja tangan besar sang ayah mencengkram rahangnya dengan kuat, membuat ia mau tidak mau bersitatap dengan ayahnya itu.

"How dare you, Little Kid! Setelah sadar, kamu semakin bertingkah," geram Albern.

"Wtf?" Carel membatin kesal, "Baperan banget sumpah!" Tentu saja ia masih membatin.

Albern semakin menguatkan cengkramannya begitu melihat ekspresi Carel yang bukannya takut justru terlihat menantangnya. Ini sangat berbeda dengan Carel yang dulu, yang bahkan untuk menatapnya saja begitu segan.

"Aku salah apa?" Carel bertanya meski suaranya kurang jelas.

"Jangan bertingkah!" peringat Albern sebelum beranjak meninggalkan sang anak yang kebingungan.

Inilah salah satu alasan mengapa Carel ragu bahwa dirinya adalah anak pria bernama Albern itu. Sikap Albern kepadanya sangat berbeda, ia cenderung diabaikan dan tak jarang mendapat tindakan kasar dari pria itu.

Begitupula dengan ketiga kakaknya yang memperlakukannya sama. Ia diabaikan, seolah dirinya hanyalah orang asing di rumah ini. Sebenarnya apa salahnya? Apa sebelumnya ia adalah pribadi yang buruk?

"They are not my family. Mana ada seorang ayah yang bersikap seperti itu." Carel menggerutu pelan seraya mengelus rahangnya.

"Bersikap seperti apa? Jangan sampai Daddy-mu mendengar ucapanmu barusan Or you will be in big trouble!"

Carel dapat merasakan dua tangan memeluknya begitu erat dari belakang. Lagi?

.
.
.

"Kenapa Daddy jahat? Apa salahku?"

"I'm your son too, Dad!" (Aku juga anakmu, Yah!)

Albern terus mencari sumber suara-suara itu yang terus menggema sejak ia membuka matanya. Ruangan serba putih tak berujung ini membuatnya frustasi.

Semakin jauh ia melangkah, suara-suara itu semakin banyak dan saling bersahut-sahutan. Hingga langkah yang kesekian kalinya terhenti ketika sepasang mata hazel-nya melihat siluet anak kecil berambut pirang yang berdiri lumayan jauh darinya.

Seketika Albern terkejut, wajah manis yang biasanya dihiasi senyum dengan tatapan teduh kini menatapnya begitu tajam sarat akan luka. Juga retakan samar dibeberapa bagian wajah kecilnya.

"Lihat, Dad. Semua ini salahmu."

Anak kecil itu berjalan mendekat. Setiap langkahnya ia seret meninggalkan noda merah pekat di lantai.

"Carel." Albern bergumam pelan. Napasnya tercekat melihat keadaan sang anak.

"Andai saja Daddy lebih menyayangi kami. We will definitely be fine." (Kami pasti akan baik-baik saja).

"Ca—"

Albern tak dapat melanjutkan katanya kala merasa sepasang tangan kecil memeluk erat pinggangnya dari belakang. Menoleh patah-patah dan mendapati seorang anak kecil berambut hitam dengan kulit pucat mendongak menatapnya seraya tersenyum kecil.

Jantung Albern rasanya menggila di dalam sana. Rupa itu begitu sama dengan rupa anak bungsunya. Mata dan rambut lah yang menjadi pembeda.

"Aku selalu menyayangi Ayah," ucap si pucat seraya memamerkan senyumnya.

"Aku selalu menyayangi Ayah," ucap si pucat seraya memamerkan senyumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung

Butuh saran untuk chapter selanjutnya



Who Am I? [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang