Chapter 02.

8.9K 767 2
                                    

Berat pada pinggang membuat sepasang mata Saina yang sedang tertutup mengernyit. Rasa mengganggu tersebut membuat kelopak mata Saina terbuka. Ia melirik ke arah pinggangnya dan mendapati sebuah tangan sedang memeluk pinggangnya erat.

Iris mata coklat tersebut bergulir ke atas, menilik lebih lanjut siapa pemilik tangan tersebut. Seketika, pupil mata Saina melebar saat menatap wajah yang sangat familier, wajah seseorang yang benar-benar dirindukannya. Dia... "Saka?" gumam Saina tak percaya.

Mata Saina memanas, kaca-kaca tampak terbias dari bola mata indah tersebut. Bukannya melepas tangan yang memeluk pinggangnya, Saina justru balas memeluk pria itu seraya menenggelamkan kepalanya di dada Saka. Bulir bening mengalir bersamaan dengan isak tangis pilu.

Tentu saja tidur Saka terganggu. Ia membuka matanya dan menemukan sang istri sedang menangis di pelukannya. Rasa bersalah mulai bergelut, Saka merasa penyebab Saina menangis adalah karena menikah dengan dirinya. Tangan yang semula hanya menempel di pinggang perempuan itu, beralih memeluk erat. "Sstt... Jangan menangis, Lily..."

Panggilan itu... Panggilan khusus yang hanya digunakan oleh Saka. Dulu, Saina selalu kesal dengan panggilan tersebut, bahkan terkadang jika suasana hatinya tidak bagus, ia akan mengamuk. Panggilan itu hanya Saka gunakan di tahun pertama pernikahan mereka sebelum Saina mengamuk dan membahayakan janin yang ia kandung.

"Jangan pergi lagi..." lirih Saina.

"Aku tidak pergi, aku di sini," balas Saka.

Setelah Saka mengucapkan hal tersebut, Saina tidak lagi berucap sehingga hanya ada tangisan Saina yang menemani mereka. Saka dengan telaten mengelus punggung gadis tersebut, ia membiarkan kaosnya basah dengan air mata, asalkan gadis itu merasa lega.

Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Saina saat ini kecuali dirinya sendiri. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Saka... Pria itu sedang memeluknya, dalam keadaan tubuh dan mental yang sehat. Tubuh Saka sebelum ia meninggal terakhir kali tampak sangat kurus berbeda dengan saat ini.

Jadi... Apakah Saina kembali ke masa lalu?

Saina mendongak, membuat netra coklat miliknya bertemu dengan hitam kelam milik Saka. "Sekarang tanggal berapa?"

"Hm? Tanggal dua belas April," ujar Saka.

"Tahun?"

"Dua ribu sembilan belas, kenapa memangnya?"

Saina kembali menelusupkan kepalanya ke dalam dada Saka seraya menggeleng pelan. "Em, ga pa-pa. Nanya aja."

Meski aneh dengan gelagat sang istri, hati Saka tetap berbunga-bunga. Pria itu tersenyum seraya mengecup sekilas pucuk kepala Saina yang beraroma wangi. Mungkin, istrinya sudah menerimanya sebagai seorang suami, begitulah pikiran seorang Saka Sanjaya Natanael.

"Aku benar-benar kembali ke masa lalu? Bahkan semuanya baru saja dimulai. Jika ini tanggal dua belas April, berarti pernikahan ini baru berjalan seminggu yang lalu." Saina pikir, sampai akhir hayatnya, ia tidak akan bisa menebus semua kesalahan yang ia lakukan. Nyatanya, Tuhan sangat baik mengabulkan keinginan sang Pendosa. Maka dari itu, Saina kan memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu.

"Kamu mandi dulu, malam tadi aku udah nampung air," ucap Saka.

Daerah rumah Saka memang masih mengalami keterbatasan air ledeng karena akses masuk air ke daerah sini masih sulit. Meski begitu, di daerah sini memiliki cukup banyak mata air murni sehingga untuk mencari air tidak terlalu sulit. Minusnya, air di sini tidak bisa di minum langsung karena tidak di saring, otomatis mereka harus memasak air agar bisa dikonsumsi.

"Mas aja dulu, aku mau masak," jawab Saina seraya tersenyum.

Lagi-lagi Saka terkejut dengan ucapan sang istri yang terkesan bertutur kata lembut dan tenang tidak seperti orang yang selama ini ia kenal. Saka dan Saina memang saling mengenal lantaran mereka berkuliah di tempat dan jurusan yang sama. Saina yang Saka kenal selama ini cukup angkuh, namun tidak sombong. Gadis ini sejujurnya baik hanya saja salah pergaulan.

"Kamu... Serius?" tanya Saka. Ia sedikit tidak percaya dengan ucapan gadis tersebut dan lagi ia juga meragukan masakan Saina.

Saka tahu Saina berasal dari keluarga berada yang biasanya mengandalkan pembantu untuk memasak makanya ia sedikit ragu. Namun, jika memang Saina ingin memasak dia pasti akan memakannya, meski rasanya tidak enak. Paling tidak, makanan tersebut tidak sampai merusak organnya.

"Duarius malah, kamu mau dimasakin apa?"

"Yang kamu bisa aja," jawab Saka.

"Oke, udah sana, kamu mandi!" seru Saina seraya mendorong pelan tubuh suaminya keluar kamar.

Saka yang diperlakukan seperti itu tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Bibir pria itu bahkan dengan terang-terangan mengulum senyum pertanda jika hatinya sedang berbunga-bunga.

~o0o~

Sepasang suami istri yang sudah selesai melaksanakan ritual mandi itu sudah duduk di meja makan. Saina memindahkan masakannya dari kuali ke dalam mangkuk dan piring. Tidak banyak yang ia masak, hanya tumisan sayuran dengan telur dadar. Masakan sederhana menyesuaikan dengan alat-alat dapur, juga berhubung menyesuaikan dengan keuangan Saka.

"Maaf," ucap Saka tiba-tiba.

Tangan Saina yang sedang mengisi piring milik suaminya terhenti. Ia menoleh, menatap pria itu bingung. "Maaf? Untuk apa?"

Saka menunduk sejenak. "Semuanya. Maaf sudah merusak kehidupan kamu, maaf karena sudah membuat kamu terusir dari rumah, maaf ka-"

"Udah ah, jangan ngomong gitu," potong Saina seraya melanjutkan kembali aktifitasnya. "Lagi pula kita sama-sama salah. Dan kamu udah keren banget mau tanggung jawab, padahal 'kan, kamu tahu banget gimana sikap aku." Saina terkekeh kecil. Ia meletakkan piring yang telah berisi nasi serta lauk pauk ke hadapan Saka.

"Udah ya, jangan dilanjut lagi. Aku bahagia selama itu kamu," ucapnya dengan ucapan manis membuat wajah Saka memerah samar dengan sensasi dada tergelitik rasa bahagia.

Jujur saja hal tersebut bukan ucapan manis belaka. Saina memang bahagia sejak tinggal bersama dengan Saka. Seperti yang diketahui, Saka memperlakukannya dengan sangat baik berbeda dengan kedua orang tuanya yang sangat tak acuh. Mereka lebih mementingkan adik laki-laki Saina--Sean Prakasa--dibandingkan Saina sendiri. Bisa dikatakan, orang tua Saina adalah satu dari sekian orang tua di dunia yang melakukan tindakan pilih kasih terhadap anak mereka.

Di sisi Saka, pria itu tersenyum menatap masakan sang istri yang tampak menggugah selera. Setelah seminggu menikah, ini pertama kalinya Saka akan mencicipi masakan gadis itu. Tangan kekar pria tersebut meraih sendok, kemudian menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulutnya.

Pada suapan pertama, rasa makanan Saina sudah melebihi ekspektasi Saka. Makanan gadis itu cukup enak dan cocok dengan masakan rumahan. Mirip seperti masakan ibunya yang telah meninggal.

TBC.

Tandain Typo

EnervateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang