Adys keluar dari kamar mandi sekolah dengan mata sembab. Gadis itu membuka ponselnya untuk melihat jam. Ia terkejut ketika jam hampir menunjukkan pukul setengah lima sore. Sekolah sebentar lagi akan ditutup, Adys dengan segera memesan ojek online sebelum akhirnya pergi meninggalkan lingkungan sekolah.
Sepanjang perjalanan pulang, mata Adys begitu kosong. Ia masih memikirkan soal Ezra, laki-laki yang akhir-akhir ini telah menjadi malaikat penolongnya. Mengapa takdir begitu lihai dalam memainkan perasaan mereka?
Tak lama kemudian, Adys sampai di depan sebuah rumah lantai dua dengan pagar tinggi berwarna hitam. Adys membuka ponselnya lagi untuk mengecek jam. Angka-angka di lockscreen menunjukkan pukul 16:45. Adys menghela napas. Ia sangat terlambat untuk pulang.
Dengan berat hati, Adys membuka gerbang itu. Berjalan dengan perlahan sambil berdoa dalam hati. Ia kemudian membuka pintu setelah mengetuknya pelan dua kali.
"Dari mana saja kamu?" Suara berat itu membuat Adys yang baru saja memasuki rumah sontak mencari keberadaan pria itu. Tubuhnya bergetar ketika mendapati sosok pria duduk dengan sebuah koran di sofa ruang tamu.
"Saya ... baru selesai kerja kelompok," jawab Adys berbohong.
"Siapa yang mengizinkan kamu untuk pulang terlambat? Kamu ingin keluar dari rumah ini? Pergi saja, saya dan istri saya bahkan tidak membutuhkan kamu di sini. Dasar anak pembawa sial," ucap laki-laki itu tanpa menatap ke arah Adys sedikit pun.
Adys menunduk. Ia tak berani melangkahkan kakinya sedikitpun. "Maaf, Paman," ucap Adys lirih.
"Sekali lagi kamu pulang terlambat, jangan harap kamu bisa masuk ke rumah ini," balas laki-laki itu lantas beranjak pergi meninggalkan Adys yang masih menunduk seorang diri.
Setelah pria itu pergi, Adys melirik koper besar yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Pamannya itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Ancamannya bukan hanya ucapan belaka. Bahkan sebelum ia sampai di rumah, barang-barangnya sudah tertata rapi di dalam koper.
Adys menghela napas panjang. Ia kemudian menarik kopernya menuju ke kamar. Di dalam kamar, Adys termenung. Ucapan pamannya membuat Adys jadi memikirkan Ezra.
"Apa Ezra juga nganggep gue anak pembawa sial sama seperti paman nganggep gue anak pembawa sial setelah Mama meninggal?" gumam Adys pelan.
Adys merebahkan tubuhnya terlentang di kasur. Matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Ucapan sang paman sudah tak lagi mempan pada Adys. Ia hanya takut jika Ezra juga menganggapnya sebagai anak pembawa sial.
"Gue tau gue gak bisa dimaafin. Gue juga ngerti apa yang Ezra rasain, tapi gue gak akan diem. Gue bakal berusaha minta maaf sama lo sampe lo bisa maafin gue, Zra," ucap Adys penuh tekad.
Lama menatap langit-langit dengan pandangan kosong, tanpa Adys sadari ia pun mulai terbawa menuju ke alam mimpi. Keesokan harinya, Adys bangun pagi-pagi sekali. Ia ingin membuat bekal untuk Ezra. Adys memang tidak pandai memasak, tetapi teknologi sudah canggih. Ia bisa mencari resep dimanapun, banyak platform memberi kemudahan bagi orang sepertinya untuk mencari resep masakan.
Adys membuat nasi goreng dengan omelet yang ia beri saus berbentuk senyuman. Adys juga memotong buah kecil-kecil. Sederhana tapi Adys merasa puas. Dengan hati berdebar-debar karena senang, Adys menyimpan kotak bekal itu untuk dibawa ke sekolah.
Di sekolah, Adys berusaha mencari Ezra. Namun, laki-laki itu tidak bisa ditemukan di manapun. Awalnya, Adys merasa sedih karena ia berpikir jika Ezra tidak masuk sekolah, tapi perasaan itu sirna setelah Adys melihat tas Ezra ada di kelasnya.
Adys mencari-cari keberadaan laki-laki itu tapi Ezra tidak ada. Akhirnya, Adys menyerah dan meletakkan kotak bekal itu di meja Ezra.
"Guys, ini buat Ezra, ya! Tolong jangan ada tangan yang jail. Bekalnya udah gue buat dengan sepenuh hati, nih!" ucap Adys dengan senyuman lebar pada teman-teman sekelas Ezra.
"Ya elah, Dys. Kita juga gak minat nyolong bekalnya Ezra. Gak ada yang berani," balas salah seorang teman satu kelas Ezra. Adys membalasnya dengan jempol. Gadis itu pun segera kembali ke kelasnya sebelum bel masuk berbunyi.
Selama di kelas, Adys tak bisa berhenti tersenyum. Ia terus memikirkan makanan buatannya yang akan dimakan oleh Ezra. "Kira-kira Ezra bakal suka gak, ya?" tanya Adys dalam hati.
Waktu berlalu begitu cepat. Bel pun kembali berbunyi dua kali, menunjukkan bahwa jam istirahat telah tiba. Adys dengan semangat keluar dari kelas. Gadis itu berlari menuju kelas Ezra. Namun, langkah Adys terhenti ketika melihat Ezra. Meski dengan jarak yang masih lumayan jauh, Adys bisa melihat dengan jelas apa yang laki-laki itu lakukan. Ia kemudian bersembunyi di lorong kelas agar Ezra tidak dapat melihatnya.
"Ezra," panggil Adys pelan. Ia tahu Ezra tidak akan mendengar panggilannya. Adys merasakan sesak yang luar biasa di dada. Setelah melihat Ezra pergi, Adys mulai berani mendekat. Matanya menatap nanar kotak bekal yang sangat familiar berada di lantai, tepat di sebelah tong sampah.
Adys mengambil kotak bekal itu dengan perasaan sedih. Adys membuka kotak bekalnya yang sudah kosong.
"Dys, yang sabar ya," ucap Nanda, teman sekelas Ezra.
"Makasih," balas Adys sambil memaksakan senyuman. Ia kemudian meninggalkan kelas Ezra sambil menatap sedih kotak bekal yang ia pegang.
"Gue tau Ezra gak mungkin semudah itu maafin gue, tapi kenapa harus dibuang? Kalau dia gak mau nerima cukup kembaliin aja ke gue atau kasih makanannya ke orang lain. Kenapa harus dibuang?" gumam Adys pelan.
Adys mengerti jika Ezra tidak mau menerima bekal itu, tapi Adys tidak mengerti mengapa Ezra membuang semua makanan yang ada. Tidakkah Ezra tahu jika di luar sana banyak orang membutuhkan makanan? Mengapa Ezra dengan mudahnya membuang semua makanan itu?
Di saat itulah, Adys melihat Ezra. Mereka berdua papasan di koridor. Namun, Ezra sama sekali tak menatap ke arah Adys.
"Ezra," panggil Adys. Adys pikir panggilannya akan diabaikan oleh Ezra, tapi kenyataannya Ezra menghentikan langkah setelah mendengar panggilan Adys.
"Gue minta maaf. Gue tau kalau berat bagi lo buat maafin gue, tapi gue tetep mau minta maaf. Lo gak suka sama bekal yang gue kasih, ya?" Adys terkekeh pelan, "gue emang gak bisa masak, sih. Maaf kalau rasanya enggak enak, tapi lain kali jangan dibuang, ya? Balikin ke gue aja kalau lo gak suka, buang-buang makanan gak baik, loh," sambung Adys.
"Lo gak akan pernah bisa gue maafin. Jangan pernah kasih gue apa-apa. Apa pun yang lo kasih buat gue bakal gue buang," balas Ezra tanpa menatap Adys sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destined Fate
RomanceTak peduli sejauh apapun jarak yang kita miliki, seberat apapun masalah yang kita hadapi, kau dan aku akan tetap bersatu kembali. Karena kita adalah dua insan yang telah ditakdirkan untuk bersama dan terikat satu sama lain.