03

60 18 11
                                    

Dan akhirnya aku melihat senyumannya, dan betapapun cantiknya senyum itu, saat ini aku sedang tidak menginginkannya, setidaknya tidak dalam kamarnya sendiri, berdua dengannya.

Berdua saja dengan dia.

Kim berlalu ke dalam kamar mandi di kamar sempitnya itu beberapa waktu yang lalu, meninggalkan Latte dalam kegugupan tanpa alasan.

Latte menepuk pipinya beberapa kali dengan tangannya, menggeleng mencoba mencari kesadarannya setelah Kim tersenyum padanya.

“Latte, hatimu murahan sekali.” Bisiknya pelan. Mengomel sendiri di dalam kamar. “maksudku, apa-apaan? ‘Aku mandi lebih dulu, baru kau.’ Astaga aku suka lelaki yang suka memerintah seperti dia.”

Itu bahkan bukan perintah, tapi Latte yang sedang dimabuk asmara. Mungkin jika Kim memintanya mengunyah dinding kamar yang perlu di cat ulang itu, dia akan dengan senang melakukannya.

Latte berdiri dari kursi itu, kemudian mencoba untuk membunuh waktu dengan mengelilingi kamar Kim, tidak ada yang bisa dilihat sebenarnya, kamar ini sangat membosankan dan juga di tempat dia duduk tadi pun dia sudah dapat melihat seluruh isi kamar. Latte berdiri di depan cermin, dan melihat penampilannya. Astaga, pantas saja Kim menatapnya seperti jijik seharian ini. Dia mirip preman.

“Kim, kau punya alat cukur?” Latte berteriak-teriak dan dibalas dengan teriak-teriak juga dari kamar mandi oleh Kim.

Latte meraih laci meja dan menemukan kotak alat cukur, kenapa banyak sekali? Pikir Latte dalam hati melihat begitu banyak jenis pencukur bulu.

“Latte, jangan salah pakai.”

Latte terkejut, Kim keluar dari dalam kamar mandi, memakai mantel mandi dan juga rambut yang basah sibuk digosok dengan handuk yang ada di pundaknya.

Astaga Tuhan, kasihanilah…

Bibirnya merah muda sekali, padahal kulit mereka tidak jauh berbeda, tapi Latte harus memakai lipstick dulu di atas bibir pucatnya baru bisa mendapatkan bibir merah muda begitu. Latte membuang pandangan ke kotak alat cukur lagi sebab dia mulai berpikir aneh dan dadanya mulai mengirim sinyal panik ke otak.

“Yang mana?”

Kim mendekat, degub dalam dada Latte semakin tidak teratur. Astaga, Kim!

“Yang ini, dia dapat mencabut bulumu, tapi tidak sakit.”

“Kenapa ada dua?”

“Yang agak besar ini untuk area lain tubuhku, kamu tidak mau menempelkan itu di dagu dan kumismu.”

“Huh? Kenapa memangnya?”

Kim menarik nafas, “Itu untuk daerah pubis.”

Latte semakin kebingungan, “Pubis itu apa?”

Kim menatapnya sebal tidak percaya, “Kamu sekolah tidak sih? Pubis, area selangkangan.”

Latte tidak tahu harus tersinggung dulu atau merasa tersipu sebab dia dihina dan juga diberi informasi seksi soal… alat cukur bagian bawah kim yang sedang dia pegang.

“Aku penasaran, kamu tidak suka bulu di bawah sana?”

Kim mengedikkan bahunya, “Aku tidak terlalu peduli jika orang lain suka dan membiarkan bulu mereka tumbuh, tapi aku hanya ingin membersihkan milikku.”

“Aku ingin melihatnya.” Tiba-tiba saja, dia menjadi tidak tahu malu lagi di depan Kim.

“Haa?”

Latte terkekeh melihat reaksinya. “Aku bercanda, hehehe.”

Kim tidak ikut tertawa, dia memperhatikan lelaki itu yang mengambil alat cukur dan menyimpan kembali kotak di dalam laci. Latte juga mengambil handuk yang ada di pundak Kim tadi dan bersiap menuju kamar mandi. Tapi Kim menahan lengannya. Latte tidak jadi melintasinya, kakinya berhenti berjalan di samping Kim. Kim mendorongnya kembali ke depannya. Latte yang bingung, membalas tatapan lelaki itu, Kim terlihat berpikir sebentar, kemudian sedikit mengangkat lehernya untuk mendekat perlahan, menciumi bibir Latte.

to love somebodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang